Tiga Belas

37 4 0
                                    

Seharusnya rumah menjadi tempat berpulang. Mencurahkan segala keluh kesah dalam keseharian. Namun, ada kalanya rumah tidak lagi menjadi tempat penuh kehangatan yang diselimuti canda dan gurauan.

Bagi Bian, rumah tak ada bedanya dengan neraka dunia. Bahkan sepertinya panti asuhan lebih baik daripada rumah mewah yang ia tinggali saat ini.

Tidak ada kehangatan apalagi keselarasan.

Yang Bian tau hanya luapan amarah juga dentingan barang pecah yang telah menjadi makanannya sehari-hari.

Bian ingin pergi. Namun, hal itu justru menambah problem yang ada. Tidak mungkin suatu masalah menguap begitu saja tanpa penyelesaian dan pengorbanan.

Tentang rumah. Tempat berteduh yang kini berubah menjadi tempat penuh nyala amarah.

🐻🐻🐻

Pagi ini, Bian telah pindah ke sekolah barunya di SMA Merah Putih bersama sang adik. Setelah mengantar Alana ke kelasnya, laki-laki itu berjalan-jalan untuk melihat area sekolah barunya.

Tak jauh dari tempatnya berdiri. Seorang gadis dengan cardigan berwarna beige tampak familiar baginya.

Tanpa ragu, Bian mendatangi gadis itu kemudian berlari begitu mengetahui ternyata itu Laura. Gadis yang pernah ia temui beberapa waktu lalu.

"Ra lutut lo kenapa?" tanya Bian.

Gadis itu mendongak. "Lecet dikit doang. Bian kamu kok di sini?"

Laki-laki itu tertawa. "Iya lagi magang jadi guru olahraga," guraunya.

"Seriusan. Aku kira kamu anak kuliahan," timpal Laura sedikit canggung.

"Wajah gue itu emang terlihat tampan dan berwibawa. Aura sugar daddy gue berarti udah terpancar," balas Bian terlalu percaya diri.

Tawa Laura terlepas begitu saja. Gaya humor Bian sangat cocok dengannya. Kepercayaan diri laki-laki itu juga cukup menghiburnya. Pertemuan dengan Bian kali ini sangat memperbaiki suasana hatinya yang memburam gara-gara Hana.

"Ra seriusan itu dengkul kagak apa-apa?" tanya Bian untuk kedua kalinya.

Laura menggeleng. Ia melihat lecetnya yang masih mengeluarkan darah, meski hanya sedikit. Padahal biasanya luka kecil seperti ini cepat berhenti.

Tetapi ini masih berlanjut. Sedikit mengherankan, namun Laura memilih untuk mendiamkannya saja.

"Ya udah. Ra, gue ke kelas dulu ya. Kalau lo kangen datang aja ke kelas XII IPS A. See you girl." Bian melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan.

Perlahan laki-laki itu pun menghilang dari pandangan Laura. Dengan sedikit tertatih, gadis itu menuju kelasnya.

Tak ada apapun sebelumnya, tiba-tiba Laura merasa pusing. Pandangannya sedikit mengabur, namun ia tetap berusaha untuk fokus.

"Tensiku turun lagi ya?" monolog Laura seraya memijit pelipisnya pelan.

Hipotensi bukan lagi hal asing bagi Laura. Tensinya tidak pernah lebih dari seratus sepuluh per enam puluh. Itu sudah tensi tertinggi yang pernah ia capai.

"Okay, Laura semangat ... kalau mau pusing di rumah aja," ujar gadis itu menguatkan dirinya sendiri.

Setibanya di kelas, Laura segera meletakkan kepalanya di atas meja dengan alas tas. Kedua netranya memejam dengan harapan ketika ia membuka mata, rasa pusing yang tiba-tiba datang itu menghilang.

"Lau lo kenapa?" tanya gadis berambut pendek yang baru saja datang.

Veena duduk di sebelah Laura sambil memegang kedua pundaknya.

02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang