7. Thank you, next!

17.5K 2.2K 85
                                    

"Ha. Ha. Ha. Thank you, next!"

Tama tertegun mendengar jawabanku. Akupun tak mau gentar membalas tatapannya. Kalau ia pikir aku bercanda, akan kubuktikan kalau sebenarnya ia tak bisa seenaknya seperti ini.

"Ayolah, Ta."

"Nggak. Nggak ada. Nggak mau."

"Tapi kan-"

"Nggak ya, A! Cukup! Aku nggak mau."

"Aku cuma minta kamu buat-"

"No. No. No."

Muka Tama terlihat masam. Ia menyipitkan matanya padaku. Aku tak ambil pusing, langsung kumatikan panggilan video itu secara sepihak.

"Naon (kenapa), Yu?" Mama menyentuh pundakku dari belakang. Beliau lantas duduk di sebelahku di sofa ruang tengah.

"Si Aa, ma. Masa minta aku buat dateng ke nikahan temennya. Kenal juga nggak."

Mama justru tertawa. "Alex itu ya? Temen kuliah Aa kan?"

"Iya yang itu. Yang tiap kali main sini selalu habisin camilan dalam toples."

Mama tertawa makin kencang. "Yang pernah kamu taksir itu kan?"

Aku langsung menahan napas. Pipiku menghangat seketika. "Ih mama..." rengekku.

"Naon (kenapa)? Mama bener kan? Tiap kali Alex kemari kamu kan suka ngintip-ngintip ke ruang tengah. Seliweran wae, wara-wiri nyuri pandang ka Alex."

Aku mengerucutkan bibirku. Terlalu malu mengingat itu semua. Mama memang benar. Aku sempat 'naksir' Alex. Waktu itu aku masih polos, sangat polos. Masih gadis polos berusia tujuh belas tahun. Masih hangat-hangatnya mengenal rasa berlebih terhadap lawan jenis.

Maaf, aku ngeri sendiri jika menjabarkan perasaan itu sebagai cinta.

Aku suka Alex karena terlampau baper. Ia sering menggodaku, sering menggombaliku. Sering menari-narik rambutku ketika aku lewat di dekatnya. Sering memanggilku dengan, "ssttt, ssttt," ketika berpapasan denganku. Sering mengatakan secara terang-terangan pada mama kalau ia berniat mengambilku sebagai kekasih. Iya, aku dulu semurah itu!

"Mamaaa...ulah ngomong kitu lagi. Aku kan malu." Aku lantas memeluk lengan mama dan menyembunyikan wajahku yang kuyakin bersemu di sana. "Itu kan udah lama. Akunya juga masih labil. Belum ngerti apa-apa."

Mama mengangkat daguku. Ia tersenyum dan membelai rambut sepundakku. "Mama tahu. Makanya omongan Alex nggak pernah mama gubris. Tapi, Yu..." mama menjeda ucapannya. Sengaja membuatku penasaran.

"Tapi apa, ma?"

"Tapi Aa kamu yang bawel."

Aku mendengkus. Menyesal sudah penasaran. "Udah basi. Aa kan memang galak. Ningali (lihat) Neng pulang bareng temen lalaki wae cerewetnya minta ampun. Lebih galak Aa daripada mama. Pusing, sampai hampir nggak ada temen cowok yang mau main ka rumah."

"Nggak galak. Cuma berusaha menjaga kamu aja, Neng. Dua puluh lima tahun dia hidup kan cuma jadi anak tunggal. Pas ada kamu, mama yakin Tama aslinya seneng juga."

"Berlagak sok jadi kakak laki-laki gitu ya, ma? Yang bersikap sok protektif biar adeknya nggak dapet pacar," kataku.

"Hus! Aa kan niatnya baik, Yu. Kamu masih kecil dulu. Belum boleh pacaran, takut keblinger. Makanya Aa jagain kamu. Kitu!"

"Halah sampai sekarang juga begitu. Neng kan udah dua lima, ma."

"Tapi masih manja," ucap mama tepat ketika aku akan membaringkan kepalaku di atas pangkuannya.

Status: It's ComplicatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang