26. Cerita Dalam Secangkir Kopi

11.6K 1.4K 26
                                    

Rumah mama cukup besar dan terdiri dari dua lantai. Semua kegiatan dilakukan di lantai bawah; dari menerima tamu sampai mencuci baju. Lantai atas dulunya hanya digunakan untuk menjemur pakaian. Lantai ini juga digunakan untuk merawat tanaman-tanaman potnya. Ada mawar sampai bonsai. Namun, seiring bertambahnya usia mama, beliau mulai kesulitan jika harus tiap hari naik-turun tangga. Maka dari itu, tempat menjemur sekarang sudah dipindah ke halaman belakang, pun tanaman-tanaman potnya karena mama hanya tinggal sendiri. Jadi, begitu aku menengok kembali tempat ini, tempat ini sudah berbeda.

Tempat ini masih sama luasnya, malah terkesan lebih luas karena tidak ada lagi pot-pot tanaman berjajar di lantai dan di dinding balkonnya. Tali jemuran masih terbentang kokoh meski tertutup debu tebal. Kanopi yang menutupi keseluruhan lantai ini agak transparan maka dari itu aku bisa melihat siluet dedaunan yang jatuh di atasnya.

Sampai di sana, Tama sudah duduk manis di atas undakan kayu tempat mama menata pot-potnya dulu. Satu mug hitam ada dalam genggaman tangannya. Sebuah mug hitam yang kuyakini berisi kopi hitam kesukaannya. Saat pandangan kami bertemu, Tama mengisyaratkan supaya aku duduk di sebelahnya, tepat di sebelah mug hitam lainnya yang masih mengepulkan asap. Jadi, aku langkahkan kakiku ke sana.

Sebelum duduk, aku ambil mug di sana dan kugenggam dengan kedua tanganku. Hangat yang dihantarkan dinding mug langsung terasa di telapak tanganku.

Tama menyeruput pelan kopi di tangannya. Lalu matanya mengedik ke arah mug di tanganku. Jadi, kuminum perlahan kopi itu. Hidungku langsung menghidu aroma khas kopi, lantas perlahan indra pengecapku mulai merasakan tiap seruput benda cair itu. Manis dan gurih dari susu dan krimer adalah rasa pertama yang tercecap lidahku, lalu samar pahitnya kopi menutup di bagian akhir.

Aku tertegun sesaat dengan rasa kopi susu yang khas ini. Aku pernah merasakan kopi ini sebelumnya, sama persis. Hingga otakku mampu memutar lembaran memori yang tersimpan rapi di balik rasa itu.

Ini kopi buatan Mila.

Aku melirik Tama yang ternyata sudah sedari tadi memperhatikanku. Bibirnya melengkung tipis menampilkan sebuah senyuman. Namun, di tengah temaramnya lampu jalanan yang ada di sisi rumah, aku bisa melihat matanya menyorot sendu seolah tengah merindukan seseorang.

Kurasa bukan aku seorang di sini yang tengah bernostalgia dengan kopi susu ini....

Keheningan membentang panjang setelah pandangan kami terputus. Entah berapa lama kami saling duduk bersisian sambil menyeruput kopi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tubuh kami boleh menghadap lurus memandang ke arah anak tangga tapi siapa yang berani jamin bahwa mata dan pikiran kami memang menuju ke sana?

"Aa kangen Teh Mila?" tanyaku setelah kopiku kuseruput seperempat.

"Hm?"

Tama menoleh padaku. Aku yakin dia mendengar pertanyaanku jadi aku tidak mengulanginya. Kami hanya diam dan saling memandang. Dan benar saja, Tama tersenyum padaku lalu menyesap kembali kopinya.

"Aku baru-baru ini dikasih tahu, Ta, kangen orang yang udah nggak ada itu hanya perasaan semu. Beda kalau kangen sama orang yang memang masih satu dunia sama kita." Tama kembali memandangku. "Urusan Mila di dunia ini udah selesai. Dia udah bahagia di sana. Apapun yang dia mau udah bukan urusanku lagi, udah bukan tanggung jawabku lagi. Dia...udah bahagia. Jauh lebih bahagia di sana."

Sebentar dia menatapku, sebentar kemudian dia memalingkan wajahnya. Ia menunduk menatap satu titik semu di lantai dan matanya mengerjap cepat. Senyumnya kembali tersungging. Sebuah senyum sendu lebih tepatnya.

"Kamu ingat piyama yang aku bawakan buat kamu di rumah sakit waktu itu?"

Aku mengangguk meski Tama tak menatap ke arahku.

Status: It's ComplicatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang