The Painting [Lisa POV]

2.4K 378 10
                                    

Aku melihat Jisoo dengan berkasnya setelah aku membuka pintu. Dia tampak lelah, mungkin karena pertemuan yang dia lakukan sebelumnya.

"Hai, silahkan masuk! Apa kau sudah makan siang?" Tanyaku saat kami memasuki Apartmenku.

"Tidak juga, aku hanya makan sesuatu yang ringan. Aku lapar."

"Bagus! Ayo pergi ke dapur karena aku membuat risotto" Saranku sambil membantu Jisoo ke ruang makan.

Sesaat kemudian kami duduk bersama sambil menikmati makan siang.

"Wow. Lisa, ini enak sekali" puji Jisoo sambil melahap makanannya.

"Aku senang kamu menyukainya, aku biasa membuatnya untuk adikmu" Kataku.

Perlahan senyum memudar dari wajahku ketika aku mengingat masa lalu dengan Jennie. Aku menghela nafas sedikit mencoba untuk menenangkan diri. Jisoo sepertinya memahami perubahanku, aku hanya tersenyum sedih padanya.

.

Setelah selesai, aku dan Jisoo pun memasuki kantor pribadi yang berada di Apartemenku untuk diskusi pekerjaan. Jisoo sangat membantu karirku sejak awal, dan aku sangat bangga padanya ketika dia akhirnya membuka perusahaan konsultasinya sendiri. Jelas itu sangat cocok untuknya. Dia selalu datang dengan keputusan yang cerdas setiap kali aku membutuhkan bantuannya. Dan itu juga alasan mengapa aku terus menerus meminta bantuannya dari waktu ke waktu, karena dia ahli di bidang ini. Akhirnya aku menawarkan beberapa produk perusahaannya kepada teman-temanku. Sudah menjadi kewajibanku untuk membantunya mengembangkan perusahaannya karena dia banyak membantuku. Its like a give and take concept.

Saat kami sedang berdiskusi, kami diinterupsi oleh panggilan telepon yang berasal dari ponsel Jisoo. Ia segera mengambilnya.

"Halo.. Ya.. Hah?..Tunggu" Aku mengambil waktuku melakukan riset di laptopku sementara Jisoo masih bertelepon. Kemudian dia pamit pergi sebentar. Mungkin dia ingin berbicara secara pribadi. Jadi dengan tenang aku terus menunggunya kembali.

Tak lama kemudian, Jisoo kembali dengan ekspresi skeptis. Ia tampak ragu untuk membuka mulutnya.

"Hmm Lisa.." Aku terus menunggunya berbicara.

"Bisakah jika adikku bergabung dengan kami di sini? Dia bilang dia bosan di rumah" Dengan hati-hati dia menumpahkan kata-katanya. Jantungku mulai berdebar kencang mendengar pertanyaannya.

Jennie ingin datang ke sini? Aku hampir tidak percaya.

Sejujurnya aku panik. Aku tidak yakin apakah aku siap menghadapinya lagi terutama setelah peristiwa malang di pesta itu. Tapi aku tetap menjawab pertanyaan Jisoo.

"Tentu, aku tidak keberatan." Aku langsung menyakinkannya. Jauh di lubuk hati, aku merasa sangat gugup. Aku tidak bisa berkonsentrasi dengan diskusi kami. Pikiranku sangat kacau. Bagaimana aku menghadapinya?

Sesaat kemudian ponsel Jisoo berdering lagi. "Kau disini? Oke." Dia segera menutup telepon.

"Jennie telah tiba," Dia memberitahu. Jantungku mulai berdetak seperti orang gila. Bagaimana aku harus bersikap padanya?

Aku hanya mengangguk pada Jisoo karena aku agak panik, kemudian kami melangkah pergi ke pintu depan. Aku menelan ludah beberapa kali mencoba menenangkan diri. Aku belum siap.

Jisoo mulai membuka pintu dan Jennie segera masuk. Mata kami otomatis bertemu. Dia memasang senyum kecil di wajahnya yang terlihat canggung.

.

"Umm.. Jika merasa lapar, ada makanan di dapur.. Dan kamu bisa menonton film disana atau bermain game. Anggap saja seperti rumah sendiri. Jisoo dan aku akan berdiskusi di ruangan itu" Aku menjelaskan area sekitar Apartemenku padanya.

Aku tidak berani menatapnya lama karena aku khawatir tidak bisa mengendalikan diri. Jadi aku tetap mengalihkan pandanganku ke arah lain, menghindari tatapannya. Suasananya sangat canggung tapi syukurlah dia hanya mengangguk dan bekerja sama dengan kata-kataku.

Setelah itu aku dan Jisoo kembali ke ruanganku, meniggalkan Jennie di ruang tamu.

"Kau baik-baik saja?" Jisoo bertanya saat aku sibuk mengumpulkan dokumenku. Aku menatapnya. Aku mengakui bahwa aku sedikit terengah-engah setelah berinteraksi dengan Jennie. Sistem tubuhku tampaknya tidak bekerja dengan baik. Aku gugup.

"Ya aku baik-baik saja" Aku berbohong, mencoba tersenyum untuk menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya.

"Eoh, dimana dokumen yang aku tanyakan tadi malam?" Dia bertanya. Tiba-tiba aku ingat, dokumen itu berada di laci komputer kamar tidurku. Aku pun pamit pergi untuk mengambilnya.

Saat aku melangkah keluar dari kamar, aku melihat Jennie yang sedang mengamati lukisan di dinding. Aku tercengang. Itu sebenarnya lukisan yang kami buat bersama saat dia masih sakit. Itu adalah lukisan yang penuh sidik jari kami dalam berbagai jenis warna. Tiba-tiba aku merasa emosional ketika mencoba mengingat kembali kenangan manis kami dalam menciptakan lukisan itu.

Aku tidak tahu apa yang terjadi sehingga aku mulai melangkah mendekatinya. Dia tampak terkejut dengan kedatanganku.

"Lukisan ini terlihat begitu hangat dan ceria," dia berkata. Aku bisa saja salah tapi sepertinya matanya berkaca-kaca.

Aku menatap lukisan itu sejenak mencoba mengingat kembali kenangan kami. Benar-benar hangat dan manis. Sesaat kemudian aku mukai berbicara.

"Lukisan itu dibuat olehku dan seseorang yang aku cintai, tapi... Dia sudah pergi" Aku merasa sangat sedih ketika mengingat tentang Jennie-ku yang dulu. Aku merindukan senyuman manisnya. Dan aku benar-benar di ambang menangis. Aku terus memandangi sidik jarinya di lukisan itu.

Tiba-tiba terdengar suara Jennie menginterupsiku, "Permisi, aku harus pergi" Buru-buru dia mengambil tasnya dan berjalan keluar dari tempat ini. Aku hanya bisa menghela nafas.

••

Abnormality [ID] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang