Sepuluh

45 5 0
                                    

Entah mendapatkan hidayah dari mana tiba-tiba Gita—Mama Laura—mengajak putrinya berangkat bersama. Laura sendiri sampai terheran-heran dengan sikap sang Mama yang tidak biasanya. Awalnya ia ingin menolak. Namun, setelah dipikir kembali sejak gadis itu duduk di bangku sekolah menengah sang Mama nyaris tidak pernah mengantarnya. Selalu sibuk dengan pekerjaan.

Wanita itu mengemudikan mobilnya dengan santai. Meski Laura masih heran dengan sikap Mamanya, ia lebih memilih untuk membaca buku sambil mendengarkan musik lewat earphone-nya.

"Lau, gimana sekolah kamu? Enggak ada hambatan kan?" tanya Gita. Ia melirik Laura sekilas lalu kembali fokus pada ramainya jalan.

Laura meletakkan buku dan mematikan musiknya sebentar. Ia menatap sang Mama dengan jarak yang cukup intens. Untuk sesaat Laura tertegun. Terlihat dari sorot mata Gita, ia sangat lelah. Juga mata panda yang samar-samar masih tampak meski telah dipoles dengan make up.

"Lancar Ma. Mama sendiri jangan terlalu memforsir diri. Lau gak mau lihat Mama capek," jawab Laura dengan tenang.

Untuk saat ini ia menurunkan sedikit egonya. Melihat Gita yang tampak letih membuat Laura merasa bersalah. Selama ini ia selalu menganggap remeh dan cuek tentang apapun yang berkaitan dengan Gita. Karena dari sudut pandang Laura saat itu, ia merasa Gita sudah tak lagi menyayanginya, dan rasa sayang itu diganti dengan uang.

Sang Mama mengulum seutas senyum. Perhatian kecil dari putrinya pagi ini cukup memberi tambahan energi untuk bekerja nanti. Meskipun pekerjaan Gita tidak membutuhkan energi yang besar, otak wanita itu selalu dituntut untuk selalu bekerja.

"Makasih sayang ..." Gita mengelus lembut pucuk kepala Laura. Putrinya kini telah beranjak dewasa. Padahal ia merasa baru kemarin mengantarnya ke Taman Kanak-kanak.

Tak berselang lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan sebuah gerbang bertuliskan 'SMA Merah Putih'. Sebelum keluar, Laura mencium tangan Gita dahulu. Kebiasaan yang sangat lama tidak ia lakukan.

"Belajar yang bener Lau," tutur Gita dengan lembut.

"Iya Ma," balas Laura lantas keluar mobil dengan menenteng sebuah buku.

Setelah Laura masuk ke area sekolah, baru lah Gita pergi. Pagi ini ia sengaja meluangkan waktu untuk Laura karena semalam almarhum suaminya datang ke mimpi. Di mimpi itu ia berkata supaya merawat Laura dengan baik. Jangan sampai gadis itu merasa sendirian.

Lalu setelah bangun dari tidurnya, Gita merasa ini adalah sebuah peringatan untuknya. Mengingat selama ini, ia jarang memperhatikan Laura. Ia hanya meninggalkan amplop yang berisi sejumlah uang.

Dan ia juga sadar dengan itu berarti sama saja ia membeli kebahagiaan putrinya dengan materi.

Ya, bisa dibilang ia belum bisa konsisten merawat Laura dengan baik. Karena itulah, Gita memiliki tekad untuk lebih memperhatikan Laura. Karena hanya dialah sumber kebahagiaannya.

🐻🐻🐻

Liona tiba-tiba datang dan menepuk pundak Laura cukup keras. Gadis cantik berambut sebahu itu turut berjalan bersama Laura.

"Lau, semalam aku lihat tetanggaku pulang jam setengah dua belas. Mana cewek lagi, kira-kira dia ngapain ya? Cewek loh Lau, cewek!" Liona mengawali paginya dengan gerakan ghibah bersama Laura.

Laura menghentikan langkahnya dan menatap Liona dengan datar. "Kamunya ngapain jam setengah dua belas belum tidur. Kurang kerjaan banget sampai nontonin tetangga," cibir Laura.

"Aku nonton anime. Nanggung Lau, masa baru dapat lima episode disuruh udahan. Mending lanjut kan ya?" jawab Liona mencari-cari alasan.

Sementara itu Laura memilih tidak menanggapi. Mengobrol dengan Liona hanya membuat bibirnya lelah. Liona selalu membalikkan pertanyaan, hingga akan timbul pertanyaan yang tidak ada habisnya.

"Lau ... lihat dia Hana itu kan?" Gadis di sebelah Laura menghadang jalannya dengan merentangkan kedua tangan.

"Terus?" tanggap Laura setelah melihat figur Hana yang mendekati mereka.

"Huh, kamu kenapa sih Lau? Ketularan virusnya Hanan, ngomong singkat-singkat gitu," kesal Liona.

"Enggak."

Sudah, Liona tidak menyukai orang aktif yang mendadak pasif. Gadis itu pun melangkah menjauhi Laura, sebelumnya ia berbisik pada sang sahabat, "kalau badmood cerita aja. Aku ada kok."

Ketika jam istirahat tiba, Laura memilih untuk duduk menyendiri di bawah pohon. Kedua earphone juga telah terpasang di telinganya. Gadis itu bersandar di bangku dan netranya menatap dedaunan hijau campur kuning yang tepat berada di atasnya.

Ia menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Lama kelamaan ia larut dalam buaian angin yang sejuk juga alunan musik yang lembut. Netranya memejam meski sebenarnya tidak tidur.

Hari ini, Laura hanya merasa lelah. Entah lelah karena apa. Seharusnya ia bahagia karena sang Mama perlahan berubah. Tetapi ia malah merasa hampa. Kosong.

Ketika Laura masih terpejam mendadak salah satu earphone-nya diambil seseorang. Gadis itu segera membuka mata dan langsung terdiam begitu mengetahui Hanan berada di depannya.

Kepalanya sedikit mendongak karena Hanan membungkukkan badan dengan tangan kanan yang tepat berada di samping bahunya. Sementara itu tangan kirinya sibuk dengan earphone Laura.

"Han, nga-ngapain?" tanya Laura kebingungan. Terlebih lagi posisi Hanan yang sangat dekat dengannya dan aroma parfum laki-laki itu yang khas membuat Laura gagal fokus.

Tanpa menjawab, Hanan duduk di sebelah sang mantan. Punggungnya ia sandarkan di bangku dengan pelupuk mata yang menutup.

"Air jernih kalau dicampur tanah, kelihatan kan kotornya," ucap laki-laki itu yang masih terpejam. Menikmati alunan musik lewat barang kecil yang menyumpal telinganya.

"Maksudnya?" Laura masih tidak mengerti dengan arah pembicaraan Hanan. Bahasa laki-laki itu yang terlalu tinggi atau otaknya yang tidak bisa menerima kata-kata tersebut.

"Lo kalau ada masalah jangan diam aja. Lo pikir dengan diam masalah itu hilang dengan sendirinya. Ngimpi!" Meski niat Hanan mengingatkan, kata-katanya tak pernah manis. Selalu pedas dan tajam.

Laura masih terdiam. Ia sibuk mengamati setiap inci wajah laki-laki yang kini duduk bersamanya. Wajah yang masih sama dengan beberapa waktu yang lalu.

"Lo dibilangin malah lihat gue mulu, ada apa sih?" Hanan menegakkan tubuhnya lalu menatap Laura dengan jarak yang cukup minim.

Jantung Laura berdetak lebih cepat dari biasanya. Bibirnya juga terasa kelu dan berat untuk berbicara. Matanya bahkan terasa panas tapi untuk berkedip saja susah.

"Han boleh agak munduran dikit." Tangan kanan Laura menginterupsikan supaya laki-laki itu mundur beberapa senti saja. Aroma parfum juga tatapan dari Hanan berhasil meretakkan pertahanan hati Laura.

"Oh. Lo salting, maaf ya." Dengan entengnya Hanan berujar demikian. Seolah itu bukan hal tabu untuknya.

Tanpa sadar pipi Laura telah semerah lobster rebus. Ia malu, bingung, bahagia, entahlah semuanya tercampur menjadi satu. Susah untuk menjelaskannya.

Hari ini memang aneh. Baik sikap Gita maupun Hanan, semuanya berhasil menjadikan Laura bertanya-tanya.

Masih belum selesai dengan perdebatan pikirannya, tiba-tiba Hanan berdiri. Laki-laki itu menunduk, menatap wajah Laura sesaat lalu memegang pergelangan tangannya seraya berujar, "gue tau lo butuh senderan. Ayo ikut."

02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang