23. Bagian Masa Lalu

13.5K 1.8K 93
                                    

"Yu, April kamu pulang kan?"

"Ini kan udah April, ma."

"Maksud mama besok buat PEMILU. Kamu pulang kan?"

"Iya, ma. Aku pulang, kan sekalian libur long weekend Paskah."

"Ya udah. Kalau Aa kamu, pulang nggak dia?"

"Hmm...kurang tahu, ma. Mama belum telepon Aa?"

"Belum sempat. Maksudnya nggak diangkat-angkat. Sibuk pisan itu Aa kamu nya? Masa balik telepon mama sandiri aja nggak sempat."

"Ya udah tunggu aja, ma. Mungkin pulang. Biasanya kan gitu. Kalau memang sibuk beneran gimana?"

"Sibuk ceunah..." gumam mama sambil mendengkus. "Kan kalau Aa kamu pulang, mama jadi agak tenang. Kamu ada yang jagain. Bisa pulang sama Aa, bareng dari Jogja."

Aku tertawa pelan. "Nggak apa-apa ih, mama. Neng kan udah dua lima, tahun ini dua enam. Neng udah gede."

"Ah buat mama kalian teteup anak kecilnya mama. Nggak pernah gede."

"Aih si mama mah."

"Eh, Yu... Ada yang mau mama tanyain ka kamu. Kamunya selo?"

"Tanya apa, ma? Ini neng kan kalau Minggu jatahnya rebahan aja, ma. Nggak sibuk. Selo, selo. Sok mama mau tanya apa?"

"Itu...kata si Aa, kamu udah putus ya sama David?"

Untuk sesaat aku tersentak dengan pertanyaan mama. Aku tak menduga pertanyaan semacam itu yang akan kudapatkan di hari Minggu pagi yang cerah ini. Aku bahkan belum beranjak dari tempat tidurku selain untuk urusan ke belakang tadi. Perutku yang masih kosong tiba-tiba bergejolak. Pertanyaan semacam itu selalu sukses menekan tombol mual di perutku. Rasanya seperti diremas-remas dengan paksa.

Dulu aku hanya janji mama adalah orang pertama yang kukabari saat aku menjalin hubungan dengan seseorang. Aku tidak pernah berjanji pada mama jika aku putus harus mengabari mama juga. Jadi, kupikir karena tak ada janji apapun yang kulanggar dan aku juga merasa sangat tidak siap mengabari mama tentang hal ini, aku diam dan menutupinya dari mama.

"Iya, ma..." lirihku setelah beberapa saat terdiam.

"Kenapa?"

Bibirku melengkung tersenyum. Namun senyum itu tak mencapai mataku. Inilah alasan aku enggan menceritakan hal ini pada mama. Aku yakin beliau tidak akan tinggal diam. Minimal akan menanyakan alasan putusnya hubungan kami.

"Nggak apa-apa, ma. Ya nggak cocok, gitu waelah."

"Kok gitu? Kenapa? Kalian berantem? Cerita sama mama."

Aku menggeleng pelan meski tahu mama tak bisa melihtanya. "Ah biasalah, ma. Orang pacaran kan nggak selalu harus berakhir di pelaminan kan? Neng nggak apa-apa kalau itu yang mama cemaskan."

"Hmm...padahal di mata mama David teh kelihatannya baik pisan. Jenis lalaki bertanggung jawab. Sekali lihat mama waktu itu dia langsung ngajak kenalan. Langsung inisiatif ngantar pulang. Bahkan waktu tahu kamu dari panti asuhan juga dia maju terus kan? Mama tahu dia orang baik, Yu. Sayang ya kalian udahan..."

Kupejamkan mataku erat-erat. Iya, David memang sebaik itu. Bahkan di mata mama dia tampak baik. Aku tidak salah kan dalam menilai dia? Ya...setidaknya sampai insiden waktu itu terjadi. Semua yang mengenal David pasti setuju dia pria baik-baik.

Aku mendesah lelah. Sudah bulan April dan luka itu masih menyisakan nyeri di hatiku. Bahkan tiap potongan adegan mengenaskan malam itu masih terpatri jelas di otakku.

Status: It's ComplicatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang