9. Sebuah Jawaban

58 26 12
                                    

Malam ini tiba-tiba hujan mengguyur kota Jakarta sangat deras. Desember memang selalu tentang hujan. Bagi sebagian orang Desember selalu digunakan sebagai cara mengikhlaskan atas segala yang terjadi di bulan-bulan sebelumnya. Tapi bagi sebagian lagi, Desember adalah kenangan yang akan selalu ia simpan sebagai bukti bahwa sampai Desember mereka mampu bertahan, dan di Januari mereka akan kembali lagi bangkit dan melangkah.

Dipta menyukai Desember tapi Laki-laki itu membenci setiap ubin teras rumah menjadi kotor karena hujan, ia membenci motor kesayangannya harus kotor karena hujan, ia juga membenci jika melihat sang mama harus dibuat tergopoh-gopoh karena hujan tiba-tiba turun dan jemuran belum sepenuhnya kering. Yang terakhir, laki-laki itu juga membenci setiap hujan sepatu milik Dika akan penuh dengan lumpur dan itu membuat rak sepatu dirumahnya menjadi kotor. Tapi Dipta masih tetap menyukai hujan.

Mungkin hanya Zian disini yang terlahir menjadi manusia yang menerima apa adanya. Hujan ia terima dengan lapang, jika panas ia terima dengan senang. Yang tidak bisa ia terima masih sama, tentang kenyataan yang selalu menyulitkannya.

Dipta melangkah mendekati Zian dengan membawa secangkir teh hangat buatannya.

"Udah baikan?" tanya Dipta memastikan.

Zian mengangguk sembari menerima cangkir yang diberikan oleh Dipta. Zian sudah lebih tenang, gadis itu tidak tahu apa jadinya jika malam ini Dipta tak datang, mungkin dirinya akan sangat menyedihkan.

"Makan ya?" tawar Dipta.

Zian menggeleng, "Nanti aja."

"Eh tadi maaf ya," lanjutnya.

"Untuk?"

"Aku tiba-tiba peluk kamu."

Dipta terkekeh, "Nggak papa, sering apalagi."

Mendengar ucapan Dipta, Zian memanyunkan bibirnya.

"Kalau yang kamu peluk itu bukan aku baru minta maaf, kalau sama aku ya nggak perlu minta maaf lah."

"Makasih ya ...."

"Masa cuma bilang makasih doang, kasih hadiah dong," goda Dipta.

"Hadiah? Apa?"

Dipta memanyunkan bibirnya sembari menutup mata, Zian mendorong wajah Dipta dengan telapak tangannya, "Jangan aneh-aneh deh."

"Yaudah peluk aja deh, dingin tau hujan."

Zian bangkit dari duduknya melangkah ke kamarnya. Gadis itu kembali membawa jaket dan selimut, "Nih ...."

"Nasibnya punya pacar nggak romantis ya gini," lirih Dipta penuh dramatis.

Hening. Dipta memberikan ruang untuk Zian, dan Zian masih memikirkan apa yang menghantui pikirannya, sembari meminum teh hangat buatan sang kekasih.

"Zi ...."

Zian menoleh, "Apa?"

"Kamu nggak perlu paksain diri kamu sendiri agar supaya orang lain itu bangga sama kamu."

Zian paham arah pembicaraan Dipta kemana, gadis itu hanya diam menatap cairan berwarna coklat bening yang ia pegang.

"Dulu ... waktu aku masih SMP, aku jadi anak yang sangat keras kepala tau. Yang aku pikirin cuma belajar, belajar dan belajar."

"Bagus dong, kan jadi pinter," sahut Zian.

"Tapi ayah marah karena aku keseringan belajar."

"Kenapa?"

"Karena aku lebih mementingkan nilai dan pujian daripada diri sendiri."

Zian menyimak apa yang akan diucapkan oleh Dipta.

Zian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang