Mentari mulai menyembunyikan dirinya di balik heningnya malam. Rumah sakit pun mulai sepi dan pergantian shift mulai dilaksanakan. Di sebuah ruang rawat inap, Rena duduk di sebelah ranjang Bian seraya menggenggam tangannya.
Alana sedang keluar membeli makanan untuk Bundanya. Mengingat wanita itu tak berhenti menangis semenjak mendapat kabar bahwa putranya kecelakaan.
"Abi, bangun nak. Bunda di sini sayang," gumam Rena diiringi air mata yang masih terus mengalir.
"Bunda enggak akan maafin siapapun yang udah buat kamu celaka," lanjut wanita itu. Ia mengecup punggung tangan Bian berkali-kali.
Celakanya lagi untuk saat ini ia tidak menyimpan uang sepersen pun. Ingin meminta bantuan Rendi bukanlah sebuah ide bagus. Hal ini pula yang semakin memberatkan pikiran Rena.
Baru saja hidupnya hancur karena pasangan yang ia anggap teman selamanya malah pergi karena kekeliruan paham. Lalu putra sulungnya yang tertimpa musibah.
🐻🐻🐻
Laura baru selesai mandi dan telinganya menangkap sebuah suara. Seperti ponselnya. Gadis itu pun memungut benda pipih tersebut lantas mengangkat panggilannya.
"Halo," ucap Laura.
"Betul dengan saudari Laura?" tanya seseorang dari seberang sana. Di dengar dari suaranya merupakan seorang pria.
"Benar. Ada keperluan apa?" Laura mengernyit heran. Ia sudah was-was penelpon ini seorang penipu. Gadis itu memiliki rencana untuk langsung mengakhiri dan memblokir nomor ini apabila benar seorang pembohong.
"Kami dari kepolisian hendak memberitahu saudari Gita selaku Ibu anda telah menabrak seorang pemuda yang kini sedang di rawat di rumah sakit. Saat ini saudari Gita sedang berada di kantor kami guna melakukan penyelidikan. Kami harap anda bersedia datang," jelas pria tersebut.
Laura semakin kebingungan sekaligus syok. Tangannya spontan menutup bibir. Untuk sesaat pikirannya kosong. Tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Saudari Laura?" panggil pria tadi.
"Baik Pak. Saya akan kesana. Boleh tolong kirim alamatnya," sahut Laura.
"Baik dan terima kasih." Pria itu langsung mengakhiri panggilan.
Sesaat setelah telepon berakhir, Laura masih berdiri tegak sambil menatap lurus ke depan. Di sisi lain ia merasa kasihan dengan Gita. Namun sisi satunya berkata bahwa Gita sungguh merepotkan. Tidak pernah memberi perhatian sekalinya ada kabar memberatkan orang dan berhubungan dengan hukum.
Gadis itu mengendarai taksi menuju kantor polisi. Sepanjang perjalanan ia hanya menggumam kesal. Bahkan pak supirnya sampai bertanya, "maaf dek kenapa kelihatan kesal?"
Laura menyahut, "Mama saya Pak, nabrak orang. Baru kalau kaya gini ngelibatin anaknya. Agak gimana gitu sih Pak. Maaf kalau jadinya cerita."
"Dek, gitu-gitu dia tetep Mama kamu lo. Semangat ya, ingat surga ada di bawah telapak kaki ibu," nasihat pak supir.
Laura tersenyum senang sambil berkata, "iya pak. Terima kasih."
Sesampainya di kantor polisi, seorang pria menuntun Laura menemui sang Mama. Gita menatap kedatangan putrinya dengan memelas. Matanya sedikit berkaca-kaca. Namun yang membuat Laura heran, kenapa baju Gita sangat berantakan. Begitu pula rambutnya. Dan saat Laura mendekat, tercium bau alkohol yang sangat kuat menguar dari Gita.
"Saudari Laura, setelah kami bertanya kepada Ibu anda, beliau mengendarai mobil sambil mabuk. Saya rasa anda juga sudah mencium aroma alkohol yang sangat kuat," terang polisi yang memiliki suara seperti di telepon beberapa menit yang lalu.
"Iya Pak saya tau. Saya tidak akan menghalangi prosedur hukum yang seharusnya. Saya akan mengikuti dan menerima semuanya," balas Laura dengan mantap. Ia menatap polisi itu penuh keyakinan.
Sementara itu Gita memegang lengannya seraya berkata, "Lau kamu tega sama Mama?"
"Bukan soal tega tidak tega Ma. Aku cuma mengikuti prosedur hukum. Mama mau aku sewa pengacara? Maaf Ma, Mama aja terakhir ngasih uang bulan lalu," ungkap Laura.
Gita menarik napas panjang. Ia menatap wajah putrinya yang tampak kecewa. Ini semua memang kesalahannya. Penyebab sikap Laura yang berubah juga dirinya.
Terlebih lagi pekerjaannya yang selama ini ia rahasiakan dari Laura. Gita selalu berkata, ia bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Namun, pada nyatanya ia hanya pelayan. Pelayan laki-laki hidung belang. Kecelakaan ini juga disebabkan ia sehabis menikmati waktu bersama kliennya.
"Laura maafin Mama," lirih Gita. Suaranya nyaris tidak terdengar. Hanya derai air mata yang mengatakan ia menyesal. Entah penyesalan beneran atau settingan.
"Saudari Gita, menurut pasal 311 UU nomor 22 tahun 2009 LLAJ anda mendapat sanksi berupa hukuman penjara maksimal 2 tahun dan denda maksimal 4 juta," terang Gita yang membuatnya semakin terpuruk.
"Maaf Pak, apa saya dan Mama diizinkan untuk melihat korban? Saya rasa Mama juga harus bertanggung jawab atas biaya administrasi rumah sakit," sahut Laura.
"Benar memang itu tanggung jawab saudari Gita. Kalian diperbolehkan mengunjungi korban dengan syarat didampingi salah satu rekan kami," terang polisi tersebut yang disambut senyum tipis dari Laura.
🐻🐻🐻
Perjalanan menuju rumah sakit hanya dipenuhi keheningan. Laura tidak berminat membuka obrolan. Ia malah menyibukkan diri menggeser beranda media sosialnya.
Saat tiba di rumah sakit, mereka langsung menuju tempat korban di rawat. Ketika memasuki ruangan rawat inap, Laura terkejut setengah mati. Ada Alana dan … Bian yang terbaring dengan infus yang menempel.
"Bian," gumam Laura. Ia hanya menunduk, tidak berani menatap Bian yang masih belum sadarkan diri juga Alana yang meliriknya tajam.
Gita langsung menghampiri Rena dan bersimpuh di depannya. Wanita itu tersedu-sedu, ucapannya pun ikut tersendat.
"Maaf, maaf, maafkan saya. Saya tidak bermaksud mencelakai putra anda. Untuk biaya administrasi biar saya yang tanggung," terang Gita.
Dengan tenang Rena membalas, "itu memang kewajiban anda."
"Tolong singkirkan tubuh anda dari saya. Aroma alkohol," sarkas Rena.
"Kalau mabuk, tidur jangan ngajak anak orang mati." Rena memalingkan wajah dari Gita.
Gita terdiam. Ia memang pantas menerima semua ini. Bahkan putrinya ikut terkena imbasnya.
🐻🐻🐻
Sesuai prosedur Gita ditahan di kantor polisi. Sementara itu Laura pulang untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang dipaksa bekerja lebih keras.
Baru saja ia mendapat kebahagiaan dari Hanan dan Mia. Tetapi kebahagiaan itu sirna karena ulah sang Mama. Kini tubuh Laura terasa sangat lelah.
"Gimana aku enggak kurus. Otak mikir, sementara suplai makanan gak ada. Ya semoga saja bukan pertanda buruk," gumam Laura.
Gadis mengangkat tangannya tanpa alasan yang jelas. Saat ia tak sengaja melirik jari-jari tangannya, jari itu terlihat pucat. Tidak seperti biasanya. Dahinya mengkerut lalu masih dengan dipenuhi kebingungan, ia berkata, "kok aneh."
Kebiasaannya setiap menemukan hal janggal. Laura selalu mencari informasi lewat google. Setelah mengetik masalahnya, gadis itu mendapat info jika bisa saja ia terkena anemia. Namun, semakin ia menggeser ke bawah semakin banyak informasi yang malah menakutinya.
"Kok gini sih. Mungkin anemia gak usah aneh-aneh deh Ra," monolog Laura lantas mematikan ponselnya.
Sekali lagi ia bergumam semoga semua baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]
Teen Fiction••• 𝑫𝒊𝒂𝒏𝒕𝒂𝒓𝒂 𝒅𝒖𝒂 𝒌𝒆𝒎𝒖𝒏𝒈𝒌𝒊𝒏𝒂𝒏, 𝒅𝒊𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒑𝒊𝒌𝒊𝒓𝒂𝒏 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒖𝒍𝒖𝒂𝒏 ••• 𝔟𝔶: 𝔉𝔞𝔫𝔦𝔩𝔞𝔟𝔩𝔲𝔢- Enam puluh hari menuju dunia tanpa mentari. M...