Setelah makan malam dan minum obatnya, Laura mengambil gitar yang berada di sudut kamar. Benda itu sedikit berdebu karena sudah lama ia tak memainkannya. Tak jarang gadis itu bersin disebabkan debu yang tidak sengaja masuk ke indra penciumannya.
"Kotor banget," komentar Laura, lantas ia mengambil kemonceng yang berada tak jauh darinya. Memang, gitarnya menjadi lebih bersih, tetapi ia juga semakin sering bersin.
"Akhirnya …" Kemonceng yang tadi ia gunakan, Laura buang ke sembarang arah lalu membawa gitar tersebut ke meja belajarnya.
Laura merindukan masa-masa ketika ia masih bebas bermain dan menyapa penggemarnya tanpa mempermasalahkan penyakit yang diidapnya.
Penyakitnya memang bukan suatu penyakit yang bisa menyebabkan kematian secara mendadak. Tetapi lupus yang menjangkiti tubuhnya bisa kambuh kapan saja jika ia tidak rutin mengkonsumsi beberapa pil, mulai dari ukuran kecil hingga besar.
Sebenarnya ini menyiksa, tetapi Laura tidak mau mati begitu saja. Semenjak kembalinya Hanan, dan Gita yang masuk jeruji besi, gadis itu menemukan kembali motivasi hidupnya.
"Aku pasti sembuh, iya kan Pa?" tanya Laura pada foto Papanya yang terpajang rapi di sebelah foto wisudanya ketika zaman SMP.
"Aku bakal sembuh dan jagain Mama. Aku gak akan benci sama Mama, karena sekarang aku cuma punya Mama," sambungnya kemudian mengalihkan pandangan dari foto tersebut.
"Pa, kalau Papa masih ada, kira-kira hidup aku bakal gimana ya? Mungkin, aku ke sekolah bakal diantar Papa, terus tiap weekend jalan-jalan sekeluarga. Habis itu, aku bisa cerita ke teman-teman kalau aku punya ayah sehebat Papa," monolog Laura. Kini jemarinya memainkan senar gitar dengan lincah.
Dering telepon membuyarkan lamunan Laura tentang Papanya. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berada, sebuah panggilan video dari Hanan.
"Ada apa Han?" tanya Laura.
"Kamu gak suka ya aku telpon?" balas Hanan seraya menunjukkan wajah merajuknya.
"Siapa bilang? Kamu tuh kayaknya hobi negatif thinking," sahut Laura menyalahkan.
"Tau ah. Udah minum obatnya belum? Jangan lupa di minum, aku gak mau kamu kambuh," tegas Hanan sambil menatap gadis tersebut lewat layar ponselnya.
Laura terdiam, ia hanya memandang Hanan dengan matanya yang sedikit memanas. Sejak tadi, gadis itu ingin menangis tetapi baru sekarang ia melampiaskannya.
"Ra, kok nangis ih. Aku ada salah kata ya? Maaf." Melihat Laura yang menangis dan masih membisu, membuat Hanan panik. Ia tidak tahu apa sebab-musababnya hingga Laura menangis seperti ini.
"Ra, jangan diem mulu. Aku jadi takut, jangan-jangan ini bukan kamu," ujar Hanan ngawur.
"Enak aja," sahut Laura. Ia mengelap bekas air matanya dengan lengan baju yang ia pakai.
"Kamu kenapa? Ayo cerita." Hanan memandang wajah Laura dengan serius. Dari sorot matanya saja, laki-laki itu sudah tahu jika Laura tidak dalam kondisi baik-baik saja.
"Gak mau cerita. Maunya jalan-jalan, ayo …" Laura merengek seperti anak kecil yang meminta sesuatu. Hal itu terlihat sangat menggemaskan di mata Hanan. Tampak di layar ponsel, jika laki-laki itu sedang berusaha menahan senyumnya.
"Dua puluh menit lagi aku sampai disana. Aku matiin dulu ya," ucap Hanan lalu setelah Laura menyetujuinya, barulah ia mematikan sambungan teleponnya.
Sambil menunggu Hanan, gadis itu menuju dapur untuk mengambil beberapa camilan kemudian menunggu Hanan di ruang tamu. Supaya tidak terlalu bosan, ia menyalakan televisi tetapi hanya untuk backsound.
🐻🐻🐻
Sudah beberapa hari semenjak Bian dibawa pulang. Sejak itu pula ia tidak mengetahui bagaimana kabar Laura. Terakhir kali ia melihat wajah gadis itu beberapa menit sebelum kecelakaan yang membuatnya gegar otak ringan.
"Ala, di sekolah lancar kan?" tanya Bian pada adiknya yang baru tiba. Gadis itu langsung menghempaskan tubuhnya di sebelah sang kakak.
"Lancar dan biasa aja. Tadi ada temen kakak yang nanyain kakak kemana kok berhari-hari gak ada kabar," balas Alana tanpa melirik Bian. Ia sibuk memandangi langit kamar.
"Terus aku bilang yang sebenarnya. Habis itu dia balas kalau ada waktu senggang mau jenguk kakak," sambungnya.
"Siapa namanya?" tanggap Bian seraya menatap wajah manis sang adik yang tampak kelelahan.
"Gak tau, gak kenalan," sahut Alana sejujurnya dan sedikit mengesalkan.
Bian terdiam lalu mengambil ponselnya dan terletak di atas meja. Tangannya mengulir beranda media sosial, memantau perkembangan apa saja yang sedang hangat dibicarakan.
Sebuah cerita yang berada di ujung kiri menarik perhatian laki-laki itu. Lantas ia membukanya. Sedikit menyesal tapi sudah terlanjur.
Cerita yang dibuat gadis yang akhir-akhir ini menguasai pikirannya. Masalahnya ada dalam foto yang di posting. Siluet seorang laki-laki yang terlihat tampan. Tentu diimbuhi sebuah emoticon hati berwarna merah.
Lalu di slide selanjutnya terdapat sebuah foto dua kaki. Perempuan dan laki-laki. Di kedua postingannya, Laura mengetag akun Hanan.
"Laki-laki ini, ya cocok kok," batin Bian lalu menutup ponselnya.
Tiba-tiba Alana duduk dan menatap Bian lalu berujar, "gak usah berharap sama seseorang yang hatinya udah ada yang punya."
"Lagipula Mamanya dia yang udah buat Kakak kayak gini," sambung Alana kemudian kembali merebahkan tubuhnya.
"Hah?"
"Mamanya kak Laura yang udah nabrak Kakak. Sekarang kabarnya dia dipenjara. Syukurlah dapat balasan yang setimpal," sahut Alana santai.
"Kamu kenapa gak bilang dari awal Al?" Bian tampak terkejut dengan fakta ini.
"Terus sekarang Laura sama siapa kalau Mamanya dipenjara? Dia pernah cerita ke Kakak kalau dia cuma punya Mama," ucap Bian.
"Ya mana aku tau. Lagipula itu bukan urusan aku. Paling diurus pacarnya itu," sahut Alana terkesan cuek. Hal ini tentunya menimbulkan keheranan bagi Bian. Karena setaunya, Alana sangat mengagumi sosok Laura.
"Kakak kenapa sih terus terusan khawatir sama orang yang sama sekali gak peduli sama Kakak?!" Kini, Alana menaikkan intonasinya. Ia menatap wajah sang Kakak penuh kekesalan.
"Selama Kakak di rumah sakit, emang dia pernah jenguk Kakak, enggak kan? Emang dia pernah nanyain kabar Kakak, enggak juga kan?"
"Terus kenapa Kakak masih peduli sama dia?!"
"Karena bagi Kakak, dia perempuan yang istimewa. Dia berbeda dari yang lain Al," sahut Bian. Tangannya terulur menggapai tubuh Alana, namun dengan cepat Alana menghindar.
"Makan tuh istimewa." Gadis itu langsung bangkit dari tidurnya lalu keluar dari kamar Bian.
🐻🐻🐻
"Enak es krimnya?" tanya Hanan pada gadis berhoodie beige yang duduk di sebelahnya.
"Enak. Aku suka rasa strawberrynya," jawabnya sambil menunjukkan es krim berwarna pink yang berada di genggamannya.
Tiba-tiba Hanan menjilat es krim itu lalu menatap wajah Laura dengan senyuman puas. Lantas ia berkata, "enak juga ternyata."
Laura membalas senyuman Hanan lalu tangannya bergerak merebut es krim coklat yang digenggam Hanan. Kini ia memegang dua buah es krim. Sekarang ia tersenyum puas lalu menjilat minuman dingin itu secara bergantian.
"Salah sendiri ambil punyaku," ucap Laura.
Hanan hanya menghela napas pelan. Ia harus merelakan sebuah es krimnya jika tidak mau berdebat dengan Laura.
Untuk sekali lagi, perempuan selalu benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]
Teen Fiction••• 𝑫𝒊𝒂𝒏𝒕𝒂𝒓𝒂 𝒅𝒖𝒂 𝒌𝒆𝒎𝒖𝒏𝒈𝒌𝒊𝒏𝒂𝒏, 𝒅𝒊𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒑𝒊𝒌𝒊𝒓𝒂𝒏 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒖𝒍𝒖𝒂𝒏 ••• 𝔟𝔶: 𝔉𝔞𝔫𝔦𝔩𝔞𝔟𝔩𝔲𝔢- Enam puluh hari menuju dunia tanpa mentari. M...