Langit abu-abu menggelayut di atas kota Jakarta hari itu. Gadis yang masih mengenakan seragam pramuka SMA itu berjalan sendirian dengan payung yang sengaja ia pinjam dari sebuah toko di dekat pemakaman. Bagi Zian, pemakaman ini sudah seperti taman aroma wangi khas yang menyeruak masuk ke dalam indranya membuat ia sedikit lebih tenang, karena sebentar lagi gadis itu akan bertemu dengan sang Mama.
Satu buket bunga aster setia menemani langkahnya. Bunga yang ia beli dengan uang hasil kerja paruh waktunya disebuah toko depan kompleks. Tidak banyak memang, tapi cukup untuk uang sakunya. Cukup merepotkan jika biaya hidupnya juga ditanggung oleh Tante Kinasih dan Om Ryan. Zian sempat memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, tidak ingin membebani orang lain karena ia tahu biaya sekolah tidaklah murah. Namun, pertahanannya kalah ketika Tante Kinasih tiba-tiba sudah mendaftarkannya disebuah SMA Negeri, setidaknya ia ingin sedikit meringankan beban sang tante dengan membiayai kebutuhan hidupnya sendiri. Lelah? bohong jika Zian bilang tidak. Dewasa dengan paksaan dari takdir tidaklah mudah, diusia yang seharusnya bisa merasakan indahnya masa SMA tidak pernah Zian rasakan. Yang ia jalani selama ini hanyalah sebuah jalan yang sudah ditentukan semesta, bukan jalan yang memang Zian inginkan.
Di seberang jalan Zian menatap ada kerumunan orang-orang yang gadis itu sudah ketahui ada kehilangan yang terjadi lagi hari ini. Isakan tangis yang keluarga itu tahan demi ketenangan proses pemakaman itu bisa Zian rasakan dari kejauhan. Raganya mungkin masih kuat, tapi hati dan batinnya akan sangat-sangat teriris ketika melihat tubuh yang masih ingin mereka rengkuh harus tertutup gundukan tanah. Tidak ada yang baik-baik saja tentang sebuah kematian.
Gadis itu tetap melangkah menuju pusara sang mama. Hari itu, 5 Juli tanggal kesekian yang masih Zian nikmati sensasi sedihnya. Setiap Zian datang semuanya berbeda, entah langit diatas, bumi yang ia pijak, atau penghuni semesta lainnya. Kadang cerah berawan kadang juga hujan deras datang, terlalu sering panas gersang tapi tak jarang sejuk dan dingin, dan para orang-orang yang sibuk memotong rumput pusara keluarga mereka yang sudah panjang atau orang-orang yang sibuk menatap gundukan tanah berwarna cokelat yang tertutup taburan bunga.
10 menit berlalu, hujan yang sepertinya memang semesta tahan kini sudah runtuh. Tidak ada yang gadis itu lakukan selain berdiam diri menatap tulisan diatas batu nisan berwarna hitam dengan tinta emas itu dengan lindungan payung yang ia bawa tadi. Gemercik air membuat buang aster yang ia bawa terlihat jauh lebih menyedihkan daripada Zian.
"Ma ... Sejujurnya aku butuh mama ... entah dulu, sekarang atau nanti aku masih nungguin mama pulang." Tidak ada lagi isakan tangis penuh sesak, mungkin sesekali gadis itu akan merasakannya hanya ketika dunianya benar-benar kelabu.
Gadis itu bangkit, melangkah perlahan beranjak dari rumah sang Mama. Dibawah derasnya air hujan yang turun, Zian menatap seorang laki-laki terisak diatas gundukan tanah yang masih basah. Tempat yang sama dengan keluarga yang sekitar satu jam yang lalu mengadakan acara pemakaman. Ya ... Zian sudah berada di sana selama satu jam, karena selain rumahnya sendiri tempat istirahat sang mama adalah favoritnya.
Langkahnya terhenti, memperhatikan dengan sangat lekat kondisi orang itu. Hatinya tiba-tiba terasa teriris, seperti melihat pantulan kisah hidupnya. Yang berbeda hanya, dia terisak ketika dia sudah menyadari arti kehilangan dan cara untuk melalui itu semua dan Zian terisak ketika gadis itu tidak tahu arti kehilangan apalagi cara untuk keluar dari belenggu menyeramkan itu.
Gadis itu melangkah dengan sepatu yang sudah basah dan kotor karena tanah yang becek. Sorot matanya menatap nama disebuah papan kayu, rasanya sama seperti beberapa tahun yang lalu. Membagikan payungnya untuk laki-laki yang masih sibuk menangis di atas pusara itu. Tubuh laki-laki itu bergetar hebat, menikmati sesak dan sakit yang tiba-tiba datang menyambar hidupnya. Seperti petir yang tiba-tiba menggelegar membuat dunia menjadi gelap gulita, laki-laki itu tak tahu harus mencari titik cahaya di mana lagi. Karena semesta sudah mengambilnya. Selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zian [END]
Novela JuvenilIni tentang Zian Malika Adinata, gadis berusia 19 tahun yang berhasil tetap hidup setelah 8 tahun terakhir dunianya runtuh berantakan. Salah satu alasannya adalah karena kehadiran sosok Dipta yang berhasil membuatnya kembali menemukan setitik cahaya...