10. Used to be Princess Wanna be

15.6K 1.8K 87
                                    

Dari dulu sampai sekarang, panti asuhan yang dikelola bunda bukanlah panti asuhan besar. Untuk sebuah rumah, bangunan itu besar. Namun, untuk dijadikan sebuah tempat bersinggah bagi banyak anak, tempat itu begitu terbatas. Selain kamar pribadi bunda, ada dua kamar yang jauh lebih besar dari kamar bunda. Di kamar itulah anak-anak tidur dan berbagi segalanya. Kami hidup seperti di asrama. Satu kamar untuk anak perempuan, satunya untuk anak laki-laki. Satu kamar bisa berisi delapan sampai sepuluh orang.

Dulu gawai belum semarak sekarang. Selain bermain di halaman bersama anak-anak lainnya, hiburan kami hanya berupa siaran televisi. Tiap kali Dunia Dalam Berita tayang di tv, artinya kami harus kembali ke kamar. Itu jam malam kami.

Bagaimanapun, hanya ada satu tv di panti asuhan. Satu tv sebesar 21 inci. Dengan tv itu kami, belasan hingga dua puluh anak kecil, harus berbagi.

Ada satu waktu ketika aku masih SD kelas 1. Ketika hari Minggu tiba dan kami selesai dengan kegiatan Sekolah Minggu, semua anak akan berebutan lari ke dalam rumah. Lelaki, perempuan, semua punya satu tujuan; menguasai remot tv. Siapa cepat, dia dapat! Pemegang remot adalah penguasa tv untuk sepagian itu. Sisanya harus rela mengikuti kemauan si penguasa.

Pada hari Minggu, meski tak terlalu kentara, perselisihan di antara kami para anak lelaki dan perempuan akan terlihat. Akan ada dua kubu pada hari itu. Satu ingin menyaksikan Dragon Ball, satunya ingin menyaksikan animasi musikal Barbie.

Aku, sebagaimana terlahir perempuan, tentu memilih animasi musikal Barbie. Ini klise tapi anak perempuan memang ingin jadi seorang putri. Aku bahkan punya satu film Barbie yang paling kusuka, bahkam hingga sekarang. Judulnya Princess and The Pauper.

Semenjak aku melihat animasi musikal itu, pikiranku terbang mengkhayal kemana-mana. Mulai dari kemungkinan memiliki kembaran seorang putri, hingga bermimpi akan bertemu seorang pangeran seperti yang Erica alami.

Iya Erica. Aku sama seperti dia. Yatim piatu dan miskin. Aku harus berusaha keras untuk tiap hal yang kuinginkan. Aku harus berjualan aksesoris dan menabung uang saku selama tiga bulan hanya untuk membeli sepasang sepatu sekolah yang baru. Selama tiga bulan itu aku harus menahan diri, tiap kali berjalan harus rela menahan sesak di kaki karena sepatuku yang kekecilan.

Jadi, ya aku memang sepolos itu dulu. Sepolos mengharapkan seorang pangeran datang dan akan menikahiku nantinya. Tapi, hey, kalian tak bisa menyalahkan pikiran seorang gadis kecil berumur tujuh tahun bukan?

Mulai dari tayangan televisi itulah secara tak sadar pemikiranku terbentuk.

Aku ingin punya jalan hidup seperti seorang putri.

Walau seiring berjalannya waktu aku sadar bahwa keinginan itu terlalu...halu? Ketika aku beranjak remaja, kegemaranku pada Barbie beralih perlahan pada novel teenlit. Tak jarang aku mengorbankan uang sakuku demi sebuah buku dengan plot roman picisan. Semakin bertambah umur, bacaanku bertambah dewasa juga. Dari Barbie lalu ke teenlit sekarang beralih pada genre new adult. Sempat kesengsem juga waktu cerita CEO bertebaran waktu itu. Hingga akhirnya cerita bertagar age gap sedang tren saat ini.

Apapun itu, semua cerita itu punya satu benang merah; lelaki tampan sempurna yang mencintai sang tokoh wanita utama!

Meski bacaanku berkisar pada plot yang itu-itu saja, aku tetap tahu diri bahwa lelaki sempurna itu tak ada di dunia nyata. Kata orang, lelaki tampan dan sempurna itu kalau bukan taken ya gay.

Tahu definisi pria tampan sempurna? Pria tampan sempurna itu:
Tidak merokok.
Tidak minum.
Tidak berjudi.
Tidak berbohong.
Tidak selingkuh.
Tidak lemah.
Tidak malas.
Tidak boros.
Tidak akan ditemukan!

Lantas David?

Dia sempurna. Setidaknya menurut pandanganku. Dia lelaki pertama yang kutemui yang memiliki semua kriteria 'sempurna' dan bukan seorang gay. Saat ini dia juga lajang.

Status: It's ComplicatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang