Dua Puluh Delapan

29 3 0
                                    

"Hah? Balik?" tanya Laura. Wajahnya yang terlihat kebingungan. Ia mengedipkan mata berkali-kali dengan tubuh yang menghadap ke arah laki-laki yang baru saja mengajaknya balikan. 

Hanan hanya mengangguk sebagai balasan. Lantas beberapa saat kemudian, ia mengangkat wajahnya seraya memandang paras elok Laura tetap mengagumkan seperti dulu.

"Gue serius Ra," tegas Hanan seolah ia mengerti apa yang dipikirkan gadis itu. 

"Ya gue tau bagi lo kayaknya susah buat balikan sama cowok yang udah ninggalin lo tanpa sebab yang jelas. Tapi lo harus tau, dari dulu sampai sekarang gue gak bisa lupain lo," sambung laki-laki itu. Ia menatap Laura dengan begitu dalam. Dan jangan lupakan senyumnya yang menawan. 

"Sebenarnya tinggal bilang iya atau tidak kan Han? Tapi, susah banget. Aku mau kamu nunggu sampai aku pulang dari rumah sakit, pas waktu itu tiba kamu tanya lagi ke aku dengan pertanyaan yang sama. Untuk saat ini, aku harap kamu sabar," balas Laura diakhiri lengkungan manis di wajahnya. 

"Lo berapa hari di rawat disini?" tanya Hanan. Didengar dari intonasinya ia seperti tidak menyetujui keinginan Laura. Namun, ia tidak bisa apa-apa. Hanya berharap Laura masih memiliki rasa untuknya. 

Jika rasa itu sudah nyaris tiada, Hanan harus bisa mengikhlaskan. Tetapi jika masih terdapat secuil rasa, Hanan akan berusaha menumbuhkan kembali perasaan itu sampai Laura benar-benar mencintainya. 

"Ya mana tau. Aku aja gak tau kenapa aku dirawat," balas Laura dengan jujur.

"Oh iya Han, kamu dengar kabar terbaru tentang Bian gak? Dia udah siuman belum?" tanya Laura yang spontan mengubah raut wajah Hanan menjadi masam.

Laki-laki itu bahkan mengalihkan pandangan dari Laura lalu memainkan ponselnya. Ia tidak menjawab pertanyaan gadis yang kini sedang terbaring lemah di ranjangnya.

"Han," panggil Laura. 

"Gue gak tau," jawab Hanan singkat. 

Beberapa saat kemudian, Mia datang sambil membawa beberapa potong pakaian dan barang pribadi milik Hanan juga Laura. Wanita tersebut tentunya tidak datang sendirian. Di belakangnya, Andre membawa beberapa jenis makanan dan camilan. 

"Selamat malam Ura," sapa Andre seraya meletakkan makanan yang ia bawa di meja. Pria itu mengusir Hanan dari tempat duduknya lalu menempati posisi Hanan tadi.

"Ura udah baikan? Tadi awalnya Ayah gak mau kesini, tapi Bunda maksa. Katanya kalau Ayah gak mau ikut, bakal kena sanksi," ucap Andre yang cukup menghibur Laura. Keberadaan pria itu memang menjadi moodbooster bagi siapa saja.

"Malam juga Ayah. Ura gak papa, lihat udah sehat kan?" Laura mengangkat kedua tangannya. Memperagakan binaragawan yang tengah memamerkan otot lengannya. 

"Yah, gak usah caper," sindir Hanan dari belakang Andre.

Pria itu langsung berbalik badan. Dengan tatapan tajam ia melirik sang putra tunggal yang selalu iri kepadanya. 

"Diam deh kamu. Ura tuh nyaman sama Ayah," kilah Andre.

Hanan hanya merotasikan bola matanya dengan jengah. Dalam hati ia bersyukur tidak mewarisi sikap Andre yang sedikit cringe

🐻🐻🐻

"Bun, kak Ian kenapa belum siuman? Ini udah tiga hari lo," tanya Alana dengan matanya yang mulai berkaca-kaca 

Rena yang pulang membeli makanan tidak tahu harus menjawab apa. Sebab kata dokter, Bian mengalami gegar otak ringan yang diakibatkan benturan cukup keras yang mengenai kepalanya. 

"Kita berdoa saja supaya kak Ian segera sembuh," jawab Rena kemudian memeluk Alana penuh kasih sayang. 

Permasalahannya dengan Rendi saja, Alana belum mengetahuinya. Lalu sekarang perkara Bian yang didiagnosa gegar otak ringan. Dengan adanya masalah baru ini membuat Rena semakin tidak tega memberitahu Alana jika ia dan Rendi telah resmi bercerai.

Tiba-tiba terlintas di pikiran Rena tentang penyebab kecelakaan Bian. Otaknya kembali mengingat kejadian tiga hari lalu, dimana Bian mengatakan dengan tegas ia tidak akan tinggal bersama Rendi. Lalu sore harinya, laki-laki itu keluar dan dikabarkan kecelakaan. 

"Apa mungkin Bian kecelakaan gara-gara aku?" batin Rena.

"Gara-gara perceraian kami, semua hancur. Hidupku hancur, putraku juga," sambung Rena dalam hati. 

Pikirannya berkecamuk tidak karuan. Rasa bersalah, menyesal, takut kehilangan, semua tercampur dan diaduk menjadi satu. Menjadi sebuah perasaan yang tidak terdefinisikan. 

Masih dalam keadaan memeluk Alana, Rena meneteskan air mata di bahu sang putri. Isakannya terdengar pelan. Alana yang menyadarinya mencoba menenangkan Rena dengan mengelus lembut punggung sang Ibunda.

"Bunda, jangan nangis lagi. Simpan air mata Bunda, Ala gak suka lihat Bunda nangis kayak gini," lirih Alana dengan suara yang sedikit tertahan.

Sejujurnya ia juga menahan air mata supaya tidak lolos begitu saja. Di hadapan sang Bunda ia tidak mau terlihat lemah yang mana akhirnya akan semakin memberatkan pikiran Rena juga.

"Enggak Ala—

"Bunda gak usah bohong, Ala bukan anak kecil yang bisa dibohongi dengan dalih mata kelilipan," potong Alana cepat. 

Mendengar ucapan putri bungsunya semakin membuat air mata Rena turun dengan deras. 

Memang, menangis itu kadang diperlukan. Kita tidak perlu terlihat pura-pura kuat. Berpura-pura juga tidak menjamin kemaslahatan hidup kita. Jalani saja alurnya. Jika sudah tidak kuat lambaikan tangan lalu menangislah sepuasnya. 

🐻🐻🐻

Pagi ini Liona mondar-mandir di depan kelas Laura. Sudah beberapa hari ini ia tidak melihat kemunculan sang sahabat. Liona bahkan sudah mengunjunginya ke rumah Laura, tetapi rumah itu terlihat tidak berpenghuni. 

Liona menunggu Alin ataupun Veena, namun kedua manusia itu tidak juga muncul. Saat Liona berbalik badan hendak kembali ke kelasnya, tanpa sengaja ia menubruk tubuh Sakha.

Tingginya yang hanya sebatas dada Sakha membuat Liona mendongak. Saat matanya menatap wajah Sakha, gadis itu langsung tersenyum, menunjukkan deretan gigi-giginya.

"Maaf Kak," ucap Liona kemudian mundur beberapa langkah.

"Saya pergi dulu, permisi," pamitnya.

"Kamu cari Laura? Dia di rumah sakit." Sakha memang aneh. Dia yang bertanya, dia yang menjawab.

Gadis itu segera menghentikan langkahnya kemudian membalikkan badan. Dengan berjalan cepat, ia mendekati Sakha lantas bertanya, "Kakak tahu darimana?"

"Hanan. Sekarang dia masih di rumah sakit, nemenin Laura," jawab Sakha jujur.

"Kamu heran gak sih sama mereka. Biasanya kan orang kalau putus saling benci, gak mau komunikasi. Lha mereka? Malah makin lengket, aneh banget," ucap Sakha mengeluarkan uneg-unegnya. 

"Iya-ya Kak. Kakak emang gak curiga kalau mereka balikan?" tanya Liona yang terpancing dengan gosip Sakha. 

"Kalau balikan kita sebagai temannya tinggal mensupport. Iya kan? Lagipula itu urusan dan hak mereka, kita gak usah ikut campur. Oh iya, nanti balik sekolah kita mau jengukin Laura, lo ikut?" ajak Sakha yang langsung dibalas anggukan Liona.

"Kak aku pergi dulu. Nanti aku tunggu di parkiran aja ya," ucap Liona. 

"Iya. Btw, namamu siapa? Aku sering lihat kamu barengan sama Laura, tapi gak tau nama, cuma tau muka. Aku Sakha." Laki-laki itu menjulurkan tangannya yang langsung dijabat Liona. 

"Liona Kak," balas gadis itu diakhiri senyumnya. 

Tidak jauh dari tempat mereka seorang gadis dengan dandanan yang teramat cantik mengintip dari balik tiang. Gadis itu bergumam, "ikut ah. Mau ketemu ayang."

02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang