Mata David menyipit mendengar ucapanku. Namun perlahan matanya yang oval itu melebar. Bersamaan mulutnya yang juga terbuka. Ada saat di mana David mengerjapkan matanya berkali-kali. Lalu mulutnya mengatup dan terbuka lagi, hanya untuk terkatup lagi. Ia seperti...robot yang konslet. Untuk sesaat aku bahkan merasa David seperti lupa caranya bernapas. Ia menahannya tanpa sadar.
"Ha?!" Sekian lamanya ia membuka dan menutup mulutnya. Pada akhirnya hanya itu yang mampu terucap. Kurasa otak David sedang konslet betulan. "Bentar, bentar! Kayaknya aku salah denger. Atau salah ngartiin?"
Aku tersenyum tipis. "Aku memang berasal dari sana."
"Maksud kamu? Rumahmu dulu di sana? Gitu? Terus diubah jadi panti-"
"Bukan," sahutku. "Aku dulu tinggal di panti asuhan itu. Sejak bayi aku tinggal disana."
"Ha?!"
Kini senyumku semakin lebar melihat David yang shock. Hampir tak kuasa menahan tawa. Ekspresi David terlihat sangat lucu. "Aku diadopsi."
Kedua alis David bertaut, menciptakan kerutan di tengah-tengahnya. Ia terlihat bingung dan sedikit kesulitan mencerna ucapanku. "What?!" seruan itu nyatanya hanya berupa bisikan.
Aku akhirnya terkikik. "Mau duduk dulu?"
David mengangguk tanpa pikir panjang. Ia lantas mendahuluiku untuk duduk di dudukan beton yang mengelilingi terasku.
"Mau minum?" tanyaku pada David yang kini sudah menyandarkan punggungnya di pilar.
"Ya. Air dingin," katanya tanpa keraguan.
Aku lantas masuk ke rumah dan mengambil sebotol besar air dingin dari kulkas, juga satu gelas kosong. Setelah itu aku kembali berjalan keluar dan menghampiri David yang tengah menatap kosong ke arah tembok.
"Bang-" Belum sempat aku menyodorkan gelas dan botol ke arah David, ia sudah lebih dulu merebut botol satu setengah liter itu dari tanganku. Tanpa gelas ia tenggak langsung air dingin itu. Jakunnya naik-turun dengan cepat seiring tegukannya.
Aku tak mengerti. Teman SMA dan teman kampusku dulu cukup terkejut ketika tahu bahwa aku anak adopsi. Bahwa aku dulunya dari panti asuhan. Mereka memberikan reaksi yang berbeda-beda. Ada yang kaget tapi langsung bersikap biasa saja. Ada yang menatap iba padaku. Ada yang terkejut lantas bertanya ini-itu. Ada pula yang memandang rendah. Kebanyakan dari mereka semua terkejut, aku tahu. Namun David? Aku tak mengerti. Ia terlihat sedikit...terguncang?
"Haaahh!" David menyudahi minumnya dengan mendesah lega.
"Lebay betul sih, bang," ucapku lalu duduk di depan David. Gelas yang tadi kubawa kuletakkan juga di dudukkan beton di samping botol minuman.
"Aku...cuma...kaget aja. Nggak nyangka aja. Aku nggak tahu kalau kamu...anak adopsi."
Anak adopsi. Yang diucapkan David barusan memang fakta. Namun entah mengapa jika David yang mengucapkan, itu terdengar aneh bagiku. Kenapa ya?
"Jadi ilfeel ya, bang?" tanyaku iseng.
Namun David hanya diam. Ia memandangi wajahku dengan seksama. Untuk sesaat pandangannya menerawang entah otaknya sedang memikirkan apa. Lalu ia kembali menatapku. Kali ini lebih intens.
"Nggak," jawab David pelan tapi tegas.
Aku tertawa.
"Kok ketawa?" Kini kening David berkerut bingung.
"Bang Dep lucu."
David mendengkus. "Bagian mana yang lucu?"
"Muka bang Dep lucu. Serius banget. Padahal aku mah udah biasa dapet reaksi macam-macam. Dari yang kasihan sampai yang mandang rendah juga pernah. Bahkan dua-duanya sekaligus juga pernah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Status: It's Complicated
General FictionSepuluh tahun yang lalu Tama menikah. Bersamaan dengan itu mamanya memberi kabar ingin mengadopsi seorang anak karena kesepian ditinggal suami dan Tama yang menikah. Tama setuju. Beberapa tahun berselang, siapa yang menyangka Tama begitu cepat ditin...