Chapter 2

104 23 31
                                    

"Perpisahan yang paling menyakitkan adalah perpisahan antara dua orang yang berarti dikehidupan, tapi memilih untuk mengakhiri hubungan."

•DIFFERENT•

"Assalamu'alaikum."

Cahaya membuka pintu yang tidak terkunci. Kepalanya menyembul untuk melihat di mana sang Ayah berada.

"Ayah, Aya pulang!"

Cahaya menutup pintu lalu pergi ke kamarnya untuk meletakkan tas hitamnya.

"Ayah ke mana, sih?" monolognya.

Dia mencoba mengecek ruang kerja serta kamar sang Ayah, tapi tidak ada. Sampai suara panci terjatuh membuat Cahaya segera berlari ke dapur.

Di sana Chandra–ayahnya tengah menyengir sambil memegang lap.

Mata Cahaya menatap nanar panci yang terjatuh bebas. Sepertinya Ayah hendak memasak sesuatu. Pantesan saja saat dirinya salam tidak ada yang menyahut.

"Ayah, Cahaya udah bilang, kalau mau masak tunggu Cahaya dulu," omel Cahaya seperti Ibu pada anaknya.

Ayah memilih duduk, membiarkan Cahaya mengambil panci dan membereskannya.

"Niatnya Ayah mau masak sup buat kamu. Tapi, waktu Ayah mau taruh panci di kompor malah jatuh," adu Ayah.

Bibir Cahaya tersenyum. Ayahnya ini selalu saja seperti itu. Mengadu dengan wajah sendu layaknya anak kecil.

"Emang Ayah bisa masak?"

"Bisa. Tapi nggak seenak masakan Aya."

Cahaya tersenyum.

"Kalau begitu, Ayah potong sayuran aja, setelah Cahaya ganti baju, barulah kita masak."

"Siap Komandan!" hormat Ayah Chandra.

Cahaya terkekeh pelan. Bagaimana bisa dia kesepian jika ayahnya selalu mengundang keramaian. Bagaimana bisa Cahaya merasa sendiri, jika ayahnya selalu hadir sebagai sahabat juga sebagai sosok Ayah.

Setelah mengganti seragamnya dengan baju rumahan, Cahaya menaruh beberapa bahan untuk di potong-potong oleh sang Ayah. Sedangkan dia memasukkan komposisi bumbu yang sudah disiapkan untuk diblender.

"Tempe goreng jangan lupa, Aya," ucap Ayah. Salah satu protein yang tidak pernah tertinggal saat makan.

"Iya. Biar Cahaya aja yang potong, nanti kalau Ayah ketipisan."

"Baik, Chef."

Keduanya sibuk memasak dan berceloteh layaknya ajang pencarian bakat memasak. Ayah yang berperan sebagai peserta dan Cahaya yang berperan sebagai juri.

Inilah kehidupan Cahaya setelah hidup tanpa seorang Ibu. Inilah Cahaya, gadis remaja yang baru memasuki usia dewasa tapi harus mandiri.

Hidup bersama Ayah yang jarang di rumah tadinya karena sibuk bekerja, kini harus terbiasa untuk saling berbagi keluh kesah.

Ayahnya yang begitu bertanggung jawab kini milik Cahaya satu-satunya.

Ini bukan tentang siapa yang meninggalkan atau siapa yang terpaksa ada, tapi ini tentang siapa yang mampu bertahan dalam banyak cobaan.

Cahaya tidak pernah habis pikir jika Ibu yang dia sayangi meninggalkan keduanya. Meninggalkan kehidupan yang sudah dilalui bersama-sama.

Rumah tangga yang dibangun kedua orang tuanya hancur begitu saja saat ibunya mengatakan jika kehidupan mereka sudah tidak cocok lagi. Lalu, apakah selama ini kehidupan yang mereka jalani adalah atas dasar paksaan?

DIFFERENT [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang