Enam

46 4 0
                                    

Permintaan dari Mama Laura membuat Hanan sedikit bimbang. Setibanya di rumah, ia langsung menuju kamarnya dan memeluk boneka beruang berwarna cokelat yang terletak di sudut ranjangnya.

"Laura kira-kira risih enggak ya kalau gue ada di sekitar dia?" Hanan bermonolong sambil memainkan hidung jumbo bonekanya.

"Pasti risih. Kemungkinan juga, Laura masih benci sama gue," sambungnya.

"Tapi, kalau risih tadi kenapa Laura diam aja pas gue bantuin bersihin hidungnya. Eh, tunggu. Jadi, Laura masih sering mimisan?" Hanan menegakkan tubuhnya dengan boneka beruang yang masih berada di pelukannya.

"Laura sakit ya? Tapi sakit apa?" Laki-laki itu semakin larut dengan pemikirannya tentang gadis bersurai panjang yang pernah mengisi kekosongan hatinya dan bahkan masih bertahan hingga kini.

Waktunya singkat. Namun, kenangannya masih pekat.

Dering telepon membubarkan segala pemikiran Hanan tentang Laura. Ia meraih ponselnya, dan kedua pupil matanya melebar seketika. Panggilan dari gadis yang baru menjejaki otaknya.

Hampir saja ponsel itu remuk karena keterkejutan Hanan. Setelah menetralisir rasa kagetnya, laki-laki itu mengangkatnya. Tentunya dengan suara dan nada yang ia buat sedatar mungkin.

"Ada apa?" tanya lelaki itu sambil memeluk boneka beruangnya.

Di seberang sana Laura masih diam. Kata-kata yang telah ia siapkan seolah hilang bersamaan dengan pertanyaan dari Hanan.

"Ra?" panggil Hanan. Suaranya terdengar begitu lembut. Suara ini lah yang dulu kerap menemani malam-malam Laura. Menemani hingga gadis itu telah menginjakkan kaki di alam mimpi.

"Aku cuma mau bilang makasih Han, selamat malam." Laura langsung mengakhiri sambungannya. Karena hanya itulah yang ingin ia sampaikan.

Hanya beberapa kata, tetapi membuat lelaki penyuka boneka itu mendadak gila. Terlebih lagi, ucapan selamat malam, yang telah lama ia rindukan kembali terdengar.

"Gila. Iya, gue gila." Laki-laki itu melempar boneka yang tadi ia peluk. Kemudian memeluk boneka yang lainnya. Tidak ada Laura, jadilah boneka.

Malam ini, malam indah bagi Hanan. Untuk mengenang kembali memori yang seharusnya tidak ia gali.

***

Selepas jam olahraga usai, Laura segera berganti pakaian. Keringat juga telah membasahi baju olahraganya. Olahraga kali ini sangat berat bagi gadis itu. Pak Agam meminta siswa-siswinya untuk berlari estafet, dan Laura sangat membenci olahraga tersebut.

"Pak Agam ganteng sih, tapi gak lari estafet juga. Aku gak minat jadi atlet," gumam Laura sambil merapikan rambutnya di depan cermin.

"Itung-itung bakar lemak Lau," sahut Alin yang tengah melipat bajunya.

"Iya iya. Lin, Veena kemana ya?" tanya Laura, ia belum menjumpai Veena sejak jam pelajaran olahraga selesai. Tidak mungkin pingsan.

"Enggak tau. Lau, hidung lo kenapa?" Alin menghampiri Laura yang menatap dirinya dari pantulan cermin. Mimisan lagi?

Laura pun mengambil tisu yang selalu ia bawa untuk menyumbat darah yang mengalir. Untung saja intensitas darah yang keluar tidak sebanyak semalam.

"Akhirnya mampet. Tumben Lau lo mimisan." Alin merasa heran dengan yang terjadi pada sahabatnya. Pasalnya ia jarang menemui kasus remaja SMA mimisan. Alin hanya takut jika Laura menderita suatu penyakit. Mengingat sifat Laura yang kurang terbuka pada dirinya sekalipun.

"Enggak tau. Semalam juga gini," jawab Laura dengan santai.

"Lau! Mending periksa ke dokter, nanti malah lo yang kenapa-napa," saran Alin

"Enggak usah Lin. Ayo balik ke kelas aja."

Awan-awan tipis menutupi bumantara. Birunya angkasa sebentar lagi sirna, digantikan senja yang akan menyapa. Lantunan irama yang menenangkan dan memiliki arti mendalam mengalun menemani pendatang coffe shop sore ini.

Di depan sana, sepasang muda-mudi menjadi sentral perhatian. Seorang laki-laki dengan gayanya yang casual dan seorang gadis bersurai panjang yang masih melantunkan berbagai nada yang indah dan enak didengar.

Penampilan mereka berlangsung sekitar lima belas menit lamanya. Sepanjang perform pengunjung tak henti bersorak-sorak heboh. Itu karena gadis yang menyenandungkan lagu-lagu indah tersebut merupakan salah satu youtuber  yang sering meng-cover lagu penyanyi terkenal.

Yang dikenal dengan nama Laura. Jika dilihat dari perspektif manusia awam dia adalah gadis yang begitu sempurna. Dianugerahi paras yang mempesona dan suara yang mampu menghipnotis pendengarnya.

Tetapi berbeda lagi, jika mereka telah menyelami dunianya. Dunia yang berwarna abu-abu, monokrom. Tidak satupun aktivitas yang berarti dan memiliki arti tersendiri di dunia itu.

Senyum yang selalu gadis itu tunjukkan seakan mengatakan jika dunianya selalu  berwarna. Memang terkadang senyum bukan sebagai tanda orang itu bahagia, melainkan untuk menunjukkan pada dunia betapa baik-baik saja hidupnya.

Seusai menampilkan kemampuannya bersama Bian, Laura diajak laki-laki itu menuju rooftoop. Spot yang akan dibuka minggu depan. Untungnya si pemilik coffe shop mengizinkan mereka untuk kesana.

Bian menuntun Laura menuju sebuah kursi kayu yang berada di dekat pagar pembatas. Mereka duduk bersandingan sambil menikmati matahari yang sebentar lagi akan tenggelam.

"Ra lo suka?" tanya Bian. Ia memandang paras cantik Laura dari samping. Poni gadis itu beterbangan tertiup angin. Lantas ia menoleh, saling bertatapan sebelum ia akhirnya membuka suara.

"Suka banget. Makasih Bi. Maaf buat semalam. Tiba-tiba motorku bocor," jawab Laura sekaligus meminta maaf.

"It's okay Ra. Btw, thanks udah mau nemenin gue tampil sore ini. Lo tadi lihat kan, seantusias apa pengunjung. Kayaknya lo harus masuk band gue deh. Biar nanti gue yang ngomong sama personil lain. Lo mau kan?" Bian menawarkan sebuah pilihan yang sangat sulit Laura tolak. Tetapi, ia takut nanti malah mengecewakan.

"Kamu serius Bi?" Bukan meragukan penawaran dari Bian. Gadis itu hanya ingin memastikan keseriusan laki-laki tersebut.

"Serius Ra. Lo mau ya ..." Kini Bian tak lagi menawarkan. Melainkan sedikit merengek. Tubuhnya ia dekatkan pada Laura. Kedua netranya menatap bola mata gadis itu, dan kini jarak mereka hanya tinggal beberapa centi saja.

Meski merasa tidak nyaman, Laura tidak berkutik sedikitpun. Karena pikiran juga hatinya sinkron dan mengatakan bahwa Bian merupakan laki-laki baik. Bukan tipikal lelaki macam-macam.

"Boleh deh dicoba. Tapi, maaf bisa sedikit geser." Laura sedikit memalingkan mukanya dari Bian.

Tawa Bian terdengar, sedikit meledek. Lelaki itu memang menuruti permintaan Laura, tetapi ia malah menertawakannya.

"Lo lucu kalau salting. Kayak pakai kebanyakan blush on. Dekat gue aja lo salting, ishh lucu banget sih. Jadi pengen ngunyah," ucap Bian sembari tersenyum manis ke arah Laura yang masih tidak mau menatapnya.

"Ra enggak sopan banget sih. Lihat gue dong." Bian memegang kedua pipi Laura, sontak membuat mereka saling bertatapan untuk waktu sepersekian sekon.

Bian semakin tergelak melihat pipi Laura yang memerah lucu. Sedangkan gadis yang ia goda, sama sekali tidak mampu menatapnya.

"Ra ... sini-sini gue foto dulu." Tangan kanan Bian memegang pundak Laura dan tangan kirinya mengambil ponsel dari saku kemejanya.

"BIAN ..." Akhirnya Laura buka suara.

"Bercanda Ra. Ayo foto berdua, nanti gue upload biar pada iri."

Tangan Bian merangkul Laura dari samping. Kepala mereka saling bersentuhan dan Laura berpose dua jari yang menutupi mata kanannya.

"Perfect girl," gumam Bian.

02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang