Dua Puluh Dua

22 2 0
                                    

Hanan membawa Laura ke sebuah bukit dengan hamparan rumput yang biasa digunakan orang-orang untuk melepas penat dengan berkumpul bersama orang tersayang. Tempat ini juga memiliki kesan tersendiri bagi mereka berdua. Karena di atas bukit ini, Hanan mengutarakan perasaannya pada Laura. 

"Ra ingat tempat ini?" tanya Hanan yang tengah mengamati bukit ini dari ujung kanan hingga ujung kiri. 

"Selalu," jawab Laura. Sejak tadi ia sibuk memandangi setiap sudut dari tempat ini. Tidak ada yang berubah. Meski sudah setahun ia tidak pernah kemari, semua masih sama. 

Dulu, Laura datang kesini bersama laki-laki yang sangat ia sayangi. Lalu, saat ini ia kembali juga bersama laki-laki yang sama.

"Ayo naik. Sini tangan lo," ajak Hanan lantas mengulurkan tangannya.

Laura menatap laki-laki itu dengan bimbang. Lagi-lagi logikanya kalah dengan hati. Dengan senyuman lebar, ia menyambut uluran tangan itu. Dengan hati-hati mereka memanjat bukit yang ditumbuhi rerumputan tersebut. 

Setibanya di puncak bukit. Hanan baru melepas tangan Laura yang masih tertaut di jemarinya. Untuk beberapa sekon mereka saling bertatapan. Meski dalam kondisi sepenuhnya sadar, mereka seperti enggan untuk mengalihkan pandangan. 

"Duduk Ra. Gak papa kotor, besok udah enggak dipakai lagi," ujar Hanan. 

"Han kenapa kamu ngajak aku kesini?" tanya Laura. Sejak tadi, ia menyimpan pertanyaan ini karena belum menemukan waktu yang pas untuk bertanya. 

"Gue kangen," jawab Hanan. Tetapi, karena terlalu lirih, Laura tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Ditambah suara pesawat yang melintas membuatnya semakin tidak bisa menangkap jawaban Hanan.

"Hah? Apa Han? Boleh diulang," balas Laura diikuti cengirannya. 

"Gak tau tiba-tiba kepikiran kesini." Laki-laki tersebut melemparkan sebuah batu yang kemudian menggelinding menuruni bukit. 

Di bawah sinar sang surya yang tidak begitu terik ini, kedua insan itu masih terdiam. Sibuk berbicara dengan pikiran masing-masing. Hawa canggung sangat terasa di antara mereka. 

"Ra, lo nyesel gak sih putus dari gue?" tanya Hanan tiba-tiba. Meski pertanyaannya terbilang rumit, ia sama sekali tidak menatap Laura. Tangannya masih sibuk melempar batu.

"Hah, apa?" balas Laura yang pura-pura tidak mendengar. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan yang memiliki tingkat kesulitan setara dengan matematika. 

"Gak jadi." Laki-laki tersebut menghembuskan napas panjang. Entah ia harus bersyukur karena Laura tidak mendengar pertanyaannya. Atau harus kesal. 

Entah berapa batu yang sudah ia lempar. Namun, kali ini tangan Laura menahannya supaya tidak membuang batu itu dengan sia-sia. 

Dengan lembut gadis berambut panjang terurai itu berkata, "kalau mau lempar jumrah ke Mekah dulu ya. Di bawah sana setannya enggak mempan kalau cuma dilempari batu."

Laura merebut batu itu kemudian meletakkannya di antara mereka. Netranya memandang ke angkasa. Terdapat segerombolan awan dan sekawan mamalia terbang yang menghiasi bumantara siang ini. 

"Han kamu masih suka lempar-lempar batu ya. Enggak dulu, enggak sekarang, kamu masih sama. Hanan yang aku kenal, enggak berubah. Tetap jadi Hanan yang kayak gini ya," ucap Laura seraya menatap kedua bola mata Hanan yang juga memandangnya dengan mulut yang setengah terbuka.

"Lo juga masih Laura yang gue kenal. Cewek yang punya hobi nyanyi, suka siomay, dan satu-satunya cewek yang ngasih gue boneka beruang," sahut Hanan. Tiba-tiba ia tertawa. Tawanya terdengar lebih tulus dari biasanya. 

"Han kamu kesurupan setan bukit kah?" tanya Laura panik.

Tangannya menepuk-nepuk lengan Hanan. Tanpa ia sangka, Hanan mencekal tangannya kemudian menariknya dalam dekapan yang masih terasa hangat. Bahkan pelukan Hanan masih terasa sama.

"Bentar aja Ra," lirih Hanan sambil meletakkan kepalanya di bahu Laura. Kedua tangannya mendekap Laura dengan erat. Berharap pelukan ini masih bisa bertahan lebih lama.

Laura semakin salah tingkah dengan perbuatan Hanan. Sikap Hanan pula lah yang kadang membuatnya kembali berharap. Tetapi, tingkah laku Hanan dari sisi lain membuatnya semakin ingin melupakan. 

Laura saja bingung dengan apa maunya. 

Terlebih lagi sekarang Hanan bersikap lembut. Tidak berbeda jauh dengan gerak-geriknya sewaktu mereka masih bersama. 

🐻🐻🐻

Jam istirahat tiba. Setelah keluar dari kelasnya, Bian segera menuju kelas Laura dengan maksud mengajak gadis itu makan bersama di kantin. 

Tetapi, ia hanya menemukan Alin dan Veena yang masih sibuk mengerjakan tugas. Bian pun menghampiri kedua gadis itu lalu bertanya, "Laura kemana?" 

"Gak tau. Tadi ke kamar mandi tapi enggak balik," jawab Alin tanpa menatap wajah Bian sedetikpun. 

Hanya satu yang Bian pikirkan. Laura kemungkinan pingsan di kamar mandi atau terkunci. Akhirnya dengan segera ia segera menuju kamar mandi siswi. Meski ragu, ia tetap masuk dan memeriksa setiap ruang. Namun, tidak ada Laura di sana.

Dengan panik, Bian langsung menelpon gadis tersebut. Namun, ponsel Laura yang selalu di-silent membuatnya tidak tahu kalau ada panggilan masuk. 

"Kemana sih dia?" Bian memasukkan kembali ponselnya ke saku. 

"Atau Laura bolos? Tau lah, gak mungkin juga hilang. Nanti gue samperin aja ke rumahnya," monolog Bian lantas kembali menuju tujuan pertamanya. Meski ia sedikit panik dengan hilangnya Laura, kesejahteraan perutnya lebih utama. 

Saat Bian kelimpungan mencarinya, Laura kini berada di sebuah minimarket. Hanan memberi usulan untuk membeli minuman sekaligus bersantai di emperan minimarket.

"Ra dikurangi minum soda. Mending susu. Lihat, lo kurusan," tegur Hanan karena semakin hari ia melihat Laura semakin kurus.

"Cuma sesekali Han. Enak tau, kamu mau coba? Kamu masih suka susu kedelai ya, aku kira udah pindah haluan," gurau Laura mencoba mengalihkan pembicaraan. 

"Gimana mau pindah haluan, orang udah terlanjur suka," sahut Hanan seraya menatap Laura sekilas. 

"Iya juga. Aku juga udah terlanjur suka sama soda, sama kayak kamu," timpal Laura yang dibalas anggukan Hanan.

"Ra, ayo ke rumah gue. Bunda nyariin," ajak Hanan. Ia meneguk sebotol susu kedelai itu hingga tinggal seperempat. 

Mendengar ajakan Hanan yang terbilang mendadak membuat Laura tersedak sodanya. 

"Gak usah kaget. Bunda yang nyariin. Mau kan? Tenang, nanti gue anterin balik," sambung Hanan. 

Laura masih terdiam. Mimpi apa ia semalam hingga bisa menikmati waktu bersama Hanan. Memang, sebelum tidur ia sempat memikirkan laki-laki itu. Tetapi memangnya hal itu bisa menjadi faktor terjadinya kegiatan menyenangkan ini.

"Boleh. Lagipula aku mau ngapain lagi, sekalian minta makan di rumah kamu," sahut Laura yang sesaat kemudian mendapat geplakan dari Hanan.

Laki-laki itu berujar, "bener-bener Laura."

Sesampainya di rumah Hanan. Mia yang baru selesai merawat bunga-bunganya langsung berlari mendekati Laura dan memeluknya. 

"Rara … kamu lama banget gak kesini. Bunda kangen, ayo masuk. Tenang, Bunda punya stok camilan buat kamu." Mia menarik tangan Laura dan meninggalkan putra kandungnya yang dibiarkan begitu saja.

"Bunda! Anak kandungnya Bunda itu Hanan lo!" protes Hanan tidak terima.

"Bunda capek sama kamu Han. Pengen quality time sama calon mantu," balas Mia sedikit berteriak. 

02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang