Dua Puluh Empat

21 2 1
                                    

Selepas berdebat dengan Ayahnya, Bian mengurung diri di kamar. Tak peduli Rena yang terus mengetuk pintu sambil sesekali memohon. Mengharap sang putra sulung mau membuka pintu dan mendengarkannya. Namun, ia salah. Bian merupakan jiplakan Rendi, yang mana laki-laki itu sangat keras kepala.

"Abi, Bunda tunggu di ruang tengah ya. Bunda enggak akan pergi sebelum kamu keluar," ucap Rena kemudian melangkah menuruni tangga.

Beban pikiran yang begitu berat membuat tubuhnya ikut lemas. Berjalan pun serasa tak mampu. Kakinya seperti kehilangan tulang dan tubuhnya tak ada penopang. Alhasil ia terjatuh sebelum sempat menuruni undakan.

Kepalanya tertunduk dan setetes kristal bening terjatuh tepat di atas punggung tangan Rena. Dengan cepat ia menatap ke langit-langit rumah untuk mencegah air mata terus mengalir.

Hanya karena suatu kesalahpahaman, bahtera rumah tangga yang telah ia bina bersama Rendi selama bertahun-tahu harus kandas. Siapa tidak sakit hati ketika orang yang telah dianggap setengah dari hidupnya tiba-tiba pergi karena opini pribadi tanpa mau mendengarkan realitanya.

Kini Rena tak mampu lagi menahan air matanya. Tiba-tiba Bian memeluknya dari belakang. Kepalanya ia senderkan di punggung Rena. Tanpa Rena tau, putra sulungnya juga tengah menangis tanpa suara.

"Bunda ... Abi di sini. Abi enggak akan kemana-mana. Selalu di sini sama Bunda," lirih Abi dengan maksud menenangkan Bundanya. Dapat ia dengar isakan Rena yang belum berhenti.

"Abi, maafin Bunda. Karena masalah Bunda, kalian harus kena dampaknya. Bunda gagal jadi Ibu yang baik buat kamu sama Ala. Bunda tau kalian kecewa. Tapi tolong, jangan tinggalin Bunda. Bunda cuma punya kalian." Rena mengusap punggung tangan Bian yang melingkar di pinggangnya. Saat ia merundukkan kepala, air matanya jatuh membasahi tangan sang putra.

"Bunda tenang. Abi gak akan pergi," lirih Bian. Tangisannya semakin deras dan membasahi punggung Rena.

Ternyata seperti ini rasanya ketika rumah tak lagi menjadi tempat yang ramah. Dulu, Bian selalu mengira tempat ternyaman yang ia jadikan tujuan adalah rumah. Tetapi saat ini, rumah hanyalah gudang segala penderitaan.

Bisa dibilang hari ini sumber penderitaan hilang karena Rendi telah pergi. Namun, masalah baru datang. Rena tak lagi menunjukkan senyum, yang mana kini digantikan wajah muram dan tak memiliki semangat untuk bertahan.

Memang benar ya kata-kata yang Bian dapat lewat salah satu buku yang ia baca bahwa hakikatnya hidup ini selalu ada masalah. Tidak ada manusia yang tidak problem. Apabila manusia tidak memiliki masalah maka secara spontan pikiran akan memunculkan suatu masalah.

Manusia memang makhluk merepotkan.

"Kak Ian ..." teriak Alana yang baru tiba di rumah. Langkahnya terhenti begitu menatap Bunda dan Kakaknya yang saling berpelukan sambil berurai air mata.

Gadis itu langsung berlari lantas menghampiri mereka. Alana menggenggam tangan Rena dengan erat seraya berkata, "Bundanya Ala gak boleh nangis, nanti Tuhan marah karena Ala gak bisa jaga Bunda."

"Ala janji gak akan pergi dan selalu di sini bareng Bunda sama Kak Ian. Bunda, udah ..." lirih Alana.

"Ala ... maaf, maaf, maafin Bunda," balas Rena sambil terisak. Setelah ini pantaskah ia dipanggil Bunda?

🐻🐻🐻

Hanan menepati ucapannya untuk mengantar Laura pulang. Tepat pukul tiga sore, mereka baru meninggalkan kediaman Hanan. Sebenarnya, Mia masih sulit melepaskan Laura pulang. Tetapi, ia tidak bisa apa-apa.

"Ra mau mampir beli apa gitu gak?" tanya Hanan di tengah perjalanan pulang.

"Enggak. Aku udah kenyang," jawab Laura.

Lampu merah menyala, mengharuskan pengemudi untuk berhenti. Tepat di sebelah mereka, Bian ada di sana. Wajahnya terlihat kusut serta pandangannya kosong. Namun, saat itu Laura juga Hanan sama-sama tidak menyadari keberadaan Bian.

"Laura," lirih Bian saat ia tak sengaja melihat Laura berada di boncengan seorang laki-laki dan gadis itu masih berseragam. Hanya saja ia mengenakan sebuah jaket varsity sebagai outer.

Dan itu tentunya milik Hanan.

Bian tidak menyapa. Padahal bisa saja ia meneriakkan nama Laura saat itu juga. Tetapi ia memilih diam dan melanjutkan perjalanan ketika lampu telah menyala hijau.

"Udah punya cowok ternyata. Tuhan itu terlalu adil. Sampai gue enggak dikasih jatah bahagia. Rumah udah hancur, asmara juga gak lancar. Lucu banget ya Tuhan," gumam Bian. Laki-laki itu menatap lurus ke depan tanpa melihat kanan kiri juga belakang. Baginya saat ini hanya berkeliling untuk healing.

Dan ya Tuhan memberinya healing terbaik. Istirahat di rumah sakit. Motornya ditubruk sebuah mobil dari belakang yang membuatnya terpental hingga trotoar. Helm yang kebetulan tidak dikancing akhirnya terlepas. Kepalanya langsung menghantam sebuah batu. Darah segar mengalir, kesadarannya sempat tersisa sebelum gulita yang tiba.

Orang-orang mulai berkerumun, mencari bantuan. Saat itu samar-samar Bian masih mendengar gaduh riuh manusia. Di detik-detik terakhir sebelum kesadarannya sirna, ia sempat bergumam yang mana orang mungkin tidak mendengar. Laki-laki itu memanggil Bunda dan Adiknya.

Sementara itu di waktu yang sama, Laura baru tiba di rumahnya. Suasana hatinya sedang dalam kondisi sangat baik. Sofa ruang tamu menjadi tempatnya merebahkan badan seraya membuka ponsel yang beberapa jam lalu terakhir ia buka.

Terdapat banyak pesan dari beberapa orang. Salah satunya dua pesan dan dua panggilan dari Bian.

Di pesan tersebut, Bian menanyakan dimana Laura berada. Dan pesan itu dikirimkan ketika ia tengah menikmati berbagai makanan di rumah Hanan.

[ Maaf, Bi. Aku tadi pulang, enggak enak badan ]

Laura sengaja berbohong. Ia tidak ingin mengatakan jika ia membolos dan mengunjungi rumah Hanan.

Bayangan sejuknya air tiba-tiba terlintas di pikiran Laura. Dengan sigap gadis itu langsung berdiri lantas berjalan menuju kamar mandi dengan langkah riang.

🐻🐻🐻

Rena mendapatkan panggilan dari ponsel Bian. Namun yang berbicara bukanlah putranya. Melainkan pria yang sepertinya sudah berusia senja. Pria tersebut mengatakan Bian kecelakaan. Untuk memperkuat ucapannya, ia mengirimkan foto setengah tubuh dan motor Bian yang penuh bercak darah.

"Ala!" teriak Rena histeris. Air matanya kembali jatuh. Padahal belum lama tadi sempat terhenti.

Alana yang tengah menikmati sereal di dapur bergegas menghampiri Bundanya yang berteriak histeris sambil memanggil namanya

"Bunda, Ala di sini. Ada apa?" Alana langsung memeluk Rena. Saat itu matanya tidak sengaja menatap ponsel Rena yang menunjukkan foto motor sang Kakak.

Alana mengambil ponsel tersebut dan menggeser ke kanan untuk melihat foto lainnya. Di slide kedua, tubuhnya langsung lemas. Tidak salah lagi, di foto itu adalah Bian.

"Bunda, ayo kita temenin Kak Ian. Atau enggak Bunda di rumah aja. Biar Ala kesana." Gadis itu langsung berdiri. Namun, Rena mencegahnya. Masih dengan mata yang sembab, ia menatap putrinya sambil berkata, "kita berdua kesana ya. Kamu masih kecil."

Kedua perempuan itu memesan taksi. Sepanjang perjalanan, Rena terus merapalkan doa. Sementara itu pikiran Alana sudah bercabang banyak. Bundanya yang sedang hancur ditambah sang Kakak yang terkena musibah.

Untuk saat ini saja bolehkah Alana memarahi Tuhan?

02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang