Beberapa bulan, aku selalu mengunjungi Jennie setiap kali aku mempunyai waktu. Percayalah dia definisi vitamin manusia. Dia selalu memiliki kekuatan untuk membuatku bebas stres. Ini terasa gila, bagaimana bisa aku selalu merasa bahagia di didekatnya.
Jennie mungkin berbicara seperti anak kecil, berpikir seperti anak kecil, berperilaku seperti anak kecil, tapi setiap kali aku berbicara dengannya, itu cenderung menyenangkan dan mendebarkan. Dan aku suka fakta bahwa dia berbeda. Dia tipe orang yang tidak pernah menghakimiku, bahkan setelah aku berbicara buruk tentang masalahku dan lingkungan kerja yang tidak sehat. Dia hanya akan mendengarkan dan menghiburku. Jennie berhasil membuatku merasa lebih baik setiap saat. Jadi mengenalnya benar-benar sebuah berkah.
___
Hari ini adalah jadwalku untuk membantu Jisoo mengasuh Jennie karena dia harus menghadiri acara penting yang dapat membantu membangun karirnya. Awalnya Jisoo agak ragu, dia merasa khawatir dengan kesehatan Jennie. Tapi aku berhasil meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Lagi pula, sudah berbulan-bulan dia melihat usahaku bersikap baik pada Jennie. Aku tidak membuat masalah. Dan sepertinya Jennie semakin menyukaiku. Sejujurnya Jisoo sangat membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Dia telah melalui banyak hal dan aku hanya ingin dia menikmati waktunya sendiri.
Sebenarnya aku berencana membawa Jennie ke tempatku hari ini. Dia belum pernah ke tempatku sebelumnya. Dan aku pikir itu akan menyenangkan karena aku mendapatkan banyak hal yang bisa kutawarkan.
Syukurlah Jisoo memberi kami lampu hijau. Jennie sangat bersemangat begitu dia tahu kita akan pergi ke tempatku. Dia telah mengepak banyak barang tidak penting di dalam tasnya yang membuat Jisoo marah. Aku sudah terbiasa dengan itu, apalagi saat mereka bertengkar di depanku. Rasanya biasa saja bagiku sekarang.
Pukul dua siang, kami berdua tiba di Apartemenku. Aku sebenarnya anak yatim piatu sejak kecil. Jadi aku hidup sendiri sejak lulus dari universitas. Anehnya, aku tidak merasa melewatkan sesuatu. Mungkin karena aku sudah terbiasa, dan pikiranku hanya menyuruhku untuk menjaga diriku sendiri. Jadi aku cukup mandiri segera setelah mendapat pekerjaan. Sejujurnya aku telah menghabiskan sebagian besar waktu tinggal di panti asuhan, dan aku berhasil mengurus diri sendiri setelah aku belajar di luar negeri. Aku sudah berkencan beberapa kali tapi tidak bertahan lama. Aku tidak benar-benar yakin atau siap untuk memiliki keluarga sendiri.
"Woaaah. Tempatmu sangat cantik!" Jennie melengkapi sambil mengamati ruang tamu. Aku tertawa kecil melihat tingkah lucunya. Beberapa detik kemudian aku menaruh tas selempangnya di lemari dekat pintu depan.
"Terima kasih. Silahkan, anggap rumah sendiri." Jawabku tersenyum sambil mengamatinya berjalan-jalan.
"Kamu tinggal sendiri?" Dia bertanya. Sekarang kami saling menatap. Dia berdiri beberapa meter dariku.
"Ya, aku tinggal sendiri. Kenapa, kamu mau tinggal disini bersamaku?" Aku mencoba menggodanya. Tiba-tiba dia mengangguk sambil memamerkan gummy smile-nya. Aku tertawa mendengar responnya. Betapa mudahnya menipunya. "Apakah kamu ingin makan sesuatu? Atau ingin bermain papan? Atau melukis?" Aku bertanya sambil menatapnya seksama.
"Hmmm.. terakhir kali kamu bilang kamu menangis menonton film yang satu ini. Aku ingin melihatnya." Jawabnya.
Aku sebenarnya terkejut. Film itu terlalu dramatis untuknya dan semuanya menceritakan tentang cinta. Jadi kupikir dia tidak akan mengerti. Tapi Jennie tetap bersikeras.
Jadi disini lah kami, dengan nyaman meringkuk di sofa dengan selimut sambil makan beberapa makanan ringan. Film baru saja dimulai sekitar sepuluh menit yang lalu. Dia tampaknya terlalu fokus menatap layar tv. Terlihat lucu. Aku ingin tahu apakah dia bisa mengerti.
Hal-hal menjadi sangat canggung ketika adegan ciuman mulai muncul di layar. Jennie tidak seharusnya menonton itu. Aku mencoba mencari remote tv tetapi aku terganggu begitu dia mengajukan pertanyaan kepadaku.
"Untuk apa mereka berciuman?" Dia menatapku, menunggu jawaban.
"Yaa, umm karena mereka saling menyukai. Jadi mereka berciuman," Jawabku merasa tidak yakin.
"Apakah kamu sudah berciuman?" Dia melanjutkan. Aku tercengang. Pertanyaan ini terlalu pribadi tetapi aku tetap menjawabnya.
"Tentu saja aku melakukannya.," Dia tersenyum begitu mendengarku.
"Seperti apa rasanya?" Jennie bertanya lagi dengan nada bersemangat. Matanya bersinar, menatapku. Ya Tuhan, bagaiamana aku bisa menjelaskan padanya. Ini sangat tidak pantas untuknya. Pikirku.
"Ya, umm rasanya enak." Jawabku singkat. Dia sepertinya sedang berpikir keras.
"Apakah kamu menyukaiku?" Dia terus bertanya. Aku merasa aneh dengan pertanyaaannya, tetapi cara dia berbicara terlalu menggemaskan. Aku tidak bisa menolaknya.
"Tentu saja aku menyukaimu." Kataku.
"Yah. Aku juga menyukaimu!" Katanya sambil memamerkan senyum manisnya. Itu membuatku lengah ketika dia tiba-tiba mematuk bibirku selama beberapa detik. Aku terdiam. Maksudku kenapa? Kenapa jantungku mulai berdetak sangat cepat setelah menerima ciumannya. Dia terus tersenyum menatapku.
"Umm, i-itu untuk apa?" Aku tergagap saat bertanya padanya. Aku bingung. Aku menelan ludah beberapa kali hanya untuk menenangkan diri.
"Kau bilang mereka berciuman karena mereka saling menyukai," Jawabnya.
Aku tercengang. Mungkin aku tidak menjelaskan secara rinci yang menyebabkan dia salah paham. Aku tertawa sedikit sebelum aku menjelaskan lebih lanjut.
"Jennie, maafkan aku. Aku seharusnya menjelaskan lebih banyak, umm kamu tahu mereka melakukan itu karena mereka memiliki perasaan satu sama lain. Kami menyebutnya cinta. Itu adalah perasaan dimana kamu merasa jantungmu berdetak cepat setiap kali kamu melihatnya, seperti kamu tidak bisa mendapatkan cukup atas mereka. Ketika kamu mencintai seseorang, kamu akan merasa sangat bersemangat dan kamu menyukai segala sesuatu tentang mereka termasuk kekurangan mereka." Dia terdiam setelah mendengar kata-kataku. Aku berasumsi dia mengalami kesulitan mencoba untuk mengerti.
Sesaat kemudian dia memecah keheningan. "Apakah itu berarti aku mencintaimu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Abnormality [ID] ✔
Roman pour AdolescentsUntuk pertama kalinya Lisa bertemu dengan saudara perempuan temannya yang tidak normal. Sebelumnya Lisa tidak pernah bertemu dengan orang seperti dia. Tingkah lakunya yang aneh tumbuh perlahan-lahan, dan dia mulai merasa terikat. Ketika Lisa menyada...