Tiga Puluh Empat

35 3 0
                                    

Sudah seminggu semenjak Hanan kembali dengan Laura. Selama itu pula tidak ada huru-hara dalam hubungan mereka. Semua berjalan dengan baik dan harmonis. Hanan selalu ada untuk Laura, dan Laura selalu terbuka pada Hanan. 

Meski telah tujuh hari berlalu, teman-teman mereka belum mengetahui perihal hubungan kedua insan itu. Hanya saja mereka menduga jika Hanan dan Laura telah balikan. Didukung dengan berbagai fakta jika beberapa hari terakhir mereka sering melakukan kontak dan komunikasi. 

Laura juga tidak lagi malu-malu dan jaga jarak seperti sebelumnya. Begitu juga Hanan yang terlihat lebih hidup dari biasanya. 

Seperti hari ini, kedua manusia itu sama-sama izin tidak masuk sekolah. Laura memang sudah waktunya untuk kontrol ke rumah sakit. Hanan yang memang basic-nya sudah malas sekolah berdalih mengantar Laura. 

Mereka mengendarai mobil dengan disetir oleh supir keluarga Hanan. Di dalam mobil, Laura menghubungi Alin untuk memberitahu ia tidak masuk. Kedua sahabatnya belum mengetahui perihal penyakit Laura. 

"Han, kamu sekolah sana gih! Kan aku udah temannya. Iya kan pak?" Gadis itu meminta persetujuan pak Bayu—supir keluarga Hanan.

"Iya Mas. Mas Hanan sekolah saja. Mbak Ura, aman sama saya," timpal pak Bayu memperkuat perintah Laura. 

"Pak Bayu antar Laura, saya yang menemani ke dalam. Lagipula saya malas sekolah pak," ungkap Hanan seraya menyenderkan kepalanya di kursi. Kepalanya ia dongakkan dengan kedua mata yang tertutup.

"Iya Mas," jawab pak Bayu pasrah. 

"Terus alasan kamu ke Alan sama Sakha gimana?" tanya Laura merasa tidak tenang.

"Tinggal bilang kalau aku bangun kesiangan. Masalah selesai. Udah ih Ra, dengerin nih musik daripada ngomel mulu." Hanan langsung memasangkan sebuah earphone di telinga Laura.

"Loh, kamu muter lagu yang aku cover," ujar Laura terkejut. 

"Kenapa? Gak boleh? Harusnya kamu bangga, suara kamu debut di hp ku. Ra, kamu tah, aku itu termasuk laki-laki beruntung," ungkap Hanan sambil menatap lewat sang kekasih. 

"Beruntung gimana?"

"Kalau aku galau tinggal dengerin suara kamu. Mayoritas lagu yang kamu cover juga lagu galau," jawab Hanan kemudian kembali menyenderkan kepalanya di kursi. 

Seutas senyuman terbit di wajah Laura. Laki-laki itu memang paling mengerti bagaimana cara membuat gadisnya bahagia. 

Pak Bayu yang menyaksikan interaksi kedua muda mudi tersebut hanya menyunggingkan senyum. Ia dulu juga pernah begitu. Tidak usah heran ataupun kaget, karena semua orang tentu pernah merasakan apa itu jatuh cinta. 

Setibanya di rumah sakit, Laura segera menemui dokter Raisya tentunya dengan ditemani Hanan. Laura menggenggam tangan laki-laki yang berada di sampingnya dengan erat. 

"Han … aku takut, aku bakal baik-baik aja kan?" tanya Laura seraya menatap Hanan dengan penuh kekhawatiran. 

"Percaya sama aku, kamu pasti baik-baik aja. Jangan takut." Hanan menarik tubuh gadisnya supaya lebih mendekat. Lantas ia mengecup sekilas surai hitam Laura. 

"Aku belum pengen ketemu Papa, Han. Aku pengen hidup lebih lama. Aku mau buat Mama bangga, Mama bahagia," ucap Laura sambil menatap kedua manik mata Hanan dengan sedikit berkaca-kaca. 

"Kamu pasti hidup lebih lama Sayang … kamu harus hidup lebih lama, ada cita-cita yang harus kamu perjuangan, ada Mama yang menunggu kesuksesan kamu, semangat!" balas Hanan memberi sugesti. Ia mempererat rangkulannya. 

Meski belum sepenuhnya yakin, Laura akan selalu berusaha untuk kesembuhannya. Benar kata Hanan, ia harus berjuang untuk semuanya. Cita-cita, orang tua, dan hidup bahagia yang selalu ia inginkan. 

🐻🐻🐻

"Curut!" panggil Hana pada Alin yang baru turun dari motornya. 

Merasa tidak dipanggil, Alin melanjutkan langkahnya menuju kelas. Tidak peduli dengan Hana yang mungkin mencak-mencak. 

"Lo denger gue gak sih?" ulang Hana seraya menyusul gadis itu kemudian menepuk pundaknya dengan keras.

"Lo ada masalah apa sih? Datang-datang ngajak baku hantam! Kurang belaian? Sono, ke klub malam!" Ketika berbicara dengan Hana, Alin tidak akan pernah bisa lemah lembut. Alin hanya berminat untuk menaikkan oktaf bicaranya. 

"Lo nya yang budeg, gak denger gue panggil dari tadi," kesal Hana. Gadis itu melirik Alin dengan tajam.

"Sorry ya, gue punya nama. Kalau gak ada kepentingan, bye!" Alin langsung pergi sambil menghentakkan kakinya. Masih pagi namun, ada saja setan yang mengganggu ketenangan hidupnya. Ya, namanya setan.

Hana tidak ingin menyusul maupun meneriaki Alin. Ia tahu, gadis itu tidak akan menggubrisnya. Lagipula malas juga mencari gara-gara dengan gadis bermulut sadis seperti Alin. Sebenarnya, tujuan Hana hanya ingin menanyakan kabar Laura dan mendoakan yang terburuk untuk gadis itu.

Jika dipikirkan, Laura tidak ada salah pada Hana. Namun, Hana selalu merasa tersaingi dengan gadis itu. Bagi Hana, Laura seperti parasit yang akan mengganggu dunianya. 

Dalam pandangan Hana, hal apapun yang Laura lakukan tidak pernah benar. Selalu berlawanan dengan keinginannya. 

Hana selalu iri dengan apa yang dimiliki Laura. Hana ingin ketenaran seperti Laura, walau ia sendiri juga tidak kalah tenar. Ia juga mengharapkan memiliki sahabat yang loyal seperti Alin dan Veena. Juga mempunyai kekasih yang perhatian seperti Hanan. 

Hana ingin semua itu. 

Gadis itu sudah muak dengan kehidupan yang ia punya. Hidup di bawah ambisi orang tua. Kedua orang tuanya selalu menekankan pada Hana supaya menjadi terbaik dari yang terbaik. 

Mereka tidak pernah mentolerir kesalahan maupun penurunan angka akademik putrinya. Bagi mereka, Hana harus terlihat sempurna. Karena itu, mereka mendaftarkan Hana di berbagai les dan kursus dengan biayanya yang tidak murah.

Namun, hal itu malah membuat Hana tersiksa. Berkali-kali ia mencoba kabur. Tetapi ujung-ujungnya selalu berhasil dipergoki lantas dihukum. 

Sekarang, Hana masih berdiri menatap lurus ke depan. Dari dulu, baik di sekolah baru maupun lama, Hana tidak pernah memiliki teman. Ia sering mendengar alasan mereka tidak mau berteman dengannya, karena sifatnya yang arogan, egois, dan keras kepala.

Hanya pujian dan sanjungan dari para laki-laki yang mengaguminya yang membuat Hana masih berdiri dengan percaya diri di tempat ini.

Sakha, laki-laki itulah satu-satunya teman yang ia punya sejak sekolah dasar. Hanya saja mereka sempat terpisah lantas bertemu lagi di Merah Putih ini.

Hana hanya iri dan ingin memiliki semua yang Laura punya. 

🐻🐻🐻

"Gimana kata dokter Raisya?" tanya Hanan lalu menyedot jus yang ia beli di area sekitar rumah sakit. 

Laura meneguk air minumnya lantas berkata, "kata dokter Raisya, kondisiku jauh lebih baik dari sebelumnya. Tapi, aku gak boleh lengah. Itu bisa kambuh kapan saja kalau aku gak rutin minum obatnya."

Seutas senyum tersungging di wajah tampan Hanan. Dengan penuh kebahagiaan, laki-laki itu menatap Laura. "Kan apa aku bilang. Kamu pasti sembuh!"

"Aamiin."




02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang