Sejak Andrea pergi tadi, aku dan David tak langsung pulang. David memelukku sebentar sampai aku berhenti menangis. Ia lantas mengajakku duduk di undakan teras dan terus-terusan mengusap kepalaku. Sesekali ia merapikan rambutku dan mengusap pipiku yang basah karena air mata.
"Masih sakit?" David mengusap-usap pelan kepalaku.
Aku mengangguk. Kepalaku rasanya berdenyut ngilu. Kalau sampai nanti aku bertemu kaca dan mendapati kepalaku pitak, akan kucari Andrea sampai dapat. Akan kugunduli kepalanya itu!
David memandang iba padaku. Tangannya masih senantiasa mengusap kepalaku. Ia lantas menengok jam di pergelangan tangan kirinya.
"Pulang sekarang?" tanyanya. "Udah jam limaan."
"Iya," kataku pelan dengan suara sengau.
"Kamu naik taksi aja ya? Kan bawa koper juga. Kepala kamu juga kayaknya ada yang lecet. Mungkin kena kukunya si perempuan tadi. Pasti sakit kalau pakai helm. Nanti aku ikuti dari belakang, ya?"
"Nanti kalau Aa udah sampai rumah duluan gimana? Bang David pulang aja. Aku sendiri bisa kok."
"Nggak boleh gitu. Kamu kayak gini kan pas sama aku. Kalau sampai Aa kamu lihat kamu pulang keadaan begini dan nggak ada aku, nanti dikira aku lelaki nggak bener. Nggak bertanggung jawab."
"Tapi kan Aa memang nggak tahu aku di sini sama abang."
"Makanya. Udahlah, nggak usah sembunyi-sembunyi. Orang kita juga nggak ngapa-ngapain. Kuantar pulang ya?"
Aku hanya mengangguk. David segera mengeluarkan ponselnya dan memesan layanan taksi online. Beberapa menit kemudian aku sudah ada di dalam taksi dengan David membuntuti dari belakang menggunakan motornya.
Sesuai dugaanku, Tama memang sudah ada di rumah. Kemejanya sudah keluar dari celana dan lengannya dilipat sampai bawah siku. Tangan kanannya menempelkan ponsel di telinga. Saat melihatku turun dari taksi, Tama mematikan sambungan lalu mengantongi ponselnya dan berjalan mendekatiku. David di belakang memarkirkan motornya di sebelah mobil Tama. Ia lantas pergi membayar sejumlah uang pada sopir taksi.
"Kenapa baru pulang? Dari tadi ditelepon juga nggak diangkat. Mampir kemana dulu?" cecar Tama padaku. "Kamu juga kenapa ikut sampai sini?" Kali ini Tama bicara pada David yang sudah berdiri di sampingku.
Aku membuka mulut, hendak bersuara. Namun, David memegang tanganku pelan, melarangku untuk mengucapkan apapun.
"Bisa saya bicara sebentar sama kamu, Tama?" Mataku rasanya hampir keluar waktu David bertanya pada Tama seberani itu.
Sudut mata Tama berkedut menatap David. Ia terlihat tidak suka tapi penasaran juga dengan apa yang akan dikatakan David.
"Kamu masuk aja, Ta. Langsung mandi, istirahat. Aku nanti langsung pulang ya." David mengusap kepalaku. Yang mana langsung memperoleh desis kesakitan dariku karena ia menyentuhnya terlalu keras. Kurasa benar kata David tadi bahwa kulit kepalaku sepertinya lecet.
"Kamu kenapa kesakitan begitu?" Kini Tama yang bertanya padaku. Matanya menyelidik.
"Itu yang mau saya bicarakan," sahut David.
Aku akhirnya masuk ke rumah. Dengan langkah berat kugeledek masuk koper Tama. Aku tak tahu apa yang kedua lelaki itu bicarakan. Aku benar-benar langsung menuruti David untuk mandi dan istirahat.
Hal pertama yang kulakukan ketika masuk ke kamar adalah berjalan ke arah cermin. Aku meneliti kepalaku. Untungnya tidak pitak. Namun, benar kata David, kepala bagian atasku lecet dan berdarah. Pantas perihnya bukan main.
🌟🌟🌟
Aku keluar dari kamar mandi dan dikejutkan dengan kehadiran Tama yang menyandarkan pantatnya di meja makan. Begitu melihatku keluar dari kamar mandi, Tama langsung berjalan mendekatiku. Kedua tangannya meraih rahangku dan menundukkannya. Jemarinya bergerak perlahan menyugar rambutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Status: It's Complicated
General FictionSepuluh tahun yang lalu Tama menikah. Bersamaan dengan itu mamanya memberi kabar ingin mengadopsi seorang anak karena kesepian ditinggal suami dan Tama yang menikah. Tama setuju. Beberapa tahun berselang, siapa yang menyangka Tama begitu cepat ditin...