"Bagi pijar cintamu padaku,
Kan kunyalakan apinya,
Hingga dunia tersenyum untukmu."-----
Langit berwarna abu-abu perlahan memudar, berganti cahaya di ufuk timur. Revan memandang langit dari balik kaca jendela masjid dan kemudian beralih ke arah jam besar yang terpahat kokoh di dinding.
Hampir jam 05.30. Kali ini suara anak-anak maupun lanjut usia yang melafadzkan Qur'an, kembali mengakrabi telinganya.
Ini terhitung pekan ketiga bagi Revan, berjuang bangun lebih pagi. Ia mengejar waktu untuk menjadi bagian jama'ah Shalat Shubuh. Suatu hal baru yang dulu tidak pernah masuk skala prioritas hidupnya.
Bibi yang sudah bekerja di rumah Mami sejak Revan masih balita, sampai terheran-heran melihat Revan berlari keluar gerbang, karena sudah terdengar suara Qomat.
Satu per satu jama'ah shalat Shubuh kembali ke rumahnya masing-masing. Revan masih duduk bersandar di pilar masjid, sambil membuka lembaran mushaf.
Bukan perjuangan sederhana bagi dirinya, mencapai titik ini. Bangun pagi melawan rasa kantuk di kala semua penghuni cluster mewah keluarganya masih tertidur lelap.
Tiga orang kakak tiri Revan yang tinggal di depan rumah, tidak ada satu pun yang pernah bangun pagi. Sama halnya dengan suami dan anak-anak mereka.
Mereka semua terlena dengan fasilitas yang diberikan Papi. Rumah dua tingkat dengan halaman luas. Lengkap dengan ruang gym, kolam renang pribadi dan lapangan golf di halaman belakang rumah, memanjakan para penghuninya.
Papi memanjakan semua anaknya, kecuali Revan. Mungkin Revan anak lelaki satu-satunya yang akan meneruskan tahta perusahaan. Ia terbiasa dididik keras dan disiplin sejak kecil.
Dulu sewaktu ia masih SMA kelas satu, Papa menghukumnya karena satu kesalahan. Kesalahannya waktu itu adalah meminjamkan kartu ID kepada Aldo.
Malam itu Aldo memakai kartu Revan untuk pesta minuman keras di klub malam dan akhirnya terciduk polisi. Papi naik pitam dan menghukum Revan, padahal ia sama sekali tidak berada di tempat.
Sejak Papi membekukan rekening dan menghentikan uang saku selama tiga bulan, Revan mulai belajar mencari uang sendiri. Ia tidak boleh bergantung selamanya pada Papi.
Suatu hari nanti, ia akan membuktikan bisa sukses tanpa nama besar Kenandra di belakang namanya.
Gawai milik Revan bergetar. Ia menutup mushaf Al-Qur'an dan mengembalikan ke dalam lemari masjid.
Dokter Fariz is calling.
"Assalaamu'alaikum. Revan, ini saya."
Mereka terhubung melalui line telepon.
"Wa'alaikumsalam. Iya Om. Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya boleh minta tolong. Kamu pernah cerita kalau sekolah di SMA Persada Nusa, 'kan?"
"Iya Om."
"Ada pasien saya yang juga bersekolah disana. Namanya Kiara Kalila. Kalau boleh, saya minta tolong kamu mampir ke RS Husada Medika. Saya mau menitip surat izin sakit ke wali kelasnya."
Revan sangat terkejut mendengar nama Kiara disebut oleh dr Fariz.
"Kiara sakit apa, Om?"
"Anemia. Hb dan trombositnya rendah. Om masih mencari donor darah karena stok di bank darah kosong. Alhamdulillah ada satu teman yang mau jadi donor dan sudah otw ke RS."
Dada Revan terasa sesak dan sakit, mendengar penjelasan dr Fariz. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan Kiara akan sakit parah.
"Saya kesana sekarang, Om. Saya mau mendaftar jadi donor. Siapa tahu golongan darah saya nanti cocok."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SECRETS
RomanceThe Secrets Cerita ini berkisah mengenai cinta di antara BANYAK TOKOH di dalamnya. Satu dan yang lain saling meniadakan, saling membenci dan salah satu menjadi penggemar rahasia. Sadar atau pun tidak disadari. Layaknya drama kolosal, untuk pembaca...