Chapter 10

82 17 2
                                        

"Cinta itu harus diperjuangkan. Walau akhirnya akan dipatahkan oleh kenyataan."

•DIFFERENT•

Cahaya turun dari motor diikuti Aditya. Keduanya memasuki pelataran rumah. Di teras rumah, sudah ada Ayah Chandra yang menunggu cemas. Seragam kerja masih melekat di tubuh tegap itu. Menandakan jika Ayah baru pulang dari kerja.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsallam, putri Ayah."

Ayah Chandra langsung memeluk Cahaya dengan erat. Dielusnya surai tipis itu berkali-kali.

"Ayah khawatir lihat berita di tempat kerja tadi. Ayah niatnya mau cari kamu. Tapi jalanan di blokir oleh para pelaku tawuran."

Cahaya mendongak, menatap ayahnya.

"Sekarang Cahaya ada di sini, bersama Ayah. Cahaya nggak papa kok, Yah."

Ayah Chandra melepas pelukan mereka dan menatap Aditya. Bibirnya tersenyum. Kedua tangan Ayah Chandra beliau rentangkan, menyuruh Aditya untuk memeluknya.

Cahaya menganggukkan kepala saat Aditya terlihat bingung.

"Peluk Ayah sini," ucap Chandra.

Mendengar kalimat sakral yang tidak pernah Aditya dengar membuat hatinya berdesir. Ada rasa rindu yang menyeruak saat Ayah orang lain mengatakan itu.

Dengan segera Aditya memeluk Ayah Chandra, sangat erat. Dia menyalurkan semua rasa keinginan untuk memeluk sosok Ayah dihidupnya.

"Makasih, Aditya, udah menjaga putri saya," bisik Ayah.

Cahaya tersenyum tipis. Belum pernah Cahaya melihat Ayah yang begitu tulus dan sumringah seperti ini.

Membiarkan dua orang yang saling memeluk itu, Cahaya memilih masuk ke dalam. Dia harus menyiapkan makanan untuk keduanya. Anggap saja ini sebagai tanda terima kasih kepada Aditya.

"Saya boleh peluk lama, Yah?" tanya Aditya ragu.

"Tentu saja. Selama yang kamu mau."

Ayah Chandra menepuk-nepuk pelan punggung Aditya. Melihat remaja di dalam pelukannya saat ini mengingatkan dia di masa lalu. Mengingatkan bagaimana Chandra yang ditinggalkan papahnya sejak dalam kandungan. Sampai saat dewasa dia harus memeluk Papah temannya demi mengobati rasa rindu.

"Kamu ini, persis kayak saya muda dulu."

Bibir Aditya tersenyum. Dia melepas pelukan Ayah dan mengusap buliran bening yang siap meluncur dari bola matanya.

"Rindu dengan sosok Ayah, ya?" tanya Ayah.

"Iya, Yah. Sangat rindu," jawab Aditya lirih.

"Mari kita duduk dulu," ajak Ayah pada Aditya. Keduanya duduk di kursi yang ada di teras rumah sambil menikmati langit sore yang mulai menjingga.

"Maaf, Yah, saya tadi kelepasan sampai memeluk Ayah."

"Nggak papa. Saya tidak keberatan. Waktu awal Nak Aditya memanggil saya dengan sebutan Ayah, hati saya langsung menghangat. Seperti ada makna saat kamu manggil saya Ayah. Ada apa kalo boleh Ayah tahu?"

DIFFERENT [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang