Empat Puluh

116 2 0
                                    

Sudah pukul delapan malam, tetapi tidak menyurutkan semangat kedua muda-mudi yang kini tengah berdiri di atap yang masing-masing dari mereka memegang sebuah lampion dengan kertas harapan yang digantung di bawahnya. 

"Ra, di hitungan ketiga nanti kita lepas sama-sama ya. Jangan lupa merem," ucap Hanan dengan raut mukanya yang serius.

"Kenapa harus merem?" 

"Gak papa, biar estetik aja," sahut Hanan santai.

"Satu …" Laura mulai memejamkan mata. Di hatinya ia mengatakan beberapa harapan. Salah satunya semoga Mama dan Hanan selalu bahagia. 

"Dua …" Kini seutas senyum terbit di wajah manis Laura. Sedangkan Hanan ikut tersenyum sambil menatap wajah sang gadis.

"Tiga …" Lampion yang berada di tangan mereka kini terbang terbawa angin. Kemana pun angin membawanya, ia tidak akan protes. Apalagi marah.

Melihat wajah riang Laura, Hanan memotretnya lalu menjadikan foto tersebut sebagai foto profil juga lockscreen ponselnya. 

"Mana kembang apinya?" tanya Laura. Sebelumnya ia menengok ke kanan kiri untuk mencari benda tersebut. 

"Tokonya tadi tutup. Maaf ya. Tapi aku punya sesuatu untuk kamu." Hanan mengeluarkan sebuah kotak dari saku hoodienya. Ia membuka kotak itu di hadapan Laura.

"Kamu tau cincin ini aku request khusus buat kamu. Ada ukiran bunga mawar kecil sama inisial nama kita." Hanan memasangkan cincin itu di jari tengah Laura. 

"Aku juga punya. Pakein." Laki-laki itu menyodorkan sebuah cincin pada Laura. Memintanya untuk memasangkan di jarinya.

Laura tidak bisa menahan senyumnya. Malam ini, Hanan sangat lucu dan berhasil membuatnya menjadi seorang putri dalam sekejap. Ia ingin momen ini tidak ada habisnya. 

"Duduk dulu yuk." Hanan menggandeng tangan Laura untuk duduk di bangku yang tak jauh dari tempat mereka. 

"Kamu tau, aku hari ini bawa kanvas sama kuas. Kita akan melukis, jangan kaget. Aku emang gabisa melukis, kamu juga. Tapi gak salah kan kalau kita coret-coret random di sini," ucap Hanan. 

Ia meletakkan kanvas di depan Laura beserta cat dan kuasnya. "Ada dua!" Hanan menunjukkan dua buah kuas.

"Mana catnya?" Laura mengambil sebuah kuas yang ditunjukkan Hanan. Lantas ia mencelupkan kuasnya ke dalam cat dan menulis sesuatu di kanvas tadi. 

"Karena aku cuma beli satu, kita lukis sama-sama ya," ucap Hanan lalu turut bergabung dengan Laura. 

Mereka berdua larut dalam kegiatan santai ini. Beraneka bentuk dan warna mewarnai kanvas bersih ini. 

Jika diibaratkan, kanvas ini adalah kehidupan monoton Laura dan Hanan sebelum mereka bersama. Lalu cat beragam warna itu adalah kegiatan menyenangkan yang selama ini mereka lalui bersama. Dari kegiatan itulah hidup mereka semakin berwarna tak lagi abu-abu dan monoton. 

Malam ini adalah malam terbaik bagi Laura. Ia melewati malam penuh gemerlap bintang dengan didampingi seorang laki-laki yang bercahaya seperti rembulan. 

🐻🐻🐻

Pagi harinya seperti biasa, Laura pergi ke sekolah. Namun kali ini tidak bersama Hanan. Laki-laki itu berkata, ia akan datang sedikit terlambat karena akan mampir ke tempat foto copy. Akhirnya, Laura pun berangkat dengan menaiki taksi yang dipesankan Hanan.

Laura mendapatkan seorang supir taksi yang sangat ramah. Supir itu kerap mengajak Laura berbicara. Caranya mengemudi juga santai dan tidak terburu-buru. Sampai aroma mobilnya pun sangat harum tapi tidak menyengat. 

Begitu sampai di sekolah, supir tadi menghentikan mobilnya tepat di seberang jalan. Setelah mengucapkan terima kasih, supir tadi pergi meninggalkan Laura seorang diri. Gadis itu menengok ke kanan kiri untuk memastikan tidak ada kendaraan ketika ia menyeberang.

Setelah di rasa sudah lenggang. Ia menyeberang dengan santai sambil mendengarkan musik lewat earphone-nya. Baru saja berjalan sekitar empat langkah, sebuah mobil menubruk tubuh mungil Laura. Membuatnya seketika terbanting. Tubuhnya membentur jalanan begitu juga kepalanya. 

Untuk sesaat Laura merasa pusing hingga akhirnya pandangannya hitam. Namun, ia masih bisa mendengar suara ricuh orang-orang di sekitarnya. 

Cardigan imut berwarna soft blue yang ia pakai mendadak berubah merah akibat darahnya yang membasahi outer tersebut. 

Bian yang baru tiba bersama Alana mendatangi kerumunan orang-orang. Mereka berdua bergandengan tangan sambil menerobos kumpulan manusia itu. Begitu melihat apa yang mereka kerumuni, Alana spontan menutup mulutnya syok. 

Bian mendadak lemas, namun ia masih bisa berdiri. Sesosok gadis berlumuran darah dengan kondisi tak sadarkan diri. 

Ia ingin membantu, namun seolah-olah kakinya terbelenggu sesuatu hingga membuatnya tidak bisa bergerak barang sesenti pun. 

Hingga akhirnya, sirine ambulans dan polisi membubarkan kerumunan orang-orang tadi. Alana dan Bian turut tersingkir. Alana masih terlalu syok melihat aliran darah tadi. Begitu juga Bian yang masih membisu. 

Begitu kekacauan tersebut diselesaikan. Laura telah dibawa ke rumah sakit terdekat untuk segera diberi pertolongan, Hanan baru tiba. Alisnya berkerut melihat beberapa polisi di depan sekolahnya. Terlebih lagi ia melihat sebuah earphone yang hancur dan benda itu terlihat familiar baginya. 

Saat hendak memasuki kelas, Alan dan Sakha menghadangnya. 

"Nan, lo ke rumah sakit sekarang! Gak usah masuk, ntar gue bilang ke guru," perintah Alan.

"Iya Nan. Jangan buang-buang waktu, dia butuh lo!" timpal Sakha.

"Kalian kenapa? Lagi belajar acting?" tanya Hanan heran. 

Alan menarik napas panjang, meski berat ia mengatakannya. Hanan harus tau.

"Laura kecelakaan. Lo buruan kesana! Rumah Sakit Permata. Hati-hati, jangan sampai lo ikut kenapa-napa," bisik Alan. 

Hanan langsung berbalik badan dan berlari menuju parkiran. Dengan segera ia menjalankan motornya menuju rumah sakit yang disebutkan Alan. 

Pantas saja earphone tadi tampak familiar. Ternyata milik Laura. Pikirannya sangat penuh dengan berbagai kemungkinan buruk. Meski begitu, ia harus tetap hati-hati. Benar kata Alan, jangan sampai ia ikut kenapa-napa. 

"Ra … maafin aku, seharusnya aku yang antar kamu. Kalau saja kita berangkat bareng, aku yakin kamu gak akan kayak gini. Maaf Ra …" gumam Hanan dibarengi air mata yang mulai membasahi pipinya. 

"Kamu harus selamat. Ngelawan penyakit aja kamu bisa, masa hal kayak gini bikin kamu pulang. Jangan ya Ra," sambung Hanan. 

Setelah tiba di rumah sakit yang disebutkan. Hanan langsung menuju UGD. Di sana Mia berada sambil merapalkan berbagai doa dengan air mata yang berderai. 

Hanan langsung menghampirinya dan memeluk Mia dengan erat. Dalam pelukan sang Bunda, Hanan menangis dan mengungkapkan semua penyesalan dan pikiran buruknya. 

"Bun … Laura masih bisa bareng sama Hanan kan? Laura enggak pergi kan? Semalam Laura bilang dia bakal selalu dan selamanya sama Hanan. Laura enggak mungkin bohong. Dia kan sayang banget sama Hanan," monolognya sambil merengkuh tubuh Mia. Derai air mata membasahi pundak sang Bunda.

Sejujurnya, Mia sendiri juga takut kemungkinan terburuk itu akan menimpa Laura. Gadis yang sudah ia anggap putri sendiri.

Tak lama kemudian, dokter yang menangani Laura keluar. Dengan tergesa, Mia menghampirinya. Namun, dokter itu memintanya untuk bertemu di lain tempat. 

02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang