"Bang David kalau mau ngerokok, di luar ya. Aku nggak punya asbak soalnya."
"Kamu nggak tahu ya kalau aku nggak ngerokok?"
"Oh."
Layar televisi sedang menampilkan iklan. Kujadikan kesempatan itu untuk berbicara dengan David. Aku tentu saja tahu David tak merokok. Sekian tahun kami bekerja bersama, tak sekalipun aku mendapatinya menyesap benda adiktif itu. Ucapanku tadi hanya sekadar basa-basi. Sekalian meyakinkan diri kalau David memang bukan perokok.
"Ngomong-ngomong, jadi jalan-jalan keluar?" tanyaku.
"Katanya panas. Eh ada sih yang nggak panas."
"Di mana?"
"Mall."
Aku mencibir. "Mau ngapain? Rebutan baju diskon sama mbak-mbak?"
David tertawa. "Aku pernah lho kena cakar sama ibu-ibu yang lagi heboh pilihin baju buat anaknya."
Mataku membulat. "Kok bisa?"
"Waktu itu pas diskon besar-besaran. Aku nemenin saudara yang belanja di sana. Nggak tahu gimana ceritanya, tiba-tiba pada ribut aja. Dorong-dorongan. Ada satu ibu-ibu muda, dia mau ambil baju di sebelahku tapi tangannya nggak sengaja mampir dulu ke leherku." David mengusap pelan sisi kanan lehernya.
"Oh iya. Aku inget tuh. Waktu itu aku lihat lukanya. Kukira waktu itu bang David habis berantem sama pacarnya."
David tertawa lagi. "Nah, itu hari pertama kerja kan? Habis libur akhir tahun juga. Padahal udah tiga atau empat hari lewat tapi tetep merah kan lukanya? Aku sempet was-was takut infeksi."
Aku hanya tertawa. Waktu itu aku sebenarnya mau menanyakan sebab di balik luka David. Namun, urung karena ada yang bilang itu hal yang wajar. Lebih tepatnya ada beberapa staff yang bergosip demikian.
"Halah paling habis 'gelut' sama yayangnya di kasur."
"Iya kali. Maklum LDR."
"Ganas ya."
Sekarang aku tahu cerita aslinya. Memang ya 'malu bertanya sesat di jalan'. Yang namanya gosip, kalau belum ada klarifikasi langsung dari si empunya cerita, tetap saja angin lalu.
"Jadi gimana? Mau jalan ke mall?"
Aku menggeleng. "Nggak ah. Malas. Penuh pasti. Takut kena cakar kayak bang David."
"Sialan. Terus mau ke mana?"
Aku diam dan berpikir. "Mau main PS?"
David memandangku. Raut wajahnya mengatakan rasa sangsi yang besar. "Kamu? Main PS? Main apa? Tetris?"
Aku hanya memajukan bibirku saja.
"Nggak usah manyun. Ya udah ayok main PS yok. Mana PS-nya?"
Aku tak menjawab pertanyaan David. Namun, aku langsung berdiri dan berjalan mendekati tv. Berlutut, kubuka lemari kecil di sana dan mengeluarkan PS2 beserta setumpuk CD game. Kuletakkan semuanya di atas meja.
"Wuih bener punya PS ternyata?"
Aku memutar bola mataku dan mulai memasang kabel-kabelnya. Sudah itu aku mengambil remot tv dan memprogramnya sedemikian rupa hingga layarnya menunjukkan tampilan PS2.
"CD-nya banyak banget, Ta? Punya kamu semua?"
Tanpa kusadari ternyata David sudah mengambil CD binder dari atas meja. Ia membalik lembar demi lembar wadah plastik berisi keping CD itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Status: It's Complicated
General FictionSepuluh tahun yang lalu Tama menikah. Bersamaan dengan itu mamanya memberi kabar ingin mengadopsi seorang anak karena kesepian ditinggal suami dan Tama yang menikah. Tama setuju. Beberapa tahun berselang, siapa yang menyangka Tama begitu cepat ditin...