Tanganku masih mengusap bekas air mata di pipi ketika kakiku menginjak anak tangga terbawah. Tama sudah lebih dahulu berjalan menuju dapur. Aku menghampirinya yang sedang mencuci mug kopi yang tadi digunakan olehnya. Lalu tangannya yang terbalut busa itu terulur padaku mengambil alih mug dari tanganku.
"Cuci muka dulu sana!" titahnya sambil mencuci mug milikku.
Aku mengangguk saja dan berjalan ke kamar mandi yang ada di pojok ruangan. Suara dari ruang tengah sudah tidak terdengar lagi, menandakan mama sudah mematikan tv dan pergi tidur.
Usai mencuci muka, kudapati Tama masih di dapur. Entah apa yang dia lakukan di depan kulkas yang terbuka. Tubuhnya hanya berdiam diri tanpa suara dengan kedua lengan yang bersedekap di dada.
"Ngapain, A?" tanyaku.
"Kamu belum makan kan seharian ini?" tanyanya masih dengan mata tertuju pada isi kulkas.
"Udah. Tadi siang kan makan bakso sama Aa. Malemnya makan martabak."
Tama menoleh padaku dan menunjukkan wajah datarnya padaku. Lalu ia kembali menatap ke dalam kulkas dan mengambil seplastik tahu dari sana. Sudah itu ia berjalan ke konter dapur dan meletakkan tahunya ke dalam baskom kecil.
"Aku masakin, kamu jangan tidur dulu."
Mataku membola setelah aku mendengar ucapan Tama. "Ngapain? Udah malam. Aku capek, mau tidur aja."
"Makan dulu. Nggak pa-pa kalau takut gendut. Cewek gendut itu enak dipeluk, empuk."
Untuk satu detik, ada denyut nyeri di dadaku. Ucapan Tama barusan mengingatkan aku pada David. Dia sering mengajakku makan setelah pulang kerja. Apapun alasan yang kuberikan, David selalu bersikeras supaya aku makan sebelum pulang. Itu sebabnya berat badanku dulu bisa naik drastis saat berpacaran dengan David.
"Aa kayak bang David," lirihku lalu duduk di meja makan. "Suka maksa makan malam."
Tama tersenyum miring. Dari tempatku duduk aku hanya bisa melihat separuh wajahnya saja. Ia tengah tersenyum miring sambil dengan cekatan mengiris tahu dengan potongan yang lebih kecil.
"Untuk setiap kilo berat badanmu yang turun karena dia, akan kuganti sekarang."
"Dih! Aa ngomong apa sih? Ngaco!"
Tama tertawa. Dia lantas membuka lemari makan di samping rak piring dan mengambil tepung dari sana.
"Bikin apaan sih, A? Memangnya Aa bisa masak?"
"Bisalah. Lebih pinter daripada kamu!" selorohnya lalu tertawa. Aku hanya mencibir saja. "Kubikinin tahu teriyaki. Simple, cepet dan enak."
Aku menurut saja, duduk manis sambil melihat Tama yang ke sana kemari menguasai dapur. Yang membuatku ternganga dan terpesona adalah segala macam gerakan Tama yang begitu luwes. Dia berpindah dari depan konter dapur lalu ke depan kompor, kemudian pindah mencuci bawang bombai dan cabai juga brokoli dengan cepat. Kalau ini komik dan ada sfx-nya mungkin keterangan di gambar akan berupa tulisan "wush wush wush".
Sekitar setengah jam kemudian, sepiring nasih hangat dan sepiring tahu teriyaki sudah tersaji di atas meja makan. Mataku berbinar melihat makanan sederhana yang baru saja dimasak Tama. Kalau boleh jujur, sebenarnya perutku memang lapar dan sudah agak perih sejak tadi sore. Namun, napsu makanku yang tadi hilang entah ke mana membuatku enggan memasukkan makanan apapun selain sepotong martabak yang tadi dibeli mama.
"Makan," suruh Tama sambil menyodorkan segelas air putih ke hadapanku.
Sudah dibuatkan makanan, sudah dilayani, sudah dipersilakan... Apa lagi yang kurang? Ya kumakan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Status: It's Complicated
General FictionSepuluh tahun yang lalu Tama menikah. Bersamaan dengan itu mamanya memberi kabar ingin mengadopsi seorang anak karena kesepian ditinggal suami dan Tama yang menikah. Tama setuju. Beberapa tahun berselang, siapa yang menyangka Tama begitu cepat ditin...