Seusai membantu Rena membersihkan lukanya. Bian menuju kamar untuk mengistirahatkan otak juga fisiknya.
Jujur, ia lelah.
Tetapi, ia tidak akan menyerah. Ini semua demi Bundanya. Bian tidak rela jika wanita yang paling ia sayangi mendapatkan perlakuan yang tidak setimpal dengan perjuangannya.
Bian sangat tahu bagaimana kehidupan Ayahnya yang dulu. Mengingat semua pengorbanan Bunda untuk laki-laki yang tidak pantas disebut Ayah membuat kobaran amarah semakin membesar.
Bukan sekali, dua kali, Bian menyaksikan perlakuan keras sang Ayah pada Bundanya.
"Laki-laki enggak tahu terima kasih. Enggak ingat dulu yang bantu pas lagi di titik terendah siapa? Gedeg banget dengernya," geram Bian sembari mengepalkan kedua tangannya.
Kasur lah yang menjadi objek pelampiasan amarahnya. Laki-laki itu berteriak sekuat tenaga hingga suaranya serak.
"SIALAN" Bian melempar gulingnya ke arah jendela. Seiring dengan itu pintu kamarnya terbuka. Sesosok gadis cantik muncul dengan wajah sedikit ketakutan.
Perlahan ia mendekati Bian kemudian memeluknya dari belakang. "Kak Ian ... ini Ala ..." lirih gadis itu yang masih memeluk Bian dengan erat.
Alana paham, Kakaknya tidak akan semarah ini jika penyebabnya sepele. Selain itu, Bian bisa melempar apa saja ketika dirinya dikuasai amarah.
Alana juga tahu permasalahan kedua orang tuanya. Ia hanya berpura-pura polos dan tidak tahu menahu tentang apapun. Bersikap seolah semuanya masih baik-baik saja.
"Kakak tenang ... marah enggak bikin semua normal," ujar Alana lembut. Perlahan genggaman tangan Bian mengendur. Kini digantikan dengan air mata yang berderai. Bian menangis walaupun diam.
Alana merasakan setetes air mengenai kulitnya. Ia pun semakin memeluk Bian dengan erat.
Bian berbalik badan kemudian memeluk adik satu-satunya itu. Laki-laki itu masih menangis sambil mendekap Alana. Berbagai pikiran yang seharusnya hilang mulai bermunculan.
Ia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hati Alana ketika gadis itu mengetahui bagaimana kondisi istana mereka saat ini.
Bian ingin mencurahkan semua. Namun, ia tidak ingin melukai hati adik kecilnya.
Untuk saat ini ia benar-benar lelah.
Izinkan dia untuk menitikkan beberapa tetes air mata. Mencurahkan semua emosi yang selalu ia pendam dalam kesunyian.
Tidak salah kan kalau laki-laki menangis?
🐻🐻🐻
Liona mendatangi rumah Laura begitu ia diberitahu jika gadis itu pulang duluan. Sebelumnya ia membeli beberapa makanan favorit Laura.
Sesampainya di sana, Liona mengetuk pintu berkali-kali. Namun tidak ada sahutan. Gadis itu pun memberanikan diri untuk memutar knop pintu, untungnya tidak terkunci.
Gadis berwajah manis itu terus memanggil nama sahabatnya tetapi tidak ada satupun sahutan. Tanpa pikir panjang ia mendatangi kamar Laura dan langsung membukanya tanpa berucap salam.
Dilihatnya Laura tengah berbaring di ranjang dengan mata terpejam dan wajah yang terlihat pucat. Liona berlari mendekati gadis itu kemudian spontan memegang dahinya. Panas.
"Lau ... ini Lio," panggil Liona seraya memegang tangan Laura.
"Lio ..." lirih Laura yang masih enggan membuka matanya. Ia menatap Liona sesaat lalu kembali terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]
Teen Fiction••• 𝑫𝒊𝒂𝒏𝒕𝒂𝒓𝒂 𝒅𝒖𝒂 𝒌𝒆𝒎𝒖𝒏𝒈𝒌𝒊𝒏𝒂𝒏, 𝒅𝒊𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒑𝒊𝒌𝒊𝒓𝒂𝒏 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒖𝒍𝒖𝒂𝒏 ••• 𝔟𝔶: 𝔉𝔞𝔫𝔦𝔩𝔞𝔟𝔩𝔲𝔢- Enam puluh hari menuju dunia tanpa mentari. M...