Empat

42 4 0
                                    

Laura memijit dahinya perlahan. Kepalanya terasa pusing harus memikirkan berbagai angka-angka yang malas mencari jawabannya sendiri. Dasar manja! Gadis itu melirik Alin yang tengah fokus memperhatikan penjelasan guru. Sedangkan Veena, gadis yang berada di sebelah Alin, dia terlihat murung dan tidak memiliki semangat hidup. Padahal, biasanya Veena lah yang paling energik.

Laura melirik jam tangannya lalu senyuman tipis terukir di bibirnya. Lima menit lagi ia akan keluar dari neraka dan menghirup udara yang segar. Ia lelah dan bosan.

Benar saja, tak lama kemudian bel berdering keras. Gadis itu segera menutup bukunya dan tersenyum kearah Alin. Tak lama setelah guru keluar kelas, Laura menghampiri Alin dan Veena. Mengajak mereka untuk pergi ke kantin bersama.

"Ayo ke kantin. Aku laper." Laura berdiri di antara meja Alin dan Veena. Kedua netranya bergantian menatap gadis tersebut.

"Kalian aja. Gue ngantuk," sahut Veena kemudian meletakkan kepalanya di meja. Sepertinya gadis itu dalam suasana hati yang cukup buruk.

Alin menyeret kursinya mendekat meja Veena. Ia menepuk lengan Veena sedikit keras sembari berkata, "lo kenapa sih? Kemarin diajak ke cafe enggak mau. Sekarang kek mumi berjalan. Mau lu apa?"

"Alin! Lu diem deh," sentak Veena. Butiran bening membasahi pipinya membuat kedua sahabatnya saling berpandangan heran.

"Lu mau cerita sekarang atau gue diemin sampek lusa?" Alin telah merasa ada salah dengan Veena. Langit yang cerah dan tiba-tiba tertutupi mendung hitam tentu sangat terlihat. Begitu juga dengan seseorang yang ceria tiba-tiba muram tentu ada yang salah.

"Kemarin gue ketemuan sama cowok yang gue kenal di sosmed. Awal kita chatting dia lembut banget sampai ngajak ketemuan. Gue iyain. Pas ketemu dia malah bilang gini, 'sorry Veen gue ada janji sama temen. Oh iya, habis ini kita gak usah hubungan lagi. Anggap aja gue fiktif.'

"Nyesek Lin! Bisa-bisanya gue suka sama lelaki kayak gitu. Ya seenaknya bilang gak usah hubungan lagi," tutur Veena dengan air mata yang masih menetes.

"Woah ... tipikal cowok minta disantet. Seenaknya bikin hati perempuan potek." Laura menatap Veena menunjukkan simpatinya. Ia mengusap lembut lengan sahabatnya.

"Move on Veen. Cowok enggak punah kok," tutur Laura.

"Pinter ya, diri sendiri belum bisa move on udah nyemangatin orang lain. Pinter," sindir Alin yang ia tujukan pada Laura.

Merasa tersindir, Laura pun memukul bahu Alin sekencang yang ia bisa. Bodo amat dengan Alin yang akan menceramahinya setelah ini.

"Lau! Enggak sadar diri emang! Dahlah males gue." Alin menarik tangan Veena. Meninggalkan Laura yang masih terdiam sembari mengikuti gerak bibir Alin ketika tadi.

***

Karena kelasnya berada di lantai atas, Laura harus menuruni tangga supaya tiba di kantin. Suatu kebetulan yang tidak diharapkan. Laura berpapasan dengan Hanan ketika di tangga. Laki-laki itu sendirian, ia berjalan menunduk sembari mendengarkan musik lewat earphone nya.

Laura tak berani berkata-kata. Mulutnya membisu dan pandangannya menunduk. Bahkan napasnya ikut tertahan ketika Hanan tepat berada di sebelahnya. Setelah laki-laki itu menjauh, barulah Laura bisa bernapas lega.

Setibanya di lantai bawah, Laura melirik keatas. Sedikit berharap semoga Hanan masih disana.

"Lau! Sadar," monolog Laura seraya memukul kepalanya pelan.

Sedangkan di atas sana Hanan memberhentikan langkahnya. Laki-laki itu berbalik badan dan melepas kedua earphone nya.

"Goblok banget sih gue," gumam Hanan kemudian memakai kembali earphone nya. Di belakangnya terdapat Sakha dan Alan yang baru saja tiba. Kedua laki-laki itu masing-masing membawa sebungkus batagor dan es teh plastikan.

02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang