32. Pertemuan Terakhir

11.2K 1.4K 90
                                    

Firasat burukku terjawab ketika pada akhirnya aku menuruti Tama untuk masuk ke dalam kamar VVIP itu.

Di hadapanku, terbujur lemah sosok pria yang berminggu-minggu ini kupertanyakan keberadaannya. Ia terbaring dengan wajah lebam dan tubuh lemah. Senyumnya terkembang tipis.

"Papa nggak apa-apa. Ini efek obat tidurnya aja," katanya dengan suara agak parau.

Sejujurnya, kurasa ini bukan sebuah pertemuan penuh drama seperti yang ada di sinetron Indonesia. Aku tidak berteriak histeris memanggil-manggil ayahku lalu menangis sambil memeluknya. Respon seperti itu hanya bisa kukeluarkan jika kami memang memiliki ikatan batin yang kuat. Namun, seperti yang kalian ketahui, aku dan ayahku tak pernah bertemu. Jangankan pada ayahku, setiap kali aku berziarah ke makam ibu saja, aku tidak pernah merasakan perasaan sentimentil itu.

Pria ini memang ayah kandungku. DNA tubuhnya tertanam di dalam tubuhku. Namun, selama hampir 26 tahun aku hidup, aku tak pernah bertemu dengannya. Akan terkesan berlebihan jika aku mengatakan aku merasa sedih dan histeris melihatnya seperti ini. Aku kasihan...tapi tidak merasa diriku perlu menangis.

"Bapak kenapa bisa begini?" tanyaku. Lantas kepalaku menoleh ke sana kemari pencari keberadaan seseorang. Aku berharap tidak menemukan sosok itu.

"Apa kamu bisa panggil saya papa?"

Aku terdiam dan menggigit bibir bagian dalamku. Kalau boleh jujur, aku ingin tahu rasanya memiliki seseorang yang bisa kupanggil ayah. Maksudku, aku tahu rasanya punya bunda dan mama. Aku sudah tahu rasanya punya sosok wanita yang bukan hanya bisa kusebut ibu tapi bisa jadi pelindungku dan memberikan aku kasih sayang layaknya ibu kandung. Namun, hati kecilku yang serakah ini kadang meminta lebih.

Bunda pernah bilang, apapun yang ada di dunia ini hanyalah titipan. Semua adalah pemberian Tuhan yang harus kita syukuri. Namun, selayaknya manusia, aku bisa serakah. Walau, sebagai pembelaanku, rasa serakahku kali ini adalah rasa serakah yang memang sudah wajar aku miliki. Ini hakku! Aku juga ingin mengetahui rasanya punya ayah. Apalagi saat ini, aku tahu pasti pria yang ada di hadapanku ini adalah ayah kandungku. Bukan seperti bunda yang merawatku sejak kecil karena aku memang dititipkan padanya. Bukan seperti mama yang memilih aku untuk jadi anaknya. Pria ini sudah digariskan Tuhan untuk jadi ayahku. Takdir kami sudah terpaut bukan hanya karena sekadar probabilitas tapi memang sudah garis takdir Tuhan yang memang tak bisa ia apa-apakan.

"Saya takut saya kurang pantas menyebut bapak sebagai papa saya."

Pria itu tersenyum tapi matanya menyorot sedih. "Maafkan istri saya, Lita. Kamu tidak seharusnya diperlakukan seperti itu. Kamu tidak tahu apa-apa. Saya yang salah. Maafkan saya ya."

Lalu tanpa kuduga, lelaki itu menangis sesenggukan. Tubuhnya berguncang pelan dan air matanya mengalir deras.

"Saya tidak tahu kamu melewati hidup seperti itu. Ini semua salah saya. Saya tidak tahu ibu kamu sudah tiada. Maafkan saya, Lita. Maafkan saya."

Pria itu menutup wajahnya dengan sebelah tangannya yang tidak diinfus. Ia mengusap kasar air mata di wajahnya.

"Seharusnya kamu bisa menikmati hidup layaknya anak lainnya. Saya tidak menduga kamu besar di panti asuhan. Kenapa kamu tidak mengatakan itu sejak awal? Seberapa besar dosa saya ke kamu, Lita? Bagaimana saya bisa menebusnya?"

Kugigit bibirku makin keras. Melihat sosok pria ini menangis pasrah di hadapanku membuat hatiku bergetar. Meskipun aku baru mengenalnya beberapa minggu, aku bisa melihat rasa penyesalan yang sangat mendalam darinya. Tangisnya semakin keras, begitu pilu menyayat hati.

Namun, jauh dalam hatiku sana, aku tahu penyesalan itu tidak ditujukan untukku...

"Bapak nggak bisa melakukan apapun," kataku. "Bukan saya yang membuat bapak merasa seperti ini. Bapak merasa berdosa pada Litahayu; ibu saya, bukan saya. Saya hanya kebetulan memiliki nama dan rupa yang sama dengan wanita yang bapak sakiti. Sebesar apapun dosa bapak dan cara bapak menebusnya, itu bukan tergantung pada saya."

Status: It's ComplicatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang