Hanan mengajak Laura ke perpustakaan. Hanya di sinilah tempat sepi dan tenang dan jarang dikunjungi. Laki-laki itu menuntun Laura untuk duduk di bangku dekat jendela.
"Lo ada masalah apa?" tanya Hanan dengan suara yang lirih.
"Em ... eng ... a, anu." Laura mendadak kehilangan semua kosa katanya. Ia bahkan tidak berani menatap Hanan. Gadis itu hanya memainkan jemarinya sambil menunduk.
"Ra," panggil Hanan dengan lembut. Ia sedikit mengundurkan kursinya lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Laura. Tangannya terulur menyingkirkan beberapa helai rambut yang menjuntai menutupi wajah gadis itu.
Seketika tubuh Laura merespon berlebihan atas apa yang dilakukan Hanan. Meski hanya perlakuan simpel, pipinya merona diiringi detak jantung yang semakin tidak terkendali. Hanan masih tetap dengan posisinya dan menatap Laura dengan intens.
Tiba-tiba Hanan memegang dagu Laura dan mengangkatnya sehingga kedua bola mata mereka saling bertatapan untuk sepersekian sekon.
Untungnya keadaan perpustakaan kali ini sedang sepi. Jadi, mereka tidak menjadi pusat perhatian.
"Gue tahu lo butuh teman cerita. Cerita sini sama gua. Bentar." Hanan melepas tangannya dari dagu Laura. Akhirnya gadis itu dapat bernapas lebih lega. Namun, Hanan malah duduk di sebelahnya.
"Han, kamu sehat?" tanya Laura heran. Pasalnya semenjak di taman tadi semua perlakuan Hanan sangat jauh dari kata biasanya. Meski Laura menyukainya, jantungnya tidak berkata demikian. Ini terlalu berlebihan.
Seutas senyuman yang nyaris menjadi tawa timbul begitu saja di wajah tampan Hanan. Padahal biasanya senyum adalah hal termahal dari seorang Hanan Syahreza. Namun, kali ini ia memberikannya cuma-cuma pada "sang mantan".
"Gue sehat Ra. Gak usah ngalihin pembicaraan. Gue tau lo lagi ada masalah kan? Gak usah bohong, kelihatan dari mata lo. Gue peduli sama lo Ra. Saat lo gak ada temen buat cerita, lo bisa datang ke gua," terang Hanan dengan mimik muka yang terlihat serius.
Laura bimbang. Bukannya ia tidak mau bercerita. Tetapi, gadis itu memiliki prinsip bahwa jangan pernah berbagi kesedihan dengan siapapun.
Ia hargai kepedulian Hanan. Tetapi yakin itu murni sebuah rasa peduli? Peduli dalam konteks yang bagaimana, dalam ruang lingkup apa?
Sesaat Laura memang merasa bahagia, namun setelah berpikir lagi. Beberapa asumsi dan opini buruk mulai bermunculan.
Gadis tersebut tidak ingin terjatuh dan kembali terluka untuk kedua kalinya. Sudah cukup goresan dari satu tahun lalu. Ia tak ingin menambah lagi maupun memperbesarnya.
"Ra, lo kebiasaan kalau diajak ngomong malah bengong," celutuk Hanan.
"Hah. Eh, maaf Han. Aku enggak apa-apa kok. Santai." Laura berujar sembari diakhiri senyumnya.
"Ya udah. Kalau ada apa-apa lo bisa cerita sama gua. Gue balik dulu, dadah Ra." Sebelum pergi Hanan mengusap rambut Laura kemudian melanglang sambil melambaikan tangan.
Laura termenung. Sekali lagi perbuatan Hanan, membuatnya kembali berharap. Berharap supaya hubungannya dengan Hanan dapat terjalin seperti sedia kala.
Gadis itu memang menyukai semua perlakuan manis Hanan untuknya. Kadang ia juga terlarut dalam kebahagiaan sesaat yang membuat harapannya kembali bangkit.
Egois kah jika ia menginginkan Hanan kembali padanya dan hanya untuknya?
Mengulang kembali masa lalu untuk memperbaiki kesalahan yang mengakibatkan terjadinya perpisahan.
Tak ingin berlarut dalam isi pikirannya yang mulai gila. Laura memutuskan untuk pergi ke kantin. Membeli beberapa makanan manis untuk memperbaiki suasana hatinya.
Di dekat pintu masuk, seorang gadis menubruk Laura hingga mereka berdua mundur beberapa langkah.
"Astaga, maaf," ucap gadis yang menabrak Laura sambil menunduk sesaat.
"Iya enggak apa-apa." Laura berniat segera pergi begitu saja. Namun, gadis itu memegang tangannya. Kedua bola mata mereka saling bersitatap.
"Maaf, lo Laura bukan sih?" tanya gadis itu memastikan. Wajahnya tampak menelisik sosok di hadapannya yang terlihat familiar.
"Kita kenal?" tanya balik Laura yang memang saat itu sedang dalam suasana hati kurang baik.
"Gue kayaknya kenal sama lo. Lo Laura Auristela kan? Gue suka banget sama suara lo pas nyanyi." Meski mendapatkan balasan kurang baik dari Laura, gadis itu tetap berceloteh dan sama sekali tidak tampak tersinggung.
"Makasih banyak, tapi aku buru-buru. Maaf," timpal Laura kemudian melepaskan tangan gadis itu darinya. Sebenarnya, Laura tahu gadis itu adalah siswi baru yang menjadi idaman siswa-siswa di SMA Merah Putih.
Hanako Makaira.
"Yah, padahal gue mau ngomong lebih gitu sama Laura. Ya udah deh, masih ada hari esok," monolog Hana.
Sepulang sekolah, Laura masih menunggu Mamanya menjemput. Gadis itu duduk sendirian di halte sambil mengamati setiap kendaraan yang lewat di depannya.
Ditemani dengan camilan juga earphone yang jarang terlepas dari telinganya. Meski tidak jarang benda tersebut dalam keadaan mati.
"Ra," panggil Hanan dari atas motornya.
Laura mendongak, sedikit terkejut. Namun tetap berusaha biasa saja. Ia menjawab, "apa?"
"Nunggu Tante Gita kan? Ayo sama gue. Tante Gita tadi ngechat supaya gue nganter lo pulang. Ayo," ajak Hanan seraya memberikan sebuah helm untuk Laura.
Karena masih ragu dengan pernyataan Hanan. Gadis itu mengecek pesan dari Mamanya dan memang benar. Sang Mama berkata bahwa ia tidak dapat menjemput dan meminta tolong Hanan untuk mengantar.
Ingin sekali Laura protes. Namun, bagaimana lagi? Sebenarnya ia bisa pulang menggunakan taksi. Tetapi ia tahu seberapa keras kepala seorang Hanan. Dan ia tidak menginginkan berdebat dengan laki-laki tersebut.
"Sampai lo ada niatan pulang pakai taksi. Gue ikutin sampai rumah," ujar Hanan dengan nada yang lebih condong mengancam.
"Iya Han." Tidak ada pilihan lain. Laura menerima helm dari Hanan kemudian menaiki motornya.
"Udah?" tanya Hanan seraya menurunkan kaca helmnya.
Laura mengangguk, entah Hanan melihatnya atau tidak. Tiba-tiba laki-laki itu menarik kedua tangan Laura dan melingkarkannya di pinggang.
Sontak kedua mata Laura melotot. Sedikit lancang tapi menyenangkan. Hati dan pikirannya tidak pernah selaras menyangkut Hanan dalam kehidupannya.
"Nah gini kan aman. Yang erat, gue mau ngebut," lirih Hanan kemudian langsung melajukan sepeda motornya dengan kecepatan sedikit tinggi.
Tanpa diaba-aba, Laura pun mengeratkan pelukannya pada Hanan. Hal tersebut menimbulkan seutas senyum penuh kemenangan di wajah Hanan yang tertutup helm.
Di belakang mereka, lebih tepatnya dari gerbang sekolah. Sakha yang tengah membonceng Hana tidak sengaja melihat kedua insan yang memiliki kemungkinan akan balikan. Di sana juga ada Alan yang tengah dibonceng Alin.
"Lan, mereka berdua beneran balikan?" tanya Sakha yang dibalas gelengan Alan.
"Lan lo tuh yang sakit kaki. Kenapa mulut lo ikutan bisu?" geram Sakha. Pagi tadi ketika jam pelajaran olahraga, Alan terjatuh dan kakinya terkilir. Karena itu Alin memboncengnya pulang.
"Lagi badmood Kak," sahut Alin yang dibalas hembusan napas Sakha.
Sementara itu Hana menatap lurus ke depan sambil berkata pada dirinya sendiri, "jadi mereka deket?"
KAMU SEDANG MEMBACA
02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]
Teen Fiction••• 𝑫𝒊𝒂𝒏𝒕𝒂𝒓𝒂 𝒅𝒖𝒂 𝒌𝒆𝒎𝒖𝒏𝒈𝒌𝒊𝒏𝒂𝒏, 𝒅𝒊𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒑𝒊𝒌𝒊𝒓𝒂𝒏 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒖𝒍𝒖𝒂𝒏 ••• 𝔟𝔶: 𝔉𝔞𝔫𝔦𝔩𝔞𝔟𝔩𝔲𝔢- Enam puluh hari menuju dunia tanpa mentari. M...