Home [Lisa POV]

2.6K 385 7
                                    

Aku keluar dari tempat kerjaku pada jam 6 sore. Hari ini adalah hari yang sangat sibuk; aku memiliki banyak tanggung jawab yang terus menumpuk, dan bagian terburuknya semuanya harus diselesaikan hari ini.

Aku kesal, dan aku rasa kepalaku bisa pecah kapan saja. Aku lelah baik secara mental maupun fisik. Aku menyadari perlahan-lahan menjadi orang yang pemarah sejak Jennie tidak ada untuk menghiburku. Aku cenderung menjadi marah pada beberapa karyawan lain. Bahkan pada masalah terkecil sekalipun. Aku pikir aku membutuhkan bantuan. Aku perlu menemui terapis.

"Lalalisa.. Mau hang out?" Setelah aku memasuki mobil, Rosé menelepon. Aku menghela napas dalam-dalam dengan perasaan kesal.

"Maaf Rosé, aku sangat lelah. Aku benar-benar membutuhkan tempat tidurku sekarang" Kataku mengakui kondisiku. Tak lama kemudian dia merengek karena penolakanku.

"Ohh ayolah! 1jam. Hanya 1 jam. Aku perlu berbicara sesuatu denganmu" Katanya mencoba mengubah pikiranku.

Sejujurnya, aku tidak punya niat untuk menolaknya sekarang, karena dia selalu ada saat aku membutuhkannya. Pada akhirnya, kami memutuskan untuk makan malam lebih awal di restoran.

___

"Jadi, hal apa yang sangat ingin kamu bicarakan?" Aku bertanya sambil menunggu makanan kami disajikan.

"Kau tahu, aku bertemu seorang gadis hari ini. Dia sangat cantik sehingga aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Jadi aku meminta nomor teleponnya dan sangat senang ketika dia memberikannya kepadaku. Tapi kemudian, aku mencoba meneleponnya, sesuatu terjadi. Ternyata itu adalah nomor terapis untuk kecanduan seks! Persetan! Apakah aku terlihat seperti maniak seks?" Aku tertawa begitu mendengar ceritanya. Itu epik dan aku pikir dia benar-benar pantas mendapatkannya.

"Jika aku bertemu dengannya lagi, aku bersumpah akan mencekiknya!" Dia terus mengomel sampai dia merasa lelah.

"Hmm begitu.. apakah ada cerita tentang kamu dan Jennie?" Tiba-tiba dia bertanya saat aku sedang sibuk makan. Sesaat aku terdiam ketika dia menyebut nama Jennie. Sudah berminggu-minggu kita tidak bertemu sejak terakhir kali aku melihatnya di tempatku. Aku menghela nafas dan menggelengkan kepalaku sebagai jawaban atas pertanyaannya.

"Tidak ada. Sejujurnya aku ingin melihatnya lagi, aku merindukannya. Tapi aku takut. Aku takut melewati batas dan membuat dia membenciku lagi. Kupikir.. Lebih baik begini"

"Lisa.. terkadang kita harus mengambil risiko. Kamu tahu itu... Lagi pula, apa kamu tidak lelah seperti ini?" Dia mencoba memberiku saran dengan hati-hati. Untuk beberapa saat, aku terdiam mencoba mencerna ucapannya.

"Aku tahu, tapi aku tidak tahu mengatasinya, dan aku tidak bisa menahannya jika dia membenciku!" Rosé tidak lagi mengatakan apa-apa. Aku harap dia mengerti perasaanku.

___

Aku tiba di depan gedung apartemenku sekitar pukul 19.30. Aku beristirahat dan duduk di mobilku sebentar. Aku mulai memikirkan kata-kata Rosé sebelumnya, aku menghela nafas panjang. Haruskah aku mengejar Jennie sekali lagi? Sudah bagus dia tidak membenciku sekarang. Sejujurnya, aku tidak berani membuat rencana apapun lagi. Segalanya akan menjadi rumit jika tidak berjalan sesuai rencana.

Tidak. Aku tidak akan melakukan apapun. Sebut aku pengecut, tapi aku akan tetap di sini dan menunggu. Kita akan bersama pada akhirnya jika kita memang ditakdirkan untuk bersama. Dan jika tidak, aku akan terus berdoa untuk kebahagiaan Jennie.

.

Aku mulai berjalan perlahan memasuki gedung apartemenku. Pikiranku masih dipenuhi keraguan, mempertimbangkan kemungkinan hubungan antara Jennie dan diriku sendiri.

Aku segera menaiki lift menuju lantai tiga. Kamu tidak tahu betapa lelahnya aku hari ini. Mungkin aku butuh liburan panjang hanya untuk menjernihkan pikiran. Aku pikir hari ini akan berakhir sama, dimana aku akan ambruk di tempat tidur dan menderita emosi yang tak terkendali.

Tapi tidak. ini tidak terjadi. Ketika aku melihat wanita yang aku pikirkan setiap hari berdiri di depan apartemenku, aku terkejut. Matanya tampak sembab. Apakah dia menangis?Aku khawatir, tapi aku berusaha menyembunyikannya. Bahkan, melihat sosoknya membuat hatiku mulai berbunga-bunga. Jantungku berdegup kencang karena aku sangat gugup dengan kehadirannya. Aku merindukannya. Semua tentang dia.

"Hai," Hanya itu yang keluar dari mulutku. Perlahan aku melangkah maju untuk membuka kunci pintu depan sementara dia berdiri beberapa langkah dariku. Aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Aku hanya bisa memberi isyarat, memintanya untuk masuk.

••

bentar ye, yang satunya lagi proses.

Abnormality [ID] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang