Yang dikhawatirkan olehku dan David terjadi sungguhan. Baru juga sampai di Gejayan, jalanan sudah padat oleh kendaraan bermotor. Pelan-pelan David menyelip di antara kendaraan lainnya. Bukannya semakin lenggang, justru kami dihadang dengan banyaknya mobil dan motor yang berjajar di lampu merah.
Harusnya kami tinggal belok ke kiri saja. Namun, tidak bisa karena jalanan benar-benar penuh. Kendaraan yang berlalu-lalang di Ring Road juga sudah padat. Kami benar-benar berhenti, tak bisa lagi mencari celah.
"Masih mau ke Kaliurang, bang?"
David menegapkan badannya dan menolehkan wajahnya padaku. "Kita telat keluar. Udah macet. Gimana?"
"Balik aja bisa nggak? Kalau nekat nanti kasihan abang di jalan."
David malah tertawa. Tangan kirinya mendarat di lututku. Meski tertutup jeans, sentuhan David tetap membuat jantungku berdesir.
"Kalau naik motor kayak gini yang capek bukan aku tapi kamu yang bonceng."
Aku diam saja. Mati-matian berusaha supaya tidak salah tingkah.
"Ya udah nanti kita cari jalan tembus, balik ke rumah kamu aja. Kasihan juga kalau macet gini." David tertawa sebentar. "Besok aku balikin joknya kayak semula biar kalau kamu bonceng nggak menderita-menderita amat."
Yah jadi karena itu pada akhirnya kami memang memutar arah. Kembali ke rumahku. Pada saat itu langit sudah gelap.
"Maaf ya, bang, nggak jadi ke Taman Lampion," ucapku setelah turun dan melepas helm. Kuulurkan helm itu ke David tapi ia tak segera mengambilnya.
David justru melepas helmnya dan mendekapnya di atas tangki motor. "Kalau gitu boleh aku habisin waktu lebih lama sama kamu di sini? Dari awal tujuanku kemari memang mau menghabiskan akhir tahun bareng kamu. Kalau nggak jadi ke Taman Lampion, kita main PS lagi aja sampai tahun depan."
Ha?
"Maksudnya sampai pergantian tahun nanti malam," lanjut David.
"Oh..."
"Boleh?"
"Hm? Apa?"
David malah tertawa dan mencubit pipiku. "Bisa nggak kamu lebih menggemaskan dari ini? Rasanya pengen gigit kamu."
Tubuhku menegang di tempat. Ucapan David barusan sama sekali tak pernah terpikirkan olehku.
Bukan karena aku tak pernah mendengar ungkapan seperti itu dari laki-laki. Aku malah sering mendengarnya. Namun konteksnya berbeda.
Saudaraku banyak, ingat?
Yang namanya saudara, kalau tidak bertengkar, itu bukan saudara. Sewaktu kecil aku sering mendengar kalimat itu; baik dari laki-laki ataupun perempuan. Dulu kadang jika aku bertengkar dengan mereka, ada saja yang melontarkan ancaman itu. Itu terealisasi. Sungguhan. Keloid kecil membujur di telunjuk kiriku buktinya.
Itu waktu aku kecil. Itu karena aku tak mau mengalah bermain ayunan. Lawanku pun saat itu laki-laki. Dia sudah memperingatiku dua kali. Mengancam satu kali. Lantas merealisasikan ucapannya dengan menggigit kencang telunjukku.l
Namun sekarang?
"Ta? Tegang banget sih? Aku cuma bercanda." David tersenyum geli.
Aku juga akhirnya mau tak mau membalas senyumannya dengan terpaksa.
"Jadi ini aku boleh nggak menghabiskan akhir tahun sama kamu?"
Satu menit lamanya aku hanya diam dan menggigit bibir bawahku. David juga hanya menunggu. Wajahnya yang tadinya tersemat sebuah senyuman perlahan pudar. Lalu perlahan keningnya mengerut, kedua alisnya bertaut samar, menunjukkan rasa cemas. Hingga akhirnya tatapan matanya yang tadi penuh binar jenaka kini sirna sudah menjadi menatapku datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Status: It's Complicated
General FictionSepuluh tahun yang lalu Tama menikah. Bersamaan dengan itu mamanya memberi kabar ingin mengadopsi seorang anak karena kesepian ditinggal suami dan Tama yang menikah. Tama setuju. Beberapa tahun berselang, siapa yang menyangka Tama begitu cepat ditin...