Dua Puluh Enam

23 2 0
                                    

Laura membuka mata dan terasa sangat berat. Kepalanya juga sedikit pening. Tangannya berusaha menggapai ponsel yang berada di atas meja. 

"Jam setengah enam," gumam Laura lantas menekan aplikasi chatnya. Lalu mengetik pesan singkat untuk Alin, sekedar memberitahu jika hari ini ia tidak masuk. 

Laura ingin mengistirahatkan pikirannya dari berbagai permasalahan personal maupun persoalan Mamanya yang masih mengganjal. Bukan masih tetapi sangat membebani. 

Selesai mengirim pesan untuk Alin. Gadis itu kembali menarik selimutnya hingga menutupi leher. Meski kipas anginnya tidak menyala, ia merasa sangat dingin. Namun, baru juga memejamkan mata, ponselnya berdering keras.

Terpampang dengan jelas nama 'Hanan' di sana. Bukan sekali dua kali, Hanan menelponnya pagi-pagi seperti ini. Dengan suara lirih Laura berkata, "halo Han."

"Ra gue jemput, jangan berangkat dulu," balas Hanan. 

Laura menghirup oksigen semampunya lantas ia hembuskan perlahan. Tidak heran lagi dengan sikap laki-laki itu, sebab beberapa waktu yang lalu Hanan juga menelponnya dan mengajak berangkat bersama.

"Aku enggak sekolah Han," sahut Laura sambil memijit pelipisnya yang terasa pusing. Hanan masih belum membuka suara. Di seberang sana, ia merasa ada yang aneh dengan Laura. 

Mengingat gadis itu sangat disiplin dan taat peraturan, tidak mungkin ia membolos. Kecuali kemarin, itu disebabkan hasutan Hanan. 

"Sakit Ra?" tanya Hanan yang dibalas anggukan Laura. 

Ternyata sakit membuat otaknya sedikit loading. Mau ia mengangguk, menguap, menggaruk, Hanan tidak akan tahu. Karena ini merupakan panggilan suara bukan video.

"Ra?" ulang Hanan. 

"Sedikit, habis minum obat pasti udah mendingan. Kamu buruan beberes, udah jam segini," sahut Laura mencoba mengalihkan topik obrolan. Karena sesakit apapun dia, Laura tidak menyukai pembicaraan yang menyinggung sakitnya. 

"Iya, cepet sembuh Ra." Seusai mengucapkan empat kata tersebut, Hanan langsung mengakhiri telepon. 

Begitu panggilan diakhiri, Laura balik memejamkan mata dan kembali ke alam mimpi. Sepertinya ada mimpi indah yang sudah menunggu.

🐻🐻🐻

Suara tawa kedua orang tuanya terdengar di ruang tengah. Di sela-sela tawa mereka terdengar suara televisi yang menayangkan film. Laura yang saat itu berada di kamarnya, hanya tersenyum mendengar interaksi kedua orang tuanya yang penuh keharmonisan.

"Aku di sini aja. Daripada keluar terus malah mengganggu mereka," monolog Laura lantas meraih laptopnya. Ia ingin menonton film kartun favoritnya. 

Di tengah aktivitasnya, tiba-tiba suara Papa dan Mamanya tidak lagi terdengar. Hanya suara televisi yang memecah keheningan di ruang tersebut. 

Dengan rasa penasaran yang cukup tinggi, Laura perlahan turun dari kasurnya. Lalu beranjak untuk membuka pintu kamarnya perlahan. Karena kebetulan kamarnya berada tepat di sebelah ruang tengah, ia dapat mengintipnya dari balik pintu.

Saat kepalanya ia sembulkan keluar. Tak ada kedua orang tuanya di sofa. Namun, terdapat cairan berwarna merah pekat yang mengalir dari tempat Papa dan Mamanya berada. Diiringi aroma anyir yang muncul bersama dengan aliran cairan itu yang semakin jauh.

"Da-darah," lirih Laura dengan tubuh yang bergetar karena ketakutan. Tangannya berusaha membekap mulutnya sendiri supaya tidak bersuara sama sekali. 

Tiba-tiba dari arah dapur, datang seorang wanita dengan pakaian serba hitam dan sangat tertutup. Kepalanya terlindungi tudung hoodie dan setengah wajahnya berselimut masker warna senada.

Wanita itu mendekati Laura yang masih berada di tempat awal. Kakinya bergetar hebat, namun tidak bisa digerakkan. Mungkin karena terlalu takut. 

Saat wanita itu berada dalam jarak satu meter dari Laura, ia membuka tudung hoodie dan maskernya. Tangannya yang dipenuhi darah melambai ke arah Laura diikuti senyuman yang memiliki maksud bukan sekedar senyuman saja.

"Laura sayang, kamu suka hadiah dari saya. Kedua orang tua kamu mati. Lihat deh, tubuhnya merah kayak bayi baru lahir. Hihi, kamu pasti suka," ucap wanita itu dengan lembut. Walaupun lembut, intonasi bicaranya malah membuat Laura semakin ketakutan. Ia hanya memejamkan mata sambil berdoa supaya ini cepat berakhir. 

"Ih kok merem sih. Ya udah, saya saja yang menghampiri kamu. Saya bawa pisau, jarum suntik, gunting. Kamu mau milih yang mana? Jarum suntik aja ya, saya gak tega lihat darah kamu berceceran. Mending saya suntik pakai ini aja," ucapnya sambil menunjukkan jarum suntik yang berisi cairan beracun. 

Mulut Laura seperti di lem sehingga ia tidak dapat bersuara. Kakinya juga tidak dapat digerakkan. Untuk saat ini semua anggota tubuhnya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. 

"Sayang …" ucap wanita itu sambil mencolek dagu Laura dengan pelan. Senyumnya kembali terukir, namun malah terlihat menyeramkan. 

Wajah wanita itu terlihat familiar bagi Laura. Ia seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Namun, ia lupa. 

Ketika jarum suntik itu hampir mengenai tangan Laura, ia mendengar suara tanpa rupa yang mengatakan, "Rara … bangun, Rara."

Saat itu juga netranya terbuka dan sosok yang ia lihat pertama adalah Mia yang menatapnya penuh kekhawatiran. 

"Rara kamu mimpi apa sayang? Kenapa sampai keringatan kayak gini." Mia menyeka keringat di dahi Laura dengan tisu yang ia dapatkan dari meja gadis tersebut. 

Laura masih mengatur pernapasannya yang terengah-engah. Mimpinya barusan terasa sangat nyata dan teramat menyeramkan. 

"Loh, tubuh kamu panas," ucap Mia begitu meletakkan tangannya di dahi sang gadis.

"Bunda … Rara cuma demam dikit. Kenapa Bunda bisa di sini? Siapa yang antar?" tanya Laura bertubi-tubi. 

"Bunda dikasih tau Hanan kalau kamu sakit. Hanan minta tolong Bunda buat datang lihat kondisi kamu," terang Mia.

"Sekarang duduk yang nyaman, Bunda suapi. Kamu pasti belum makan. Habis itu minum obat ya, udah Bunda bawain." Mia mengeluarkan sebuah kotak bekal dan beberapa tablet obat.

"Bunda, maaf jadi ngerepotin Bunda. Hanan sih pakai bilang ke Bunda, orang aku gak papa kok," kilah Laura. Entah sudah ke berapa kali dalam hari ini, Laura membohongi diri sendiri. 

Meski semua orang yang ditemuinya berkata keadaan Laura sangat buruk, ia selalu menipu dirinya dengan berkata, "aku baik-baik aja kok. Mereka aja yang berlebihan."

Laura makan dengan disuapi Mia. Wanita itu membawakan nasi dengan lauk sup ayam. Tumben sekali lidah Laura mau menerima makanan. Biasanya saat sedang seperti ini, makanan apapun yang ia konsumsi akan dimuntahkan. 

Sehabis makan dan minum obat, Laura menyenderkan kepalanya di bahu Mia. Dengan kedatangan Mama Hanan sedikit menghilangkan beban hati dan pikirannya yang semula menggunung. 

"Bunda, Rara boleh cerita?" tanya Laura sambil melirik Mia.

"Boleh. Cerita aja, biar kamu lega," jawab Mia.

"Tentang Mama," lirih Laura yang dibalas anggukan Mia.

Gadis itu menarik napas panjang sebelum memulai ceritanya. 

"Mama nabrak temen Rara sampai di rawat di rumah sakit. Kejadiannya kemarin. Kata Polisi, Mama sedang di bawah pengaruh alkohol. Waktu itu Rara langsung ke kepolisian. Di sana Polisi bilang kalau Mama bakal kena sanksi dengan kurungan maksimal dua tahun dan denda maksimal empat juta. Bagi Mama uang segitu kecil. Tapi gelar narapidana gak akan bisa hilang walaupun di beli dengan satu miliar dolar sekalipun," jelas Laura yang tentunya membuat Mia terkejut. 

"Bunda, Rara capek banget. Masalah pribadi Rara aja belum kelar, ditambah Mama. Apa Laura nyusul Papa aja ya Bun?" tanya Laura. 

02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang