TS - Part 29

1.3K 371 140
                                    

"Seperti bumi yang setia pada matahari,
tanpa takut terbakar saat mendekatinya,

seperti itu pula aku setia mencintai,
dan menunggumu karena Allah semata."

----



Kiara Pov

Suara motor di depan gerbang rumah, membuat aku berhenti mencari kunang-kunang. Aku masih sibuk berjongkok di rumput, berburu sambil menyalakan senter dari ponsel yang dari tadi kupegang erat.

Malam ini menjadi malam panjang untuk aku dan Ayah Fariz, setelah Bunda Rania tiba-tiba menangis karena ingin melihat kunang-kunang. Karena belum berhasil menemukan satu pun, aku akhirnya berjalan ke arah gerbang.

Menerka siapa yang datang bertamu selarut ini, mengingat Ayah tidak buka praktek di rumah. Jadi pastinya bukan pasien yang datang bertamu.

"Assalaamu'alaikum, Kia."

Aku terkejut melihat sosok di balik gerbang yang baru saja melepas helm fullfacenya.

Kak Revan?

"Wa'alaikumsalam. Kakak ngapain malam-malam kesini?"

Kak Revan berjinjit untuk memberikan satu kotak kecil berukuran kubus ke arahku.

"Untuk aku?" Aku memandang ke arahnya, tak mengerti.

"Untuk dokter Rania, Bunda kamu. Kunang-kunang."

Pandangan kami bertemu di udara, beberapa detik. Dapat kulihat gurat keletihan bercampur kesedihan terpancar di wajah Kak Revan.

"Kok Kakak tahu?"

Aku sampai bengong. Masih antara sadar dan tidak sadar bisa bertemu lagi dengan Kak Revan. Aku pikir karena kejadian dua minggu lalu, ia marah dan tidak mau lagi bertemu denganku.

Kak Revan menunjukkan layar ponsel miliknya.

"Kakak tadi baca status kamu. Kebetulan Kakak lagi duduk di gazebo rumah, melamun. Pas ada kunang-kunang merambat di tangan Kakak."

Aku menyambut kotak berbentuk kubus yang kini telah berpindah ke tanganku.

"Terima kasih, Kak. Bunda pasti senang." Aku masih berdiri kaku dan bicara seperlunya. Sebenarnya aku masih gugup, namun berusaha terlihat tenang.

"Kakak pamit dulu, Kia. Salam buat ayah dan ibu kamu." Kak Revan bersiap memakai helm.

"Iya Kak, Insya Allah Kia sampaikan. Salam untuk Mami dan Papinya Kak Revan. Semoga sehat selalu, Kak."

Kak Revan terdiam dan seperti  mengurungkan niatnya untuk beranjak pergi. Apa barusan aku salah bicara?

"Alhamdulillah Papi sudah mau periksa ke RS lagi, Kia. Tapi, Mami yang sekarang lagi sakit."

Rupanya dugaanku benar. Kesedihan di wajah Kak Revan, memang beralasan.

"Tante sakit apa, Kak?" Aku bertanya hati-hati. Seandainya Kak Revan enggan bercerita, aku pun tidak akan memaksa.

Wajah Kak Revan kembali muncul dari balik gerbang. Ayah sudah mengunci gerbangnya, sehingga aku tidak bisa membuka dan mempersilahkan Kak Revan masuk.

"Kemungkinan Mami sakit kanker payudara. Kakak juga baru tahu hari ini dan nggak menyangka kalau Mami sudah sakit sejak dua bulan lalu. Jujur Kakak masih syok dan sedih. Masih berusaha menerima tapi butuh waktu. Belum siap tapi harus tetap kuat di depan Mami. Supaya Mami nggak kecil hati sama penyakitnya."

Aku bisa merasakan apa yang Kak Revan rasakan. Aku pernah menjadi saksi perjuangan ibu di IGD RS. Saat kami dulu mengalami kecelakaan.

"Kak Revan nggak boleh putus asa. Seorang dokter harus bisa jadi orang pertama yang memberi semangat untuk pasiennya. Dukungan keluarga penting banget buat Maminya Kak Revan. Itu seperti membantu separuh kesembuhan."

THE SECRETS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang