Tiga Puluh

31 3 0
                                    

Hanan dan Laura serentak menoleh ke arah pintu. Di sana terdapat Sakha beserta yang lainnya. Kedua remaja yang pada mulanya berdebat kini langsung terdiam dan menampilkan senyum manisnya—hanya Laura, tidak dengan manusia wajah lempeng. 

"Guys, pulang aja yuk gak enak kita ganggu orang lagi reuni," ajak Sakha seraya menginstruksi teman-temannya untuk mundur.

"Jangan!" teriak seseorang dari lorong. 

"Ih kok pulang, aku aja baru datang. Kalian sih gak nungguin aku." Hana datang dengan napasnya yang memburu. Gadis itu membungkuk sambil menetralkan kembali alur respirasinya. 

"Perempuan kurang belaian! Lo kok bisa disini? Buntutin kita ya?" tanya Alin dengan nada yang kurang mengenakkan. 

"Diem deh, gue gak bicara sama lo kok. Gue kesini itu mau ketemu Han—maksudnya mau jenguk Laura. Dengar-dengar dia sakit, ya udah gue sebagai teman yang baik jenguk dong. Lihat, gue aja bawain parcel buat dia." Hana menunjukkan berbagai macam buah yang berada dalam satu keranjang. 

"Dianggap temen aja kagak," lirih Alin.

"Lin … udah. Sini," panggil Laura. Ia tidak ingin mendengar lebih banyak keributan. Begitulah jika Alin dan Hana berada dalam satu lokasi. 

Alin memenuhi panggilan Laura, tetapi sebelumnya ia menjulurkan lidah ke arah Hana kemudian pergi dengan mengibaskan rambut panjangnya.

Alin langsung memeluk Laura ketika ia memasuki ruangan. Senyumnya perlahan memudar, lantas ia berkata, "hobi banget sakit. Lo gak kasihan sama gue? Veena dua hari gak masuk karena jenguk Neneknya. Gue kesepian Lau."

"Kan ada kak Alan," jawab Laura seraya melirik ke arah laki-laki yang tengah berbincang ringan dengan Hanan.

"Kan beda kelas Lau," sahut Alin. 

"Lau, sorry baru bisa jenguk bareng Alin sekarang. Aku aja baru tau dari kak Sakha kalau kamu dirawat," kata Liona dengan wajahnya yang sedikit muram.

"Santai Lio. Itu buat aku kan?" Laura menunjuk sebuah kresek putih yang dibawa Liona. Senyumnya mengembang seraya menatap wajah Liona.

"Iy—

"Laura … aku bawain kamu buah. Biar cepet sembuh," potong Hana. Ia meletakkan parcel yang dibawanya di meja. Gadis itu juga mengikis jarak dengan Laura. 

"Makasih Hana," balas Laura diakhiri seutas senyum.

"Lio … buat aku kan?" tanya Laura untuk kedua kalinya pada Liona. Sejak tadi ia gagal fokus dengan bungkus kotak yang berada di dalam kresek tersebut. 

"Iya, nih." Kresek itu akhirnya berpindah ke pangkuan Laura. Senyumnya mengembang begitu mengetahui terdapat susu kotak kesukaannya juga beberapa camilan.

Namun, Hanan langsung merampas kresek itu dan mengecek apa isinya. Membuat Laura mendelik kesal. Gadis itu mencoba merebut kembali makanannya. Tetapi, Hanan malah semakin menjauh. 

"Han! Itu punyaku, balikin!" kesal Laura diiringi alis yang sedikit menukik dan bibir yang maju beberapa mili. 

"Bentar, ngecek doang. Kata Bunda, lo gak boleh makan sembarangan," pungkas Hanan yang mengakibatkan Laura semakin dongkol. 

"Itu dari Liona gak mungkin sembarangan. Udah deh Han, aku mau susu," protes Laura. 

"Nih, dasar bocil." Laki-laki itu mengembalikan kresek penuh makanan kepada Laura. Lelah juga mendengarkan ocehan tidak berguna dari gadis tersebut. 

Kelima teman mereka hanya menatap peristiwa adu mulut antara Hanan dan Laura. Mereka bisa maklum karena sebelum kedua manusia itu putus, mereka pun kerap beradu argumen yang lebih parah dari ini.

Sementara itu Hana sangat terganggu karena kedekatan Hanan dengan Laura. Niat awal kesini ingin mendekatkan diri dengan laki-laki incarannya, malah melihat adegan yang memuakkan. 

Parcel yang ia bawa tadi juga tidak sepenuhnya untuk Laura. Ada niat terselubung di balik tumpukan buah-buahan cantik itu. Hana ingin terlihat peduli dan Hanan yang berpikir bahwa ia adalah gadis yang penuh perhatian.

"Kak, ayo pulang aja. Kita kayaknya ganggu mereka," ajak Alin pada Alan. Ia menyikut lengan laki-laki itu sambil sedikit mendesis. 

"Ayolah. Bagi mereka dunia serasa milik berdua," sahut Alan penuh kedramatisan. 

"Lau, mata kamu kenapa merah?" tanya Liona setelah beberapa saat mengamati wajah Laura. 

Laura menghentikan minumnya lalu melirik ke arah sang sahabat. Belum sempat ia berkata, Liona sudah menatap Hanan penuh kecurigaan. 

Laki-laki itu menghembuskan napas pelan. Ia pun berkata pada Liona, "dia nangisin karakter fiksi. Bukan gue yang bikin Laura nangis. Lihat tuh novelnya, basah."

"Hanan! Gak usah diperjelas," seru Laura sambil menepuk lengan Hanan sedikit keras yang mampu membuat laki-laki itu meringis lirih.

"Lo tuh sakit malah dzalim ke orang. Awas aja ntar gak sembuh-sembuh," balas Hanan dengan spontan. 

"Han!" pekik Laura.

Hari ini Hanan sangat menyebalkan. 

🐻🐻🐻

Di balik jeruji besi, Gita sedang menunggu putusan sanksi untuknya. Pikirannya sangat kacau. Keadaan Laura terus membayang-bayangi otaknya. Ia hanya bisa berdoa supaya putrinya tetap dalam kondisi baik-baik saja.

Tiba-tiba seorang polisi menghampirinya dan membukakan pintu. Dia berkata pada Gita, "ada seseorang ingin bertemu dengan anda."

Gita pun digiring menuju tempat orang itu menunggu. Gita dapat melihat seorang laki-laki dengan pakaian formal. Laki-laki itu sedang memainkan ponselnya. Wanita itu mengembangkan senyumnya lalu mendekati pria tersebut. 

"Rendi," panggil Gita diiringi senyumnya. 

"Aku gak nyangka kamu bakal kesini," sambung Gita yang sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari pria tersebut. 

"Saya juga tidak menyangka, kamu sudah menabrak putra saya," ucap Rendi tegas.

Gita mengerutkan alis tak paham. Berarti remaja kemarin merupakan putra Rendi yang kerap ia ceritakan. 

"Git, hubungan kita sampai di sini saja. Saya tidak mau berhubungan dengan wanita yang sudah mencelakai putra saya. Saya permisi." Rendi bangkit dari tempat duduknya.

Gita masih termenung di tempat. Sepertinya dalam waktu dekat ia akan kehilangan semua yang ia miliki.

Kebebasan, kekayaan, kebahagiaan, juga kenyamanan. 

Kebebasannya akan terenggut karena kemungkinan ia akan mendekam di balik jeruji untuk waktu yang belum diketahui.

Kekayaannya akan hilang untuk biaya tanggung jawab secara finansial kepada korban yang telah ia tabrak. 

Lalu kebahagiaan, secara otomatis ia akan kehilangan kegembiraan tatkala jauh dari putri dan zona nyamannya.

Kemudian kenyamanan. Rasa nyaman yang ia peroleh dari laki-laki yang ia sayangi baru saja sirna. Rendi yang memiliki status sebagai kekasih gelapnya sudah mengakhiri hubungan karena perbuatannya sendiri. 

Tiba-tiba Gita teringat sosok mendiang Ivan, suaminya yang telah berpulang sekaligus Ayah dari Laura. 

Wanita itu menekuk lututnya dan menenggelamkan wajahnya di sana. Ia berujar lirih dan penuh penyesalan, "maafin aku Mas. Gak bisa jaga putri kita dengan baik. Seharusnya aku sadar kalau mimpiku beberapa waktu lalu itu isyarat kalau aku harus lebih menyayangi Laura."

"Tapi maaf, aku gagal jadi Mama buat anak kita. Semoga kamu enggak marah ya Mas," lirih Gita diiringi beberapa tetes air mata yang membasahi pakaiannya.
 

02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang