"Aduh! Sakit, Ta. Pelan-pelan!"
Aku meringis. Tanpa menjawab Tama, kupulas ulang salep di pelipisnya. Sudah mulai tampak hijau kebiruan. Pasti rasanya ngilu.
"Sakit banget memang, A?" tanyaku.
"Menurutmu? Pagi-pagi buta kepala kena lempar mug, itu sakit nggak?"
Aku kembali meringis. Kali ini karena rasa bersalah. Kutuntaskan segera mengobati pelipis Tama.
"Ya maaf. Kan aku biasa hidup sendiri."
"Kamu ngga bisa ngenalin Aa kamu sendiri?!"
"Aku lupa Aa nginep di sini."
Aku tersenyum canggung. Kulirik jendela di dapur. Langit sudah mulai menampakkan semburat kebiruan. Ini Sabtu pagi dan pagi ini kuawali dengan sebuah insiden.
Berawal dari rasa kering yang kurasakan di tenggorokan. Aku langsung bangun dan berjalan menuju dapur untuk minum. Masih setengah sadar, aku mengambil minum dari dispenser dan bersandar di konter dapur sambil minum. Mataku setengah terpejam karena mengantuk saat kulihat sosok lelaki jangkung berjalan perlahan memasuki dapur. Aku memang tak menyalakan lampu dapur. Keadaan yang agak gelap itulah yang membuatku tak mampu mengenali sosok pria itu. Ditambah otakku belum bekerja secara maksimal karena bangun tidur, aku lupa bahwa pagi ini aku tak tinggal sendiri di rumah.
Karena ketakutan melihat sosok itu semakin mendekat, aku panik. Hal pertama yang terlintas di kepalaku adalah cara melindungi diri. Maka dari itu, mug yang ada di tanganku adalah hal pertama yang paling masuk akal untuk kujadikan senjata. Kulempar begitu saja gelas besar yang masih tersisa sedikit air itu ke arah sosok yang mendekatiku.
Bunyi hantaman terdengar jelas, disusul erangan seorang pria dan pecahnya gelas di atas lantai. Barulah aku sadar. Aku langsung berlari dan menyalakan lampu. Saat itu Tama sudah berjongkok dengan memegangi kepalanya. Ia mengerang kesakitan di samping pecahan gelas yang tadi kulempar.
Jadi...ya begitulah.
"Tapi Aa hebat kepalanya nggak berdarah. Benjol juga nggak."
"Nggak sekalian kamu berharap Aa kamu masuk rumah sakit?" tanya Tama galak.
"Maaf ih. Aku nggak sengaja. Kalau aku tahu tadi itu Aa juga nggak akan kulempar. Aku beneran lupa kalau Aa nginep sini. Lagian Aa kenapa nggak bersuara? Panggil namaku kek buat basa-basi."
"Mana aku tahu kamu di dapur. Kamu tahu mataku minus. Lampunya juga mati. Kenapa nggak dihidupin?"
"Ya ini kan rumahku. Udah hafal bentukannya gimana. Nggak pakai lampu juga aku tahu barang-barang di sini."
Tama mendengkus. Ia sesekali masih mendesis dan memegang pelan alisnya. Mata kirinya sampai terpejam. Mungkinkah sesakit itu? Ya iyalah!
"Aa kenapa sih pakai acara nginep di sini? Beneran sembunyi dari mantan?"
"Hm."
"Memang mantan Aa mantan pembunuh ya?" Aku masih tak mengerti mengapa Tama menginap di rumahku. Masa iya ia menginap karena sembunyi dari perempuan? Payah sekali!
"Orang yang ngasih kamu kartu nama kemarin namanya Viona. Itu salah satu perempuan yang mama pilih buat jadi calon kakak ipar kamu."
Aku tertegun. Jujur saja, aku sempat lupa dengan fakta itu. Fakta bahwa Tama sebelum ini menjalani perjodohan. Beberapa perjodohan yang dirancang oleh mama. Perjodohan yang tak pernah sekalipun Tama tolak. Kecuali yang terakhir kemarin...saat ia dijodohkan denganku. Aku jadi penasaran. Berapa banyak 'mantan' Tama sekarang?
"Dia kan cuma perempuan. Memang tampangnya terlihat agak judes sih. Tapi kan tetep aja dia cuma perempuan."
"Viona itu posesif. Waktu jalanin hubungan sama dia, aku telat balas pesan dia aja, udah marah-marah. Teleponnya nggak kuangkat, langsung disusulin ke tempat kerja. Tiap pagi, siang, sore, malam...harus selalu laporan sama dia. Tahanan kota aja kalah. Aku nggak betah. Cuma dua minggu aku jalan sama dia. Habis itu aku putusin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Status: It's Complicated
General FictionSepuluh tahun yang lalu Tama menikah. Bersamaan dengan itu mamanya memberi kabar ingin mengadopsi seorang anak karena kesepian ditinggal suami dan Tama yang menikah. Tama setuju. Beberapa tahun berselang, siapa yang menyangka Tama begitu cepat ditin...