Tiga Puluh Tiga

27 2 0
                                    

Matahari bahkan belum setinggi gedung sekolah, namun Hana sudah kesal setengah mati. Sang Mama yang kembali merampas ponselnya dikarenakan nilainya yang kembali anjlok. Bukan hanya ponsel, Karin juga sengaja tidak memberi uang saku untuk Hana. 

"Ah! Sial banget hari ini!" teriak gadis itu di lapangan sekolah yang langsung menjadi pusat perhatian semua siswa. 

Mendapati sebuah bola futsal di depannya, Hana menendang bola tersebut dengan kuat. Ketika bola itu melambung tinggi, senyuman Hana mekar. Namun, senyumnya luntur ketika bola itu mengenai seorang siswa yang tengah berjalan santai sambil membawa tumpukan kertas. 

Kertas yang dibawa siswa tersebut langsung berhamburan. Lantas ia melirik kearah datangnya bola dan mendapati seorang gadis yang sedang berdiri sambil tersenyum ke arahnya. 

"Sini!" perintahnya. 

Hana hanya bisa menurut. Dan sialnya, laki-laki itu adalah kakak kelasnya. Pagi ini benar-benar menyebalkan bagi Hana.

"Maaf Kak. Saya enggak sengaja. Mari saya bantu kak." Hana segera berjongkok lalu memunguti kertas yang berserakan. Sementara itu siswa tadi tetap diam sambil mengawasi Hana.

"Ini Kak. Maaf, lain kali saya tidak akan mengulanginya." Hana menyerahkan setumpuk kertas sambil menunduk. 

"Terima kasih," balas siswa tersebut. Lalu Hana pergi setelah menganggukan kepala. Kesialannya bertambah, kekesalannya meningkat, dan sepertinya tensinya juga ikut naik.

Siswa itu baru pergi setelah Hana tak lagi terlihat di pandangannya. Saat ia baru melangkah, kakinya menginjak sebuah benda keras. Siswa itu pun berhenti kemudian memungut benda tersebut. 

Sebuah name tag yang kemungkinan milik siswi yang telah menendang bola padanya. 

"Hanako Makaira. Cantik," gumam siswa itu lantas memasukkannya ke dalam saku. Mungkin nanti istirahat ia akan memberikan pada si empunya. 

Setibanya di kelas, Hana langsung membanting tasnya lalu menyembunyikan wajahnya di liputan tangan. Mood-nya sangat hancur. Belum lagi hari ini ada pelajaran matematika yang selalu menjadi musuhnya.

Sementara itu di waktu yang sama, Bian telah dibawa pulang dari rumah sakit. Namun, masih belum diperbolehkan sekolah. Kegiatan yang sangat monoton membuatnya jengah. Ingin sekolah, namun ia juga harus memperhatikan kondisi tubuhnya. 

Keseharian Bian hanya makan, menonton film, bermain ponsel, meminum obat. Kegiatan yang dilakukannya berkelanjutan seperti roda. Tidak akan ada habisnya sebelum ia sembuh. 

Pagi ini, ia semakin kesepian karena Alana yang harus kembali ke sekolah. Biasanya Bian selalu ditemani sang adik lalu mereka saling berbagi cerita. Dengan tidak adanya Alana, ia semakin bosan.

Bayangan senyum Laura tiba-tiba melintasi otak Bian. Seketika ia langsung berpikir untuk menghubungi gadis itu. Namun, saat ia mengingat sore kala itu. Ketika Laura berboncengan dengan seorang laki-laki, membuat Bian mengurungkan niatnya.

"Oh iya lupa. Dia udah punya pacar. Gue enggak berhak mengganggu kehidupannya," monolog Bian lalu membuka media sosialnya. 

Ia dan Laura memang saling mengikuti. Saat laki-laki itu menekan status yang dibuat Laura, raut wajahnya mendadak suram. Tidak ada senyum, hanya sorot mata kosong dan alis yang tidak berubah. 

"Masih satu sekolah di Merah Putih?" Bian tampak terkejut dengan kenyataan baru ini.

"Cinlok ceritanya." Tawa Bian terdengar samar dan sedikit menyisipkan rasa sakit.

"Orang-orang kenapa ya bisa beruntung banget ya," monolog Bian entah yang keberapa kalinya. 

"Mereka beruntung di aspek keluarga. Punya sosok orang tua yang selalu ada. Sementara gue, keluarga udah kayak sampah," sambungnya.

"Keluarga kayak sampah, hubungan asmara juga kayak limbah. Cuma mengotori hidup gue." Bian membanting sebuah guling yang kebetulan ada di dekatnya lalu berteriak sekuat mungkin. 

Persetan dengan Rena yang mungkin bisa muncul kapan saja. Untuk saat kondisi rohani Bian sepertinya butuh ketenangan. 

🐻🐻🐻

Keputusan tentang sanksi untuk Gita telah ditetapkan. Wanita itu harus membayar denda sebesar empat juta rupiah dan hukuman penjara selama enam bulan. Gita akan dipindahkan ke lapas khusus perempuan dan akan menjalani serangkaian kegiatan di sana.

Sebelum dipindah tempatkan, Gita meminjam ponsel pada petugas yang mengawasinya guna menelpon putrinya. 

Tak beberapa lama kemudian, panggilan itu telah diangkat Laura. Setelah sekian lama, Gita akhirnya dapat mendengar suara Laura kembali. 

"Sayang … ini Mama," ucap Gita dengan air mata yang tidak bisa lagi dibendung. Isakannya bisa terdengar sangat jelas di indra Laura. 

"Mama … Mama baik-baik aja? Gimana kabar Mama? Mama sehat kan?" tanya Laura bertubi-tubi. Meski ia sedikit kecewa pada Gita, rasa khawatirnya lebih besar dari itu semua.

"Seharusnya Mama yang tanya, kamu baik-baik saja? Kata Mia kamu sempat dirawat, maafin Mama sayang … waktu kamu sakit Mama malah enggak ada di samping kamu." Tangisan Gita semakin pecah. 

"Laura baik-baik aja Ma. Bunda Mia ngerawat Laura dengan baik. Sekarang Laura udah baikan, tapi harus rajin kontrol ke rumah sakit," terang Laura. Diam-diam gadis itu juga meneteskan air mata. Namun, ia tidak ingin Gita mengetahuinya. Sudah cukup penderitaan yang wanita itu tanggung. Laura tidak ingin menambahinya. 

"Ra, Mama mau dipindahkan ke lapas. Di sana nanti, kamu sering-sering jenguk Mama ya," pinta Gita seraya menghapus bekas air mata di pipinya.

"Iya Ma. Laura janji. Mama jaga diri selalu, istirahat yang cukup," balas Laura. Saat ini air matanya sudah turun dengan deras. Hanya saja ia menahan isakannya supaya tidak terdengar oleh Gita. 

"Siap sayang. Mama matikan dulu ya. Mama sayang Laura," ucap Gita lalu panggilan terputus sebelum Laura membalasnya. 

Gadis itu menangis sepuasnya di taman sekolah. Di bawah sebuah pohon, air matanya berjatuhan. Hatinya ikut sakit mendengar kabar Gita yang sepertinya tidak baik-baik saja. 

Laura akui, ia sempat membenci Gita karena tak pernah ada untuknya. Namun, sekarang ia baru mengerti bagaimana rasanya tidak ada sosok Mama yang mendampinginya. Walau biasanya Gita selalu bekerja setiap waktu, setidaknya Laura masih mempunyai Mama di sisinya. 

"Han, kapan-kapan kita jenguk Mama ya," pinta Laura pada Hanan yang sejak tadi menemaninya.

"Iya sayang," balas Hanan sambil mengelus rambut Laura dengan lembut. 

Gadis itu menyenderkan kepalanya di bahu Hanan. Perlahan tangisannya berhenti. 

"Han, aku tadi post foto kita berdua di medsos," ucap Laura seraya memandang wajah Hanan dari bawah.

"Oh iya? Terus gimana?" Hanan tampak antusias dengan cerita Laura. 

"Banyak yang bilang kamu ganteng gitu, cocok sama aku. Terus ada lagi yang bilang kamu mirip sama temannya gitu, ih banyak pokoknya," jelas Laura. 

"Kamu gak ngetag aku ya?" tanya Hanan sedikit menyelidik. 

"Aku tag kok. Lihat aja," sahut gadis itu santai.

Saat Hanan membuka ponselnya, banyak notifikasi yang masuk. Ketika ia membuka media sosialnya, banyak gadis yang mengikuti akunnya gara-gara Laura. 

"Ih Ra, lihat. Banyak banget yang follow aku." Hanan menunjukkan notifikasi yang hampir mencapai angka seribu. 

"Untung akunya aku privat. Enggak usah diterima lah." Laki-laki itu langsung mematikan ponselnya. 

"Ih kenapa?"

"Gak suka aja. Tapi aku suka yang kamu post. Bebas tag aku, tapi kalau ada yang follow aku gak akan aku terima. Itu merepotkan," jawab Hanan jujur.

Laura tertawa mendengar jawaban Hanan. Gadis itu paham sejak dulu Hanan sangat menyukai sesuatu yang berbau misterius. 

Saat ini Laura bahagia bersama Hanan. Ia tidak menyesali keputusan kemarin. Tidak peduli challenge-nya gagal. Yang terpenting, kebahagiaannya tercapai.

02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang