"Mama nggak setuju!"
Aku sampai memejamkan mata saking keras dan melengkingnya suara mama. Ada rasa was-was takut jika ada tetangga yang mendengar dan merasa terganggu jam istirahatnya diusik.
"Tapi mama sendiri kemarin minta aku untuk nikahin Lita."
"Itu kemarin. Sekarang mama udah berubah pikiran."
"Kenapa?"
"Pokoknya mama nggak setuju!"
Tama mengerang lalu mengacak rambutnya sampai lebih berantakan. Itu juga kalau memungkinkan. Sedari tadi ia sering mengacak rambutnya sendiri karena berdebat dengan mama. Aku hanya bisa meringis melihatnya putus asa seperti itu. Oh ini bukan putus asa karena ia tak bisa menikahiku. Bukan. Ini karena sudah seminggu lebih sejak mama pulang dari rumah sakit, Tama masih belum bisa mengajak mama berbaikan.
Waktu mama masih dirawat, Tama sama sekali tak diizinkan masuk ke kamar mama. Mama menolak tegas kehadirannya. Tama juga akhirnya menuruti karena tak mau kondisi mama semakin parah. Namun, semenjak mama keluar dari rumah sakit, Tama begitu gigih merayu mama supaya dimaafkan. Segala rayuan, bujukan, apapun sudah dilakukan Tama. Dari hal sepele seperti membelikan mama makanan dan barang-barang, sampai ia rela tidur di rumah kontrakanku, di ruang tamu pula. Semua itu tak mampu meluluhkan hati mama. Yang terakhir adalah yang baru saja ia lakukan. Ia berjanji pada mama untuk menikahiku.
"Tapi Lita mau kunikahi. Iya kan, Ta?" Aku terkesiap waktu tiba-tiba Tama menarikku berdiri di sampingnya. Mataku mengedip-ngedip karena bingung.
"Nggak!" Mama langsung menarik tanganku. Membawaku kembali duduk di atas ranjang di sampingnya. "Mama tetap nggak setuju."
"Tapi kenapa?" Tama kembali menjambak rambutnya. Rambutnya yang akhirnya dipotong tiga hari lalu dan ditata slicked back itu terlihat begitu mengenaskan. Sama dengan kemeja putihnya yang sudah kusut dan salah satu sudutnya keluar dari celana.
Mama menggeleng. Tangannya masih erat memegang tanganku. "Selama ini mama buta. Mama terlalu fokus sama apa yang baik buat kamu. Sampai mama melupakan apa yang terbaik buat anak mama yang satunya."
"Maksud mama apa?"
"Ayu terlalu baik buat kamu."
Tama mendengkus. Matanya menatap tak percaya padaku. Bibirnya terbuka asimetris, menampilkan seringaian yang seolah mengatakan 'yang benar saja?!' Iya, aku tahu memang ini cukup mengejutkan. Akupun tak menyangka mama mengatakan hal itu.
"Ma-"
"Nggak! Udah, kamu pulang sana! Mama mau tidur."
Tama sudah bersiap membuka mulutnya lagi. Namun aku bergegas berdiri dan mengambil alih situasi. Kuajak Tama untuk keluar dari kamar mama.
"Aa pulang aja," kataku begitu kami sudah di ruang tamu. "Besok Aa ke sini lag-"
"Sampai kapan kayak gini?!" Aku sedikit terkejut ketika Tama membentakku. "Kamu bantuin aku lah, Ta! Jangan bisanya cuma jadi penonton aja tiap hari!"
Walau aku tahu Tama mengatakan itu karena mulai lelah, baik fisik maupun emosi, tapi tetap saja ada cubitan kecil di dadaku. Memangnya ini semua salahku?
"Iya, besok aku bicara sama mama," kataku tenang. "Sekarang Aa boleh pulang. Udah malam."
"Kamu ngusir aku?!"
Aku menghela napas untuk menenangkam diri. Bukan hanya Tama yang lelah di sini. Akupun baru pulang kerja jam setengah sembilan tadi. Sampai rumah harus siap menikmati drama yang disajikan Tama dan mama. Keadaan seperti ini sudah terjadi sejak mama keluar dari rumah sakit. Kalau sekarang Tama memutuskan untuk menjadikanku pelampiasan amarahnya, ia salah besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Status: It's Complicated
General FictionSepuluh tahun yang lalu Tama menikah. Bersamaan dengan itu mamanya memberi kabar ingin mengadopsi seorang anak karena kesepian ditinggal suami dan Tama yang menikah. Tama setuju. Beberapa tahun berselang, siapa yang menyangka Tama begitu cepat ditin...