Aku langsung terduduk di ranjang. Ponselku terpental hampir jatuh ke lantai kalau aku tak cepat-cepat menangkapnya. "Aa jangan gila ya!" seruku.
Ujung sambungan sana hening sesaat. "Aku serius, Ta."
"Nggak," sanggahku cepat. "Aa ngomong ini cuma buat kepentingan Aa. Sama halnya beberapa waktu lalu Aa ngajak aku nikah di rumah sakit. Semua cuma semata-mata demi kesembuhan mama. Sekarang Aa bilang itu lagi karena menginginkan maaf dari mama." Tanpa kusadari napasku menderu.
"Bukannya itu hal yang kamu lakukan berminggu-minggu lalu? Kamu pengen lihat mama bahagia kan? Makanya kamu mau diminta nikah sama aku. Apa bedanya?"
"Beda!"
"Sama!"
"Nggak!"
"Iya!"
Aku menggeram. "Beda! Aku melakukan itu murni karena pengen lihat mama bahagia. Pengen membalas semua kebaikan mama ke aku. Aku nggak punya motivasi tersembunyi. Tapi Aa? Aa ngajak aku nikah karena Aa nggak bisa terus-terusan didiemin mama. Aa bukannya mau lihat mama bahagia...well, mungkin sedikit. Tapi selebihnya itu karena Aa nggak mau mama marah lagi sama Aa. Aa mengemis maaf dari mama menggunakan aku!"
Seberang sambungan kembali hening. Lalu dimatikan tanpa kata apapun lagi.
Aku mengumpat dalam hati sambil mengamati layar ponselku yang kini menampilkan wallpaper. Aku bisa gila kalau terus-terusan menghadapi situasi seperti ini.
🌟🌟🌟
"Bang Dep!" Kutepuk cukup kencang pundak David ketika kulihat ia tengah mengambil tasnya dari dalam loker.
David sempat berjenggit tapi detik berikutnya ia menggeram. "It's Dave. Or David. Not Dep. Not Dap, Dapit. Or even dafuq! Kalau kamu nggak bisa manggil namaku dengan benar, mending kita nggak usah temenan deh, Ta!"
Aku tertawa kencang sambil memegang perut melihat mata David membulat karena melotot. "Ya aku kan orang Sunda. Nggak bisa bilang 'ef' atau 've'."
"Itu bisa!"
Aku kembali tertawa. "Kan cuma contoh."
David menggeram. "Serah, Ta, serah!" Ia kembali berkutat dengan tasnya yang ada di loker.
"Namamu terlalu epic, bang," kataku sambil berjalan menuju loker yang ada di seberang loker David.
"Mbuh!" seru David dengan logat Jakarta yang kental.
"Nggak usah sok-sokan ngomong bahasa Jawa kali, bang. Nggak cocok!" Kubuka lokerku dan kuambil tasku dari dalamnya.
Kudengar David menutup lokernya. "Kamu juga aslinya orang Jawa. Litahayu tuh dari bahasa Jawa. Kamunya aja yang nyasar sampai Bandung."
"Suka-suka akulah." Kuambil ponsel dari dalam tas. Ada beberapa panggilan dari mama dan pesan yang mengatakan beliau sudah sampai rumah jam tujuh tadi.
"Lita memang selalu benar!" seru David lalu berjalan keluar ruangan.
Waktu aku akan mengembalikan ponsel ke dalam tas, sebuah panggilan masuk ke ponselku. Panggilan dari Tama. Ibu jariku mengambang di atas layar, bimbang haruskah aku menerima ataukah menolaknya.
"Ta!" Kepala David yang menyembul di sela pintu ruangan membuatku sedikit kaget. Tanganku reflek menekan tombol merah di layar ponsel. "Jalan yuk. Laper nih."
Aku melirik ke arah layar ponselku sedikit miris. Bagaimanapun bukan keinginanku sepenuhnya untuk menolak panggilan itu. "Kenapa balik lagi sih, bang Dep? Kan tadi ngambek sama aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Status: It's Complicated
General FictionSepuluh tahun yang lalu Tama menikah. Bersamaan dengan itu mamanya memberi kabar ingin mengadopsi seorang anak karena kesepian ditinggal suami dan Tama yang menikah. Tama setuju. Beberapa tahun berselang, siapa yang menyangka Tama begitu cepat ditin...