Tiga Puluh Satu

28 2 0
                                    

"Bunda … kapan Rara boleh pulang? Di sini bosen, Rara pengen sekolah. Sebenarnya Rara tuh sakit apa sih?" tanya Laura pada Mia. 

Sudah tiga hari ia di rawat di sini. Namun, Mia sama sekali belum memberi keterangan tentang penyakitnya. Memang, semakin lama kondisi Laura semakin membaik. Tetapi rasa ingin tahu tentang masalah apa yang ada dalam tubuhnya juga sangat tinggi. 

"Kita tunggu keterangan dokter ya Rara. Soal penyakit kamu biar dokter sendiri yang bilang. Untuk sekarang, Rara berdoa aja semoga kedepannya selalu baik-baik saja," balas Mia sambil membelai lembut surai Laura. 

"Separah itu ya sakitnya Rara?" Laura menundukkan kepalanya. Di otaknya terdapat beberapa kemungkinan tentang penyakit yang dideritanya. 

Mungkinkah ia mengidap kanker? Atau tumor? Atau penyakit lain yang lebih berbahaya? Memikirkannya saja sudah membuat otak Laura panas. 

Mia masih membisu. Ia bingung akan mengatakan apa pada Laura. 

"Kalau memang seserius itu penyakitnya Rara, mending Rara ikut Papa aja. Daripada terus di sini yang nantinya malah ngerepotin Bunda. Bunda udah rawat Rara tiga hari ini aja, Rara udah bersyukur banget. Coba kalau enggak ada Bunda, mungkin Rara sekarang udah pulang," lirih Laura diiringi setetes kristal bening yang mengalir di pipinya. 

"Rara udah gak punya siapa-siapa buat tempat pulang Bunda …" sambung gadis itu yang semakin larut dalam tangisannya. 

Sejak dulu, Mia paling lemah soal tangisan. Melihat Laura yang terisak di depannya, membuat wanita itu tidak tega. Dengan lembut, Mia menarik tubuh Laura ke pelukannya. 

"Rara punya Bunda. Kalau Rara pengen pulang ke tempat Bunda, jangan ikut Papa. Bunda sudah menganggap kamu kayak putri kandung Bunda. Sudah ya cantik," ujar Mia. 

"Permisi," kata dokter Raisya sambil mengetuk pintu ruangan tempat Laura dirawat. Dokter dengan perawakan tinggi dan cantik itu menghampiri Laura dan Mia.

"Selamat pagi Laura, ibu Mia," sapa dokter Raisya. 

"Pagi juga dokter," jawab Laura dan Mia bersamaan.

"Sebelumnya saya periksa dulu ya." Dokter Raisya memasang stetoskop di telinganya. Tentunya ia tidak sendirian. Seorang suster yang berusia lebih muda yang kini berdiri di sebelahnya, itu mungkin asisten dokter Raisya. 

"Suster, mana berkas atas nama Laura Auristela?" tanya dokter Raisya. 

Suster itu segera memberikan sebuah map besar dengan logo rumah sakit ini. Dokter Raisya membuka map tersebut lalu berkata, "Laura, ibu Mia. Setelah berbagai tes yang kami lakukan beberapa hari lalu, kami mengambil kesimpulan bahwa Laura mengidap lupus eritematosus."

"Penyakit ini adalah penyakit autoimun kronis yang dapat menyebabkan peradangan di beberapa bagian tubuh, termasuk kulit, sendi, ginjal, hingga otak," sambung dokter Raisya. 

"Untungnya Laura dapat segera diperiksa ke dokter, sehingga kami dapat mengantisipasi dan menghambat pertumbuhan penyakit ini." Dokter Raisya mengakhirinya dengan senyuman. 

Laura terdiam memikirkan kenyataan yang baru saja ia terima. Lupus? Laura sendiri belum pernah mendengarnya lalu sekarang ia didiagnosa menderita penyakit tersebut. 

"Untuk menurunkan risiko kekambuhannya, diharapkan Laura menghindari paparan sinar matahari secara langsung, jangan terlalu stres, menerapkan gaya hidup sehat, lalu rutin kontrol ke dokter. Dengan begini, risiko kekambuhannya akan semakin kecil. Lupus tidak bisa disembuhkan, pengobatan yang kami lakukan bertujuan untuk meringankan gejala, membantu mencegah kekambuhan penyakit, dan meminimalkan risiko kerusakan yang terjadi pada organ," jelas dokter Raisya panjang lebar. 

"Oh iya ibu Mia, hari ini Laura sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Walinya diharapkan untuk mengambil obat di apotek dan mengurus administrasi," lanjut dokter tersebut diakhiri seutas senyum.

"Laura," panggil dokter Raisya. 

Gadis itu mengangkat kepalanya. Terlihat matanya yang memerah dan sembab. 

"Iya dokter," lirih Laura.

"Semangat ya. Saya yakin kamu pasti bisa," ujar dokter Raisya sambil mengepalkan tangannya ke atas.

"Terima kasih dokter," balas Laura dengan senyum yang sedikit dipaksakan. 

🐻🐻🐻

Kondisi rumahnya masih sama seperti beberapa hari yang lalu. Hanya saja sedikit kotor di bagian halaman dan beberapa ruangan. Karena tidak bisa menemani Laura dua puluh empat jam full, Mia membayar seorang wanita paruh baya untuk merawat Laura dan lingkungannya. Serta memperhatikan keseharian dan kesehatan gadis itu.

"Tante Dewi," panggil Laura pada pembantu barunya. Meski Dewi berulang kali menegaskan tidak ingin dipanggil 'tante' Laura selalu menyebutnya dengan panggilan itu.

"Iya mbak," jawab Dewi yang baru saja menyelesaikan masakannya. 

"Tante, aku mau keluar sama Hanan. Di rumah bosen banget," izin Laura. 

"Loh. Mbak Ura baru pulang dari rumah sakit lo, sebaiknya jangan mbak. Nanti kalau penyakitnya kambuh gimana?" Dewi mengingatkan. Karena tadi Mia sempat berkata jika Laura tidak boleh terpapar sinar matahari terlalu lama.

"Ih enggak Tante. Kan aku keluarnya sama Hanan. Aman kok," ucap Laura mencoba menyakinkan Dewi.

"Ya sudah jangan lama-lama mbak. Oh iya, lebih baik mbak pakai baju yang panjang saja ya," saran Dewi yang dibalas anggukan Laura. 

Saat Laura kembali ke kamarnya, Hanan baru saja datang. Ia mengetuk pintu dan Dewi lah yang membukakannya. 

"Mas Hanan, sebentar. Mbak Ura masih siap-siap. Oh iya Mas, tolong jaga mbak Ura ya. Saya enggak tega, gadis secantik mbak Ura harus menderita penyakit seperti ini," ujar Dewi.

"Bibi enggak perlu bilang gitu udah saya jagain Laura-nya," jawab Hanan sangat percaya diri.

Tak lama kemudian, Laura muncul dengan pakaian yang sangat tertutup. Berbeda dari style Laura biasanya. Gadis itu kini tengah mengenakan cardigan oversize dipadukan celana jeans hitam sepanjang mata kaki. 

"Ayo berangkat," ajak Hanan kemudian berpamitan pada Dewi.

🐻🐻🐻

Hanan mengajak Laura ke waduk yang sering kali digunakan orang-orang untuk melepas penat. Di tepi waduk tepat di bawah pohon trembesi, kedua remaja itu duduk berdampingan sambil menikmati sostel yang mereka beli sebelum memasuki area ini.

"Ra, gimana rasanya setelah kembali keluar?" tanya Hanan seraya memandang wajah Laura dari samping. Mau dilihat dari sisi manapun, gadis itu tetap terlihat cantik. 

"Lumayan Han," jawab Laura sembari menatap balik Hanan.

Saat bola mata mereka saling bertatapan, Hanan langsung mengalihkan pandangannya. Mau dulu ataupun sekarang, Laura selalu berhasil membuatnya salah tingkah. 

"Makasih Han sosialnya, enak." Gadis itu menggigit sebuah sostel yang telah berlumuran saos dan mayonaise. 

"Sama-sama," balas Hanan yang masih mencoba menetralkan raut wajahnya. Sangat tidak lucu jika Laura melihat mukanya yang salah tingkah. 

Angin berdesir menerpa rambut Laura yang dibiarkan tergerai. Rambut itu menutupi sebagian wajahnya, sehingga sostel yang belum habis tadi tercampur dengan rambut panjangnya. 

"Hanan …" rengek Laura seperti anak kecil.

"Angin tuh salahin," balas Hanan berpura-pura dingin. Begitu juga yang ia lakukan selama ini. Dia hanya bersandiwara di depan Laura dengan maksud supaya semakin melupakannya.

Namun realita tidak sejalan dengan ekspektasi. Semakin Hanan mendiamkan Laura, semakin besar pula rasa penasarannya. 

"Han, aku mau kasih jawaban tentang ajakan kamu beberapa hari lalu," ucap Laura yang spontan membuat Hanan tersedak.

02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang