Hanan duduk di kursi sebelah ranjang Laura. Kedua netranya masih betah memandang paras ayu Laura. Meski sedikit pucat gadis itu tetap tidak ada bedanya di mata Hanan.
Dengan perlahan laki-laki itu meraih tangan Laura kemudian menggenggamnya dengan penuh kasih sayang. Tatapan matanya tidak bisa berbohong jika dia masih menyimpan sesuatu untuk gadis yang kini terbaring di ranjang.
"Ra ... tolong maafin aku. Aku tahu keputusan yang aku buat dulu itu salah banget. Bodoh banget aku waktu itu," lirih Hanan seraya meletakkan tangan Laura di dahinya.
"Han," panggil Laura dengan suaranya yang lirih juga tatapan mata yang masih lesu.
"Ra, kenapa? Mau apa?" tanya Hanan berturut-turut.
Laura tidak menjawab. Gadis itu membalas genggaman tangan Hanan dengan erat. Lantas menggunakannya sebagai bantuan untuk duduk.
Hanan yang mengerti apa yang diinginkan Laura dengan cekatan memegang punggung gadis itu kemudian membantunya duduk dengan bersender pada bantal.
"Han kamu pernah bilang kan kalau ada apa-apa aku boleh cerita ke kamu," ucap Laura mengawali obrolan.
Gadis itu menatap Hanan dengan sorot mata yang tidak seceria biasanya. Hanan hanya mengangguk sebagai balasannya. Lantas Laura mengalihkan pandangan menuju sebuah foto yang tertempel di dinding kamarnya.
Hanan mengikuti arah pandang Laura. Dahinya sedikit mengernyit lalu ia kembali menatap Laura yang masih memandangi foto tersebut.
"Semalam Papa datang buat jenguk aku. Aku bilang ke Papa kalau aku mau ikut biar bisa ketemu Opa, Oma. Tapi kata Papa aku belum boleh kesana," terang Laura. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Sesekali ia menengadahkan kepalanya untuk mencegah air matanya tumpah.
"Aku capek Han. Tiap hari aku merasa lelah. Padahal kegiatanku itu-itu aja. Aku pengen rehat, tapi enggak bisa. Han aku capek ..." Kini air mata Laura tak dapat lagi dibendung. Buliran bening turun membasahi wajah pucat gadis itu.
Hanan mengerti. Ia paham dengan semua yang dirasakan Laura. Gadis itu memang selalu kesepian. Mungkin itu juga yang menambah kelelahannya.
Hanan menarik Laura ke dalam dekapannya. Membiarkan gadis itu meluapkan semua yang dia rasakan. Dalam pelukan hangat Hanan, Laura menangis sekuat yang ia bisa. Namun, hal itu tak juga mengurangi rasa pedih yang ia derita.
"Ra nangis aja sepuas kamu. Buang semua beban yang kamu pikul. Atau kamu bisa berbagi sama aku. Kamu punya aku Ra!" hibur Hanan sambil mengelus lembut surai hitam Laura.
Mendengar penuturan Hanan membuat tangis Laura semakin menjadi. Untuk kali ini ia merasa nyaman. Tetapi bisakah rasa nyaman ini hanya untuknya saja? Laura tidak akan rela berbagi kenyamanan ini dengan siapapun.
Tak lama kemudian tangis Laura hilang. Isakannya juga sudah tidak terdengar. Namun, Hanan masih mendekapnya sambil mengelus rambut hitam legam tersebut.
"Ra," panggil Hanan. Karena tak kunjung mendapat jawaban. Laki-laki itu memegang kedua bahu Laura kemudian perlahan melepas pelukannya.
Seutas senyum manis terbit di bibir Hanan. Laki-laki itu bergumam seraya merebahkan kembali tubuh Laura. "Kebiasaan habis nangis pasti tidur. Tidur yang nyenyak beruangku."
🐻🐻🐻
Mantan?
Yang benar saja!
Hana menatap pantulan dirinya di cermin sembari menyisir rambut pendeknya. Untuk mendapatkan Hanan dia harus bersaing dengan seseorang dari masa lalunya.
"Cuma mantan doang pake dijenguk sampek enggak masuk sekolah. Cinta itu boleh Nan bego jangan. Lo tuh bego banget astaga! Secantik apa sih mantan lo itu?" kesal Hana seraya melempar sisirnya ke sembarang arah.
Tiba-tiba pintu kamar Hana didobrak. Bundanya muncul sambil membawa sebuah kertas ulangan yang memiliki nilai merah. Wanita itu melempar kertas yang ia bawa tepat di wajah putrinya.
"Pantes ya nilai kamu jelek. Kerjaannya dandan mulu! Kamu itu masih sekolah. Fokus aja sama pendidikan!" teriak wanita bertitel Bunda tersebut. Kedua netranya melotot menatap Hana yang menunduk tak berani membalas tatapan matanya.
"Maaf Bunda," lirih Hana.
"Sekarang belajar sana. Wifi Bunda matiin sampai nilai kamu kembali seperti biasanya. Paham!" sentak wanita itu tepat sebelum ia melangkahkan kaki keluar dari kamar Hana.
Setelah suara hentakan kaki sang Bunda tidak terdengar. Hana berdiri kemudian membanting semua benda yang ada di dekatnya.
"BULLSHIT SEMUA!" teriak Hana seraya menjambak rambutnya hingga acak-acakan.
Puas meluapkan semua emosinya, gadis tersebut membanting tubuhnya sendiri ke kasur. Ia hanya menginginkan kehidupan normal tanpa adanya tuntutan yang berlebihan.
Sang Bunda-Karin-selalu memintanya untuk belajar dan belajar. Seakan hidupnya hanya didedikasikan untuk mengejar angka yang sebenarnya hanya tipuan.
Tetapi kadang kala tipuan itu memang pantas untuk dibanggakan.
Hana selalu memperlihatkan pada semua orang seolah-olah hidupnya penuh kebahagiaan. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Ia ingin bersantai sejenak dari segala kesibukan dan pengejaran angka yang tidak akan ada habisnya. Tetapi Karin tidak memberinya kesempatan itu. Bagi Hana kebebasan hanyalah kemustahilan.
🐻🐻🐻
Alana menjejakkan kakinya di rumah sebelum Bian tiba. Gadis cantik itu lantas duduk di sofa sembari menikmati pertikaian yang tiada habisnya. Namun, karena sudah sangat terlatih. Alana hanya mendengarkan sambil memakan cokelat pemberian dari teman sekelasnya.
"Seru banget ya. Enggak beda jauh sama nonton bioskop," ujar Alana diakhiri cengirannya.
Suara tamparan terdengar lagi entah yang keberapa kali. Diiringi juga suara-suara berisik lainnya yang turut mengganggu pendengaran.
Hingga pada akhirnya suara isakan Rena yang menjadi ujung dari acara ini. Alana tampak lesu kemudian ia bergumam, "yah ... lagi asyik juga. Tapi enggak apa-apa, kebetulan cokelatnya juga udah habis."
Gadis itu kemudian berjalan menuju kamarnya yang tepat bersebelahan dengan tempat pertikaian tadi berlangsung. Ketika melewatinya, Alana berteriak, "Hwaiting Appa, Eomma! Ala nunggu episode selanjutnya!"
Alana dan Bian memang sangat berbeda. Bian merupakan pribadi yang sangat emosional dan Alana terlihat cukup lihai menyembunyikan apa yang ia rasakan. Ia hanya cukup terlihat bodoh di depan drama orang dewasa.
Rendi yang mendengar teriakan putri bungsunya bergegas mengejar. Namun, Alana segera mengurung dirinya di kamar. Pintu ia kunci dari dalam kemudian ac dinyalakan hingga suhu minus sepuluh derajat.
Gadis cantik yang masih berseragam sekolah itu membungkus dirinya dengan selimut dan tertidur. Berharap kejadian barusan hanya sebuah mimpi belaka.
"Nenek ... Ala kangen," lirih Alana yang tiba-tiba merindukan Neneknya. Setiap terjadi hal seperti ini, ucapan sang Nenek selalu terbayang.
Alana teringat perkataan Neneknya bahwa hidup orang dewasa itu tidaklah mudah. Semakin dewasa beban hidup akan semakin terasa. Tergantung bagaimana setiap pribadi menyikapinya.
"Nenek ... Bunda sama Ayah hobi banget teriak. Kalau memang udah enggak ada yang perlu dipertahankan kenapa enggak berpisah aja? Daripada bersama tapi anak mereka yang jadi korbannya," curhat Alana entah pada siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]
Fiksi Remaja••• 𝑫𝒊𝒂𝒏𝒕𝒂𝒓𝒂 𝒅𝒖𝒂 𝒌𝒆𝒎𝒖𝒏𝒈𝒌𝒊𝒏𝒂𝒏, 𝒅𝒊𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒑𝒊𝒌𝒊𝒓𝒂𝒏 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒖𝒍𝒖𝒂𝒏 ••• 𝔟𝔶: 𝔉𝔞𝔫𝔦𝔩𝔞𝔟𝔩𝔲𝔢- Enam puluh hari menuju dunia tanpa mentari. M...