19. Tama Tak Bisa Dibodohi

12.6K 1.5K 63
                                    

Sebelum aku bisa membuka mata dengan benar, aku sudah lebih dulu merasakan sakit menyengat dari kepalaku. Terasa berat dan berdenyut hebat. Hingga akhirnya samar-samar terang dari lampu di langit-langit terlihat mataku.

Butuh waktu beberapa detik bagiku untuk memahami keadaan juga keberadaanku sekarang. Aku tidak akan melontarkan kalimat "aku di mana?" atau "kenapa aku ada di sini?". Karena itu akan menambah efek drama dari hal yang baru saja terjadi padaku. Sungguh aku ingin memberi tahu kalau segala adegan di sinetron itu semuanya lebay!

Aku tahu aku di rumah sakit. Aku tahu aku bisa sampai di sini karena kepalaku terpukul sesuatu. Pertanyaannya adalah, kenapa aku sampai harus dilarikan kemari.

Suara samar orang berbicara dan berlalu-lalang terdengar telingaku. Sesekali terdengar suara bip-bip. Aroma alkohol menyerbak menusuk hidung. Meski bilikku tertutup tirai tinggi, aku tahu sekarang aku ada di UGD.

Aku mengangkat tangan kiri untuk meraba keningku. Namun, belum juga tangan itu terangkat, kurasakan sengatan lain dari punggung tanganku. Waktu kutoleh, sudah ada jarum infus yang ada di sana. Ganti tangan kananku meraba ke kening. Tepat di atas pelipis kiriku, sebuah benjolan besar ada di sana. Sial!

Aku mendesah lelah. Apa iya harus sampai seperti ini? Kepalaku hanya terpukul...atau terbentur sesuatu saja. Masa iya aku harus sampai di bawa ke rumah sakit. Walau benjolannya sepertinya besar dan terasa berdenyut, kurasa aku tak perlu sampai seperti ini. Apalagi sampai diinfus begini.

Ah, aku jadi ingin tahu. Siapa yang membawaku kemari? Apa David? Tentu saja dia. Siapa lagi? Orang terakhir yang bersamaku adalah David. Walau aku sempat menonjok wajahnya, aku yakin dia yang membawaku kemari. David itu lelaki baik-baik...hmm mungkin tidak terlalu baik. Dia brengsek! Gara-gara dia bukan hanya kepalaku yang benjol tapi tangan kananku juga jadi bengkak.

Kupandangi tangan kananku yang membengkak hasil menonjok David tadi. Sakit. Berdenyut. Nyeri.

Ah Lita Lita. Kamu ini berniat menonjok orang tapi tanganmu malah jadi korban. Cemen sekali!

Suara tirai bilik yang terbuka mengalihkan perhatianku. Sosok Tama muncul dari sana. Ia masih mengenakan kemeja kerjanya. Saat itulah untuk pertama kalinya aku berusaha mencari keberadaan jam di ruangan itu. Saat kutemukan, aku tercengang melihat waktu yang ditunjukkan sudah jam sebelas lebih.

"Ada yang sakit?" tanya Tama setelah dia berdiri di samping brangkar. Wajahnya terlihat tidak menampakkan emosi apapun tapi...mengenal Tama selama sepuluh tahun aku tahu ada yang tersembunyi di sana.

Entah kenapa tapi tiba-tiba aku tak mau menatap muka Tama. Aku langsung menjatuhkan pandanganku ke arah kakiku yang tertutup selimut. Aku merasa lelah. Aku malu. Aku bingung. Semua bercampur jadi satu.

Aku hanya diam memandang ke bawah sementara Tama berdiri di sebelahku entah melakukan apa. Namun, aku bisa merasakan pandangannya menembus kepalaku. Suasana rasanya begitu hening dan intens sampai akhirnya helaan napas Tama terdengar.

Tak berapa lama seorang perawat laki-laki lewat bilikku. "Pasiennya sudah bangun?"

Saat melihatku sudah sadar dia langsung masuk dan menanyakan beberapa hal. Hanya beberapa hal sepele seputar apakah aku merasa pusing atau mual, juga menanyakan kronologi sebelum aku pingsan. Aku tentu tidak sebodoh itu untuk menceritakan segalanya secara gamblang. Aku hanya bilang kalau aku terpeleset dan jatuh tapi tidak tahu kepalaku membentur apa.

Selama bertanya, perawat itu mencoret-coret lembaran kertas di papannya. Setelah itu ia mengeluarkan sebuah termometer dari saku bajunya. "Dijepit sebentar ya."

"Kamu demam waktu dibawa ke sini," sahut Tama menjawab kebingunganku.

Si perawat tersenyum mengiyakan ucapan Tama. Ia lalu pergi. Tama menarik kursi plastik mendekat ke brangkarku lalu duduk di sana. Ia memijat pangkal hidungnya lalu berlanjut mengusap kedua alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.

Status: It's ComplicatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang