Laura hanya menuruti firasatnya bahwa Hanan meminta untuk bertemu di perpustakaan. Meski ia sendiri masih ragu, tidak ada salahnya juga mencoba. Pergi ke kantin juga terasa membosankan. Semenjak ia sembuh, hal apapun yang dilakukan terasa hambar.
Gadis itu menuju rak buku fiksi yang berisi novel-novel juga komik. Tangannya terulur mengambil sebuah komik Jepang atau yang sering disebut manga. Ini untuk pertama kalinya ia menjajal sesuatu yang berbau khas negeri Sakura itu.
Bangku dekat jendela selalu menjadi favorit Laura. Ditemani earphone dan manga tadi, Laura hanyut sendiri.
Di tengah keasyikannya membaca, seseorang datang sambil menutup matanya. Laki-laki tersebut masih membisu menunggu Laura bersuara.
"Hanan … gak usah main-main deh. Ramai tau," protes Laura sembari melepas tangan kekar itu dari wajahnya.
Gadis itu berbalik badan dan secara spontan ia menutup mulutnya. Dengan setengah berbisik ia berkata, "Bian."
"Nunggu seseorang ya Ra?" tanya Bian yang langsung menarik kursi di sebelah Laura.
"Iya. Tapi gak tau datang apa enggak," jawab Laura lantas menutup buku dan melepas earphone-nya.
Bian mengangguk kemudian mengambil buku yang baru dibaca Laura. Tangannya membolak-balikkan halaman dengan cepat. Lantas ia berujar, "lo suka baca manga?"
Gadis itu menggeleng. "Aku cuma iseng baca doang. Ternyata seru juga," jelas Laura diakhiri senyum tipis.
"Ra lo kemana kemarin kok gak kelihatan? Alana bilang dia pengen ketemu tapi lo gak ada," tanya Bian.
"Di rumah, istirahat," jawab Laura singkat.
"Ra menurut lo rumah itu tempat nyaman gak?" tanya Bian tiba-tiba. Netranya menatap lurus ke depan. Memandang taman sekolah yang dipenuhi bunga dari balik kaca jendela.
Laura spontan menolehkan kepalanya. Alisnya sedikit terangkat dengan pertanyaan Bian yang menurutnya sedikit aneh.
"Ada masalah Bi?" tanya Laura seraya menghadapkan tubuhnya ke arah laki-laki yang masih memandang ke luar jendela.
"Orang dewasa itu rumit ya Ra. Sementara kita sendiri udah hampir dewasa. Apa hidup kita nanti juga serumit mereka?" Laki-laki tersebut menyandarkan punggungnya ke kursi. Kepalanya menatap ke langit-langit perpustakaan. Suasana hening yang ada tidak selaras dengan ramainya pikiran.
"Bi, are you okay?" Laura merasa Bian menyembunyikan sesuatu di balik wajahnya yang selalu ceria.
Seperti itulah manusia. Teramat suka memainkan ekspresi. Ketika ia tertawa, tidak sepenuhnya ia bahagia. Saat mereka tersenyum, belum tentu hatinya juga turut bersuka.
"Enggak Ra. Gue gak baik-baik aja, tapi lo jangan risau. Gue kuat, kalau udah gak kuat, gue cerita kok." Seutas senyum andalan Bian yang selalu ia tampilkan menjadi penutup cerita singkatnya kali ini.
"Do you need hug?" Laura bertanya seraya merentangkan kedua tangannya dibarengi senyum manis.
Meski keadaannya sendiri tidak begitu baik. Laura selalu ingin membuat orang sekitarnya merasa nyaman juga bahagia. Karena ia memiliki keyakinan, aku boleh nangis, aku boleh sedih, tapi jangan dibagi.
Tanpa berkata, Bian segera memeluk Laura dan meletakkan kepalanya di bahu gadis itu. Untuk kali ini ia merasa nyaman dan diperhatikan oleh perempuan selain Bundanya.
Tak jauh dari tempat mereka, Hanan yang baru datang langsung membalikkan tubuh dan pergi. Senyumnya hilang begitu saja digantikan dengan muka tanpa ekspresi yang kerap ia munculkan.
Mungkin ia juga salah masih mengharap pada masa lalunya. Dan tanpa ia sadari, seseorang yang diharapkan telah memiliki harapan baru yang mana bukan dirinya.
Tidak. Hanan tidak cemburu. Mana mungkin begitu, sudah tidak ada hak. Lucu juga kalau cemburu padahal bukan siapa-siapa.
Kesialan Hanan tidak berhenti di situ saja. Di pintu masuk perpustakaan, terdapat Hana dengan senyumnya yang mengembang. Gadis itu menghentikan langkah Hanan dengan mencekal tangan kanannya.
"Mau kemana? Aku kesini ngikutin kamu, biar bisa deket gitu," tanya Hana yang perlahan mengikis jarak antara Hanan dan dirinya.
"Cari air minum. Kepedesan gue, ada cabe soalnya." Hanan menghempas tangan gadis itu darinya kemudian pergi sambil memasang earphone untuk menghindari ocehan Hana yang kemungkinan masih mengikutinya.
Hana masih terdiam. Tangannya mengepal dan netranya menatap tajam laki-laki yang baru pergi, "gitu ya Nan? Kamu masih mempesona deh."
"Kalau aku cabe kamu garam aja. Biar saling melengkapi gitu." Hana tertawa sendiri dengan ucapannya yang absurd.
🐻🐻🐻
Sekali lagi hanya ada kekacauan yang harus Bian temui. Tidak ada lagi kenyamanan apalagi kehangatan. Semua sirna ketika sang Ayah yang sangat ia banggakan, perlahan berubah karena munculnya pubertas kedua.
Sesosok wanita muda yang menjadi setan diantara orang tuanya. Bian akan selalu mengingat wajah wanita itu. Wanita yang telah merenggut kebahagiaannya juga keluarga.
Kali ini, Bian tidak sendiri. Alana telah mengetahui semuanya dan kini mereka berdua tengah menyaksikan adegan yang seharusnya ada di televisi swasta.
"Kak popcorn nya masih ada?" tanya Alana setelah menyedot jus alpukatnya.
"Masih, nih abisin. Mumpung filmya belum selesai. Lumayan kan Al, tontonan gratis," gurau Bian yang disambut tawa dari Alana.
"Kak kalau semisal Ayah Bunda cerai, Ala gak mau pisah sama Kak Ian. Apapun kondisinya, Ala pengen selalu sama Kakak. Ala cuma percaya Kakak." Setetes air membasahi pipi Alana. Dengan spontan gadis itu menghambur ke pelukan Bian dan mengadu tentang keputusasaannya di sana.
"Kak ayo keluar dari sini. Kita tinggal sama Oma," ucap Alana tiba-tiba.
"Ala gak mau sama Ayah atau Bunda. Mereka gak pernah mikir gimana sakitnya Ala waktu mereka teriak sana sini. Ala pengen ketenangan Kak. Ala gak mau di rumah ini terus," sambungnya.
"Ala kecewa sama mereka." Detik itu juga, tangisan Alana pecah. Air mata berderai lantas Bian semakin mendekap adiknya dengan erat.
Sebenarnya ia juga kecewa. Tetapi rasa sayangnya dengan Bunda mengalahkan semua itu. Di sisi lain, ia tidak ingin Alana semakin terluka.
"Ala kamu aja yang tinggal di rumah Oma. Kakak disini jagain Bunda," tutur Bian dengan lembut.
"Kakak mau jagain Bunda yang gak pernah jagain kita? Ala juga gak mau emosi Kakak meledak kayak waktu lalu. Cukup Ayah yang suka teriak, Kakak gak usah. Ala gak suka Kakak kayak gitu," lirih Alana.
"Maafin Kakak." Hanya dua kata itu yang Bian lontarkan. Ia memiliki turunan dari Ayah tentang emosi yang mudah membuncah.
Perlahan deru kekacauan tadi menghilang. Sang Ayah keluar dari kamar dengan kondisi kacau. Lelaki itu hanya menatap kedua anaknya dengan tajam kemudian pergi.
Jika tidak ditahan Alana, Bian sudah berdiri sambil berteriak pada Ayahnya. Ia sama terlukanya dengan Alana.
"Kak ayo pergi aja. Kita jalan-jalan," ajak Alana dengan tujuan meredam emosi Kakaknya juga meredakan lukanya yang kembali terbuka.
Mereka melewati Bunda begitu saja. Tidak menoleh apalagi menyapa. Rena hanya menatap putra-putrinya seraya menarik napas panjang. Dalam hati ia berujar, "apa mereka kecewa sama aku? Maafin Bunda Ala, Abi."
"Bunda gagal jadi Ibu yang baik buat kalian," lirih Rena seraya memegang pipinya yang terasa sakit.
"Maafin Bunda …" Tubuh Rena terduduk di lantai. Air matanya turun berderai membasahi keramik rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
02.60 [ 𝐄𝐍𝐃 ]
Jugendliteratur••• 𝑫𝒊𝒂𝒏𝒕𝒂𝒓𝒂 𝒅𝒖𝒂 𝒌𝒆𝒎𝒖𝒏𝒈𝒌𝒊𝒏𝒂𝒏, 𝒅𝒊𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒑𝒊𝒌𝒊𝒓𝒂𝒏 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒖𝒍𝒖𝒂𝒏 ••• 𝔟𝔶: 𝔉𝔞𝔫𝔦𝔩𝔞𝔟𝔩𝔲𝔢- Enam puluh hari menuju dunia tanpa mentari. M...