Delapan Belas

43 3 0
                                    


Seiring waktu berjalan, siang pun berganti malam. Namun, kesendirian itu tak kunjung hilang. Selama ini, Laura hidup dengan dibayangi rasa kesepian yang tak segera memudar. 

Tetapi rasa sepi dan sendiri itu hilang sesaat dengan hadirnya Hanan beberapa jam yang lalu. Saat itu Laura ingin menghentikan waktu dan meminta Hanan tetap di sisinya. 

Meski hanya sebentar, kehadiran Hanan cukup membuat gadis itu kembali bersemangat. Setidaknya memiliki secuil kobaran semangat untuk mempertahankan hidupnya. 

Rintik hujan yang beradu dengan kilatan petir juga gemuruhnya guntur mengurungkan niat Laura untuk bermain musik. Di keadaan seperti ini hanya ada satu hal yang terlintas. Yaitu, mendekam di balik selimut lalu berharap kenyataan pahit ini segera berubah manis. 

"Mama belum pulang?" tanya Laura pada dirinya sendiri. Ia menyalakan layar ponselnya untuk mengetahui jam berapa sekarang. 

"Pantas, masih jam segini. Paling juga lembur lagi," lanjut gadis berambut hitam legam tersebut. Lantas ia menarik selimut tebal yang berada tak jauh darinya. Perlahan ia menutup mata diiringi suara bersahut-sahutan antara guntur satu dengan yang lainnya. 

🐻🐻🐻

Hujan semalam menyisakan air yang menggenang di berbagai tempat. Seorang remaja laki-laki membuka jendela kamarnya sambil menarik napas panjang. Kedua matanya menatap lurus ke depan dengan senyum manis yang jarang ia tampakkan. 

Ketukan pintu kamar mendadak membuat senyuman itu hilang. Dengan wajah datar, laki-laki itu berbalik badan lalu memasang senyum terpaksa pada wanita yang baru membuka pintu kamarnya. 

"Selamat pagi Bunda …" sapa Hanan tentunya dibumbui dengan sedikit keterpaksaan. 

"Bunda kira kamu belum bangun. Cepat mandi habis itu sarapan," titah wanita yang hampir berusia kepala empat tersebut. Setelah memberitahu putranya, ia lantas menuju dapur.

Hanan tidak langsung mandi. Laki-laki itu masih bermain ponsel. Awalnya ia hanya berniat membalas pesan dari Sakha. Namun, malah berujung membuka media sosial. Aktivitas itu tidak akan berhenti hingga teriakan Mia menggema di seluruh sudut rumah.

Kini penampilan putra tunggal Andre dan Mia tampak lebih rapi. Dilihat-lihat Hanan sangat mirip dengan Andre kala ia masih muda. Hanya bentuk matanya saja yang menjiplak Mia.

"Han, untuk beberapa hari ke depan Ayah sama Bunda harus ke rumah Nenek. Beliau lagi sakit dan asisten juga pada cuti. Enggak apa-apa kan kamu sendiri?" tanya Andre seraya menuang air mineral pada gelasnya. 

Hanan mengangkat kepalanya, kedua bola matanya bergerak ke kanan kiri. Menatap kedua orang tuanya secara bergantian. 

"Santai Yah. Selama uang jajan lancar, semua aman," jawab Hanan diakhiri senyumnya. 

Bagi Hanan definisi kebahagiaan menurutnya ketika Ayah dan Bundanya tidak berada di rumah dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama dan tidak begitu singkat.

Namun, bagi Laura itu sebaliknya. Keluarga Hanan adalah keluarga yang diidam-idamkan Laura sejak lama. Memiliki sosok orang tua yang selalu ada dan bersedia mendengarkan keluh kesahnya setiap saat.

"Han gimana kabar Laura? tanya Mia tiba-tiba. Sontak saja hal itu membuat Hanan tersedak roti bakarnya. 

Dengan cekatan Mia menyodorkan segelas susu kemudian kembali menikmati hidangannya. Sementara itu Hanan masih terdiam untuk beberapa saat. 

"Semenjak kamu putus dari Laura, Bunda belum pernah lihat kamu bawa gadis lain kesini. Bunda itu sayang banget sama Laura, kalau kalian balikan kasih tahu Bunda ya," sambung Mia. 

Suara Hanan seperti tertahan di tenggorokan. Ia ingin bilang jika dirinya dan Laura mustahil untuk bersama lagi. Tetapi kata-kata itu tidak terucapkan dan malah terganti dengan anggukan. 

"Ayah juga nunggu kabar baik itu Han," timpal Andre yang membuat Hanan semakin sulit untuk berbicara. Lagi-lagi ia hanya mengangguk meski hatinya tidak ingin.

Balikan dengan Laura? Meski Hanan masih menyimpan rasa untuk gadis itu, balikan tidak pernah terlintas di pikirannya. Selama ini yang ia pikirkan hanya bagaimana melindungi Laura, mengembalikan senyum Laura, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan Laura. 

🐻🐻🐻

Laura kembali menjejakkan kakinya di area SMA Merah Putih setelah sehari ia izin. Tubuhnya yang terbalut jaket tebal berjalan memasuki lorong menuju kelasnya. Sesuai dugaannya, Alin dan Veena telah datang lebih dulu.

"Lau akhirnya lo balik. Sumpah! Gue panas banget kemarin. Si Batako itu berulah, bikin gue gedeg astaga!" curhat Alin sembari bergidik. Mengingat kelakuan Hana membuat gadis itu geli sendiri. 

"Hah? Batako?" Laura tampak bengong. Ia menatap Veena meminta penjelasan, namun gadis itu mengendikkan bahunya tidak tahu.

"Hanako! Mending Batako aja," sahut Alin begitu kesal.

"Namanya doang cantik. Kelakuan kayak setan betina. Setan aja kayaknya kalah saing," sambung Alin disertai kilatan matanya yang penuh kebencian. 

"Lau lebih baik lo hari ini izin aja deh. Kasihan mental lo, ntar ngedrop gara-gara ocehan Alin," saran Veena yang tentunya hanya gurauan belaka. 

"Alin …" Sebuah panggilan manis yang membuat ekspresi Alin berubah seratus delapan puluh derajat. 

Gadis itu berbalik badan sembari memamerkan senyumnya. 

"Kak Alan …" balasnya dengan manis. 

"Eh, Laura udah masuk ternyata," ucap Alan sambil melirik Laura yang pura-pura sibuk dengan ponselnya. 

"Iya dong Lan. Kemarin kan abis ditemenin ayang," sahut Sakha seraya menyikut lengan Hanan. 

"Lau lo enggak diapa-apain Hanan kan?" tanya Sakha setengah berteriak.

Laura yang bingung hendak menjawab apa, ia hanya menatap Sakha dengan sedikit canggung. Tiba-tiba Hanan menarik kedua temannya itu sambil berkata, "cerewet banget jadi cowok. Ayo ke kelas!"

Alan dan Sakha hanya pasrah dengan tingkah sahabatnya. Tidak pernah bisa diajak bercanda. 

Dari arah yang berseberangan, muncul Hana dengan penampilannya yang dianggap imut. Gadis itu berlari menghampiri Hanan sembari tersenyum lebar. 

"Pagi Hanan! Pagi juga Sakha, Alan," sapa Hana diiringi senyumnya yang manis. Tidak bagi Alin.

"Pagi Nako," balas Sakha. 

"Hanan beberapa hari yang lalu aku follow kamu. Tapi kok belum dikonfir ya? Kuota kamu habis?" tanya Hana sok polos.

"Itu artinya lo ditolak sebelum berjuang! Gitu aja gak tau," cibir Alin. Suaranya sedikit ia keraskan. 

Laura langsung membekap mulut Alin dengan tangan kanannya. Ia tidak ingin ada keributan antara Hana dan sahabatnya. 

"Eh Laura udah masuk ya. Kemarin gue nyari lo tau. Sakit apa emangnya? Kalau gue tau dimana rumah lo pasti gue jenguk," ucap Hana entah tulus atau tidak. 

"Diem lo Nenek Lampir! Pinter banget main drama, casting aja sono! Gue doain dapat job!" teriak Alin ketika tangan Laura mulai mengendur. 

"Alin …" bisik Laura dengan maksud meminta gadis itu untuk berhenti berteriak. 

"Nanti sampai bu Rere tahu, habis riwayatmu," sambung Laura. 

"Alin, maaf gue lagi ngobrol sama Laura. Enggak sopan banget nyela obrolan orang. Perlu pelajaran tambahan kayaknya lo itu," sarkas Hana dengan senyuman untuk menutupi kesinisannya pada Alin.

"Nyenyenye, diem dah lu! Telinga gue gatel." Alin melepaskan tangan Laura dari tubuhnya kemudian pergi entah kemana. 

Laura hanya menatap orang-orang tersebut sembari menarik napas panjang. Saat ia bersitatap dengan Hanan, tiba-tiba laki-laki itu mengedipkan matanya sembari menggerakkan bibirnya seperti mengatakan "istirahat nanti ke perpustakaan ya".



02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang