Bab 8

887 168 39
                                    

Taehyung membaringkan tubuh di atas sofa, menggerakkan kakinya gelisah sementara kedua tangannya memutar-mutarkan ponsel dengan jarinya. Sesekali kedua matanya mengamati layar benda yang menyala itu. Pesan tidak penting. Ia menghela napas panjang dan mendudukkan diri. Kepalanya menyandar pada bantalan sofa, tatapannya kini menerawang di udara. Kapan wanita itu meneleponku? Sial. Percuma aku menunggu seharian ini. Apa dia lupa?

Segelas vodka lengkap dengan ice cube diletakkan di atas meja. Namjoon datang setelah selesai menutup club-nya. Sebenarnya masih terlalu awal untuk mengakhiri kesenangan di area dance floor kesayangannya. Disc jockey kenalan Namjoon pun sampai mengeluh, mengapa pria itu membubarkan orang-orang yang tengah berjoged ria dengan buru-buru. Alasannya satu, semua itu gara-gara perasaan temannya yang lagi gundah. Taehyung tetap merenung meskipun Namjoon sudah duduk di sebelahnya.

"Kenapa lagi kau? Nggak pulang ke rumah?"

"Ah, ngapain. Untuk dengerin orang tua itu mengoceh? Telingaku bisa rusak. Selalu saja begitu tiap malam."

"Hei, dasar brengsek. Walaupun kuakui, aku bukan pria yang baik, tapi aku tidak durhaka sepertimu."

"Diam kau! Malam ini aku menginap di tempatmu," ujarnya, Taehyung pun merebahkan diri lagi. Mengabaikan Namjoon yang menatapnya nyalang.

"Kau pikir club-ku panti sosial? Masa model papan atas nggak punya uang? Sewa hotel kek, apa gitu? Bisa bangkrut aku kalau kau menginap di sini terus!"

"Ayolah, Hyung. Kau pelit sekali padaku."

"Bukannya pelit, Bodoh! Ini namanya berpikir rasional. Kalau setiap menginap, kau tidak mencuri stok minuman alkoholku, aku biarkan kau tidur sampai mati di sudut manapun dari tempat ini. Di toilet sekalipun! Apa kau nggak mikir, betapa kaget dan syoknya aku ketika pagi-pagi datang dan menemukan banyak botol whisky berserakan? Bukan satu atau dua saja, kau menghabiskan sampai lima!"

"Aduh, berisik! Iya–iya! Nanti aku minta manajerku mentransfer ke rekeningmu, puas?! Total saja, berapa habisnya."

"Berapa kau bilang? Yang kemarin-kemarin saja belum kau bayar, aku tidak percaya padamu lagi! Sudah sana, pulanglah!"

Namjoon menarik lengan Taehyung. Memaksa pria itu bangkit dan enyah dari club-nya. Taehyung tak meronta-ronta, ia sadar diri. Ia merepotkan Namjoon selama ini. Haruskah ia menginap di tempat manajernya? Ah, tidak! Kalau Seojun Hyung tahu aku bau alkohol, aku pasti kena omel.

Taehyung juga tak berniat pulang ke rumah. Apalagi bertemu dengan pria paruh baya yang selalu mengungkit-ungkit umurnya—yang sudah matang untuk menikah—dan kapan ia pensiun dari dunia permodelan.  Baru saja terkenal dan banyak job. Ia malas diajak berdebat lagi. Kalau sudah begini, cuma satu tempat yang bisa ia tuju. Pilihan terakhir ketika ia sedang banyak beban pikiran, tempat yang tenang dan jauh dari siapapun.

"Kejam sekali!" umpat Taehyung pada Namjoon. Pria—yang mengaku sebagai sahabat Taehyung—itu meninggalkan Taehyung yang menyedihkan di depan club. Namjoon memasuki mobilnya, membuka jendelanya sedikit sekadar untuk mengacungkan jari tengahnya pada pria bermarga Kim tersebut.

"Argh!!" geram Taehyung. Pria itu melihat layar ponsel sekali lagi, masih belum ada tanda-tanda Sohyun meneleponnya. Ah, sial sekali hari ini!

Taehyung bisa saja menumpang tidur di apartemen Bitna, atau wanita-wanita yang ia simpan nomor kontaknya. Sayang, kondisi hatinya sedang kacau sekarang. Taehyung ingin sendiri.

***

Kim Sohyun mengernyit. Baru dua kali pertemuan ia dibuat pening oleh kelakuan Taehyung. Bagaimana bisa pria itu terlambat lagi? Sohyun pikir, ia dapat mentolerir keterlambatan Taehyung kemarin. Parahnya, hari ini—di pertemuan kedua—Taehyung telat lebih dari 30 menit, bahkan hampir satu jam. Wanita itu mendengus kesal.

DECADE ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang