Dua Puluh Tiga

23 3 0
                                    

Mia mengajak Laura ke dapur untuk menikmati berbagai hidangan yang sengaja disajikan untuk Laura seorang. Mulut gadis itu tidak berhenti mengunyah sejak Mia menyuguhkan batagor siomay yang rasanya jauh lebih baik dari langganan Laura. 

"Makan yang banyak Ra. Bunda lihat kamu agak kurus. Tenang, selama kamu masih di sini, Bunda jamin kamu gak akan kelaparan," ujar Mia yang kini tengah duduk tepat di depan Laura. 

"Iya Bunda," jawab Laura sambil tersenyum. Mia benar-benar memperlakukannya seperti putri kandung. Dan apabila diizinkan Laura ingin di sini lebih lama. 

Seharusnya bertemu dengan Mia setelah sekian lama tidak bersua menjadi momen canggung. Namun, bagi Laura hal itu tidak berlaku. Mia sangat pintar mencari bahan pembicaraan juga menyenangkan tamu. Karena hal itu rasa canggung yang sewajarnya membelenggu Laura hilang tidak berbekas. 

"Bun, aku lapar. Bunda masak apa?" tanya Hanan yang baru keluar dari kamarnya. Kali ini pakaiannya lebih santai dari tadi. Hanya mengenakan kaos hitam yang dipadukan celana pendek warna serupa.

"Ayam kremes, ambil sendiri ya," jawab Mia seadanya. Untuk saat ini ia lebih tertarik berbicara dengan Laura ketimbang putranya sendiri. 

Hanan menarik napas panjang kemudian berjalan menuju meja makan. Laki-laki itu melirik Bundanya penuh kecemburuan. Sejak dulu, Hanan selalu dinomor duakan jika Laura berkunjung kesini. 

"Rara, gimana sekolah kamu? Semua aman kan?" tanya Mia. 

Sontak mulut Laura berhenti mengunyah. Otaknya seperti berhenti bekerja. Kedua bola matanya menatap lurus ke arah Mia. 

Bagaimana sosok yang bukan siapa-siapa bisa seperhatian ini. Sementara Mama kandungnya sendiri tidak pernah menanyai bagaimana kehidupannya. Akankah baik-baik saja atau ada yang tidak biasa. 

"Ra … kamu kenapa sayang?" tanya Mia sedikit khawatir. 

"Enggak apa-apa Bunda. Sekolah Rara baik-baik aja, semua normal. Rara kan pintar," jawab Laura kemudian tertawa. 

"Iya dong. Calon mantunya Bunda harus pintar," balas Mia seraya mengelus surai hitam Laura yang dibiarkan tergerai. 

Untuk kedua kalinya, Laura dibuat membeku dengan sikap lembut dari Ibunda sang mantan. Masa bodoh apa statusnya dengan Hanan, yang penting Laura masih bisa merasakan kenyamanan dari Mia.

Sementara itu tidak jauh dari tempat kedua perempuan tersebut, Hanan memandang mereka sambil menggerutu sebal. Ia tahu Mia memang teramat menginginkan seorang putri, tapi jika begini Hanan berasa anak tiri. 

"Mentang-mentang ada Laura, Laura terus yang disayang. Laura pergi baru gue didatangi. Dasar Bunda," gumam Hanan kemudian menutup pintu kulkas dengan membantingnya lumayan keras. 

"Ra, ini masih jam setengah sepuluh. Seharusnya kalian masih di sekolah, kenapa udah pulang?" tanya Mia setelah melirik arloji yang menggantung di dekat lemari.

Laura mati kutu. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Bibirnya terasa kelu untuk berbicara. Ini semua gara-gara Hanan. Baiklah, berarti Hanan yang harus dikorbankan. 

"I-itu Bunda, Hanan ngajak Rara bolos. Yaudah Rara ikut aja. Mana Hanan ngajak manjat tembok, berasa kayak simulasi ninja warrior Bunda," terang Laura. Dalam hatinya ia bersorak kegirangan. Karena bisa dipastikan setelah ini Mia akan memarahi Hanan, dan Laura menyukai itu.

Benar saja, Mia langsung berteriak kencang yang membuat Laura sedikit memejamkan mata. 

"HANAN!!" teriak Mia yang disambut kedatangan Hanan. Laki-laki itu baru saja selesai makan dan di mulutnya masih ada makanan yang belum ditelan. Pipinya menggelembung membuat lakii-laki itu terlihat menggemaskan namun, tidak mengurangi niat Mia untuk marah.

"Apa Bundaku sayang," jawab Hanan selembut mungkin. Karena ia tahu, Mia akan segera mengeluarkan kata-kata mutiaranya. 

"Kenapa kamu ngajak Rara bolos?" tanya Mia yang berlagak seperti seorang polisi yang tengah mengintrogasi pelaku.

"Soalnya di kelasku ada cewek yang gatel. Aku gak suka, mumpung ada Laura sekalian aku ajak bolos," sahut Hanan tanpa ada perasaan berdosa. Ia masih berani menatap Mia yang tampak berapi-api.

"Ada juga ya yang gatel sama kamu. Siapapun dia, Bunda gak setuju. Hanan, kali ini Bunda gak akan marah karena gara-gara aksi bolos kamu, Rara kesini," balas Mia yang membuat Hanan dapat menghembuskan napas lega.

"Yah, Bunda gak marahin Hanan," lirih Laura. 

🐻🐻🐻

Bian baru tiba di depan rumah Laura. Tetapi rumah itu terlihat kosong. Bahkan pagarnya masih terkunci. Kemana sebenarnya Laura pergi. Bian sudah berkali-kali menelponnya tetapi ponsel Laura tidak aktif. 

Akhirnya ia pun memutuskan untuk pulang. Daripada menunggu di depan gerbang seperti hendak meminta sumbangan. 

Sepanjang jalan, Bian terus menengok ke kanan kiri. Mana tau ia menjumpai Laura di sana.

Tetapi hingga ia tiba di rumah. Ia sama sekali tidak menjumpai Laura. Entahlah, lagipula Laura juga bukan tanggung jawabnya. Hanya kalimat itu yang kerap ia ucapkan untuk menghilangkan pikiran tentang gadis tersebut.

Saat baru memasuki rumahnya, tiba-tiba Rendi mencekal tangan Bian kemudian berkata dengan tegas, "Abian! Kamu ikut saya. Kita pindah ke rumah Oma. Saya gak mau kamu diurus wanita murahan kayak dia." 

Dengan sorot mata tajam, Bian melepaskan tangan Rendi darinya. Sampai kapanpun ia tak akan sudi tinggal bersama seorang Ayah yang tidak mencerminkan bahwa dia sosok Ayah.

"Hidup saya urusan saya. Anda tidak berhak mengatur. Saya tidak akan pernah mau tinggal bersama anda. Satu lagi, berhenti memanggil Bunda saya wanita murahan. Anda itu laki-laki yang tidak tahu diri. Kurang apa Bunda melayani anda selama ini?" Bian masih mencoba menetralkan emosinya yang bisa meledak kapan saja. 

"Abian kamu masih tanggung jawab saya selama kamu masih mengenyam pendidikan. Saya tidak mau anak laki-laki yang saya banggakan diurus wanita kelas rendahan yang mana nantinya tidak bisa mengurus perusahaan saya. Abian, kamu paham?" tegas Rendi sekali lagi.

Ia dan Bian sejak dulu memang jarang berkomunikasi. Salah satu penyebab utamanya karena Rendi hampir dua puluh empat jam berada di kantor. Entah apa yang membuatnya betah. Mungkin sekretaris yang masih muda.

"Anda punya telinga kan? Bukankah saya sudah bilang saya tidak mau." Bian bisa dibilang kloning dari Rendi. Semua hal yang ada pada diri Rendi, menurun padanya. Semoga saja sikapnya yang tidak menghargai perempuan tidak menurun pada Bian.

"Terserah kamu. Kapan pun kamu butuh, saya selalu ada. Oh iya ada satu informasi buat kamu. Saya dan wanita itu sudah resmi bercerai," timpal Rendi kemudian keluar sambil menarik sebuah koper besar.

"Oh iya Abian. Tolong Alana kamu kasih tau. Kalau dia mau tinggal sama saya biar telpon saya. Itu pun kalau Alana pintar," sambung Rendi. 

Setelah bercerai dari Rena ia malah terlihat sangat bahagia. Sesekali bersiul sambil bernyanyi kemudian ia menghilang dari pandangan Bian. 

Laki-laki itu mengepalkan kedua tangannya. Dengan emosi yang membuncah, ia meninju tembok yang ada di sebelahnya. Teriakannya juga terdengar memenuhi seisi rumah. 

Di hari ini resmi rumahnya telah hancur. Tidak ada yang bisa diperbaiki. Semua sudah sirna. Kehangatan yang selalu ia dambakan sekarang menghilang seiringnya rasa cinta diantara kedua orang tuanya yang semakin pupus. 

02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang