TS - Part 28

1.3K 368 163
                                    

"Belajarlah dari kunang-kunang,
yang tetap memancarkan cahaya,
Meski berada dalam kegelapan."

----

Hujan sudah reda dan menyisakan hawa dingin yang menyelinap melalui kisi-kisi rumah Revan. Ia baru selesai mengepel seluruh lantai dan akhirnya terpaksa mandi lagi karena badannya basah oleh peluh.

Kalau di rumah Papi, ia bisa langsung mandi di bawah shower air hangat. Berbeda dengan rumah kontrakan yang saat ini ia tinggali. Ia harus memenuhi dulu teko dan merebus air secara manual untuk mandi air hangat.

Sambil menunggu air teko mendidih, Revan membuka gawai dan netranya berhenti pada pesan papi. Detik berikutnya ia diam tak bergeming, setelah membaca isi pesan Papi. Pikirannya tidak tenang dan ingin segera kembali ke rumah.

Cepat ia menekan nomor telepon Papi untuk segera mendapatkan kabar. Hanya menunggu beberapa detik, terdengar suara bariton di seberang, menjawab panggilannya.

"Assalaamu'alaikum, Pi. Mami sakit apa? Gimana kondisi Mami sekarang?"

Terdengar suara langkah kaki papi menjauh sambil menjawab telepon.

"Wa'alaikumsalam. Maaf Papi keluar ke halaman belakang dulu. Takut Mami dengar."

"Iya, Pi. Revan tunggu." Revan berjalan hilir mudik dengan wajah gelisah.

"Kemungkinan Mami sakit kanker payudara. Sudah ada keluhan sejak dua bulan lalu. Papi juga tahu hari ini, karena Mami baru cerita."

Badan Revan terasa lemas dan ia terduduk di atas lantai yang dingin, seperti tak percaya kabar yang ia terima. Mami tidak pernah mengeluh dan bercerita apa pun kepada dirinya.

"Jujur Papi masih syok dan tidak percaya. Tapi Mami pasti punya alasan mengapa baru memberitahu ke Papi hari ini. Mungkin Mami takut kita akan sedih atau justru takut dengan penyakit yang dia derita."

Suara teko yang melengking, menyadarkan Revan kalau berita ini benar-benar nyata. Ia kemudian berdiri dan berjalan ke dapur untuk mematikan kompor.

"Revan mandi dulu, Pi. Setelah ini baru Revan ke rumah. Ketemu Mami."

"Mami baru saja tidur, son. Sekarang sudah malam. Besok pagi saja kamu ke sini. Bukannya Papi mau melarang, tapi ada pemberitaan kalau hujan disertai angin kencang tadi tidak merata. Banyak pohon tumbang di jalan, searah rumah kontrakan kamu."

Rupanya Kenandra tidak benar-benar acuh terhadap kehidupan Revan. Pria itu masih memantau putranya, setelah keluar dari rumah.

"Aku masih punya kunci pintu samping kalau malam ini mau pulang dan menginap di rumah Papi."

Revan menegaskan batas teritori kalau rumah itu adalah milik orang tuanya.

"Kalau kamu memang mau tetap pulang, Papi akan menunggu. Ada yang mau Papi bicarakan. Tadinya mau menunggu besok, tapi bisa malam ini."

"Baik, Pi."

Revan mengambil serbet untuk membawa teko ke kamar mandi.

"Hati-hati di jalan. Atau kamu mau dijemput naik mobil? Jalan raya licin dan berbahaya kalau kamu tetap memaksakan diri naik motor." Ada nada khawatir dari Kenandra yang membuat Revan merasa masih dianggap anak kemarin sore.

"Aku masih berkendara dengan kecepatan normal, Pi. Bukan pembalap profesional."

Terdengar suara tawa Papi rendah di seberang. Tidak lama mereka menyudahi pembicaraan. Baru malam ini papi bicara panjang dengan Revan.

Lebih tepatnya berbicara antara dua pria dewasa secara egaliter. Bukan lagi nada otoriter antara bos dan anak buahnya.

Sejak dulu di mindset Revan, papi adalah sosok pria dengan pemikiran sekaku papan. Namun pria ini adalah seorang suami yang sangat mencintai istri dan keluarganya.

THE SECRETS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang