39. Another Way to Say....

3K 389 45
                                    

Beberapa hari kemudian aku sudah kembali ke Jogja, kembali pada aktivitasku semula. Lalu tanpa terasa sudah tiga minggu lebih waktu berlalu sejak terakhir kali interaksiku dengan Tama waktu itu.

Seolah tak terjadi apa-apa, hidupku di Jogja terasa damai seusai keributan yang kubuat bersama Tama di Bandung dulu. Seolah masalah kami waktu itu ikut tertinggal di Bandung dan tak mengikuti kami sampai di Jogja, semua berjalan normal seperti semula.

Kalau harus menjabarkan adanya perbedaan seusai pertengkaran kami malam itu, aku rasa hanya satu; aku dan Tama tidak saling berhubungan lagi. Kami memang pulang bersama waktu itu karena mama yang meminta. Walau harus kuakui berjam-jam duduk diam dengan orang yang ada di sebelahmu adalah hal paling canggung yang pernah aku alami seumur hidupku. Bayangkan, 10 jam perjalanan bersama orang yang kamu kenal dan sepanjang jalan kami berdua hanya duduk diam tanpa sepatah katapun, tanpa ada suara lain selain suara bising kendaraan di jalan. Dan keheningan itu ternyata berlanjut hingga hari ini, detik ini.

Mungkinkah Tama marah? Atau mungkin juga dia sudah muak.

Aku tidak berani menyalahkan Tama. Terakhir aku pergi dari kamarnya waktu itu, ia memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Selama 10 tahun lebih mengenal Tama, baru hari itu aku menyaksikan raut wajah Tama yang seperti itu. Kalau saat ini dia muak denganku...aku...

Kuusap dada kiriku ketika sensasi nyeri itu kembali datang. Aku yakin aku sehat tapi belakangan ini dadaku sering terasa nyeri tanpa sebab. Rasa nyerinya hampir seperti saat aku membaca novel dengan bumbu angst yang kuat. Namun, sensasi yang ini hanya terasa menyakitkan tidak seperti rasa sakit bercampur adrenalin karena berhasil menemukan bacaan yang bagus. Yang kurasa justru rasa sesak yang entah apa namanya. Dan ketika sensasi nyeri itu datang, semua terasa kacau, moodku berantakan, dan aku tidak tahu harus berbuat apa untuk menghilangkan rasa tidak karuan ini.

"Lita!"

Tepukan pelan di pundakku menarikku dari lamunan. Aku menoleh ke belakang dan mendapati wajah Putra tengah tersenyum lebar ke arahku.

"Jadi 'kan?" tanyanya.

"Iya jadi. Tunggu aku clock out dulu," kataku sambil menata buku di troli ke dalam rak.

Putra mengangguk. "Mau aku bantu?"

Aku menggeleng. "Nggak usah. Sebentar lagi juga selesai."

"Oke. Aku tunggu di depan ya."

Aku mengangguk, sudah itu Putra pergi. Aku dan Putra memang sudah janjian untuk pulang bersama. Ia melakukan itu sebagai bentuk rasa terima kasihnya karena kemarin lusa aku sudah jadi tamengnya saat dia tanpa sengaja "menghilangkan" sebuah buku dari donatur yang belum kami data sama sekali.

Indah hampir mencacimakinya ketika aku maju dan mengatakan bahwa buku itu terbawa pulang olehku dan lupa kubawa kembali ke perpustakaan. Akhirnya aku yang dimarahi, aku beralasan kalau buku itu tak sengaja terbawa olehku ketika aku meminjam salah satu buku di basement.

Untungnya buku itu tidak benar-benar hilang, "hanya" terselip di antara buku-buku basement yang ada di rak. Mungkin terdengar sepele tapi percayalah ini masalah yang cukup serius. Karena buku itu belum terdata sama sekali, jika ada yang mengambilnya, mesin sensor tak bisa mendeteksinya. Yang terpenting adalah buku itu merupakan sebuah buku sastra lawas yang aku sendiri tidak tahu di mana bisa mendapatkannya lagi. Atau lebih buruknya mungkin buku itu sudah tidak dicetak lagi.

Sebenarnya Putra sudah berusaha membalasku dengan mengajakku makan tapi aku selalu menolaknya. Yang membuatku tak enak hati adalah sudah tiga kali dia mengajakku makan dan ini adalah usaha ke empatnya setelah aku memberikan alasan ini-itu untuk menolak ajakannya. Akhirnya aku mengatakan kalau dia cukup mengantarku pulang selama tiga hari. Itupun tadinya dia berniat menawarkan jasa antar-jemput selama satu bulan untukku.

Status: It's ComplicatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang