Awan abu-abu menggelayut diatas langit Jakarta. Persis setelah hujan kemarin malam, langit masih enggan untuk memberikan sedikit sinar hangatnya. Ramainya lalu lintas di Jalan Pahlawan Revolusi berbaur bersama dengan aroma asap kendaraan.
Pagi ini semesta sedang tidak ingin berbaik hati dengan Zian - lagi. Berjalan dengan mendorong sepeda motornya sejauh 500 meter cukup untuk membuat gadis itu penuh dengan keringat. Acara presentasi yang seharunya 5 menit lagi dimulai pun harus ia batalkan. Gadis itu duduk terdiam, mengusap dahinya yang penuh dengan bulir keringat. Amang-amang tambal ban sepertinya baru saja terbangun dari tidurnya, terlihat dari raut wajahnya yang masih sayu, sama seperti sebuah raga yang kehilangan separuh nyawanya.
Fira sedang sakit, dan itu artinya Zian akan berangkat sendirian. Segala rencana yang sudah ia susun rapi kini berantakan karena ban motornya bocor. Jika hari ini sama seperti hari itu, mungkin Zian akan sedikit berbahagia meski harus telat masuk kelas.
Hari itu, awal Zian dan Dipta menjadi seorang mahasiswa. Mendorong motor berdua dibawah terik mentari pagi yang sangat cerah. Saat itu 1 kilometer mereka berjalan tidak terasa berat dan melelahkan. Bahkan rasanya mereka ingin berjalan sedikit lebih jauh lagi. Naasnya, keinginan itu harus segera dihapus ketika manik mata mereka melihat tambal ban didepan. Duduk berdua sembari menunggu bapak-bapak yang sudah tua menambal ban yang ternyata terkena paku. Meminum air dari botol yang sama. Tidak peduli setelah ini mungkin kakak-kakak panitia ospek akan menghukum mereka karena terlambat datang.
Sebuah notifikasi berhasil membuyarkan lamunan gadis itu. Tanpa berpikir panjang gadis itu membalasnya dengan cepat.
Bunda : "Sayang ada kelas?"
Zian : "Kenapa bun?"
Bunda : "Bisa datang lebih cepat nggak? nanti pergi ke pasar dulu beli tepung sama mentega."
Bunda : "Nanti biar dianter Dika, sepulang dia sekolah."
Zian : "Dipta kemana Bun?"
Bunda : "Dia belum kabarin kamu ya? Dia tadi pagi pergi keluar katanya mau ketemu Ais udah janjian kemaren."
Zian terdiam. Lelah yang baru saja hilang kini kembali berubah menjadi sesak. Segala hal buruk yang ia pikirkan, ia tepis sejauh mungkin. Membuang segala prasangka buruk yang tiba-tiba hinggap diangannya.
'Ta ... kenapa aku harus tahu dari orang lain?' batin gadis itu.
Bunda : "Gimana sayang? bisa nggak?"
Zian : "Bisa Bun ... habis ini Zian langsung aja ke pasar sendiri gapapa, takut Dika kecapean pulang sekolah."
Bunda : "Kamu nggak ada kelas?"
Zian : "Udah telat bun, ini tadi waktu berangkat ban motornya bocor, sekalian aja bolos."
Bunda : "Yaudah hati-hati ya sayang ... Bunda bentar lagi juga pulang ngajar. Ehh .. bolosnya hanya sekali ini aja ya!!"
Zian mematikan teleponnya. Bersama dengan langit yang abu-abu kini perasaan Zian juga berubah sama persis dengan warna langit. Berharap setelah tertidur kemarin, tidak ada sesuatu yang akan mengganggu pikirannya, namun lagi-lagi kenyataan berkata lain. Tidak ada pesan atau apapun yang Dipta kirimkan, terhitung sejak kemarin Zian pulang dibawah rintik hujan. Gadis itu tahu, segala prasangka buruk yang hinggap diangannya belum tentu benar, tapi Zian tetaplah manusia biasa yang mempunyai angan dan perasaan. Meski seberusaha apapun gadis itu untuk tetap ber-positif thinking, ia tetap tidak bisa.
Dibalik kaca helm yang sengaja ia tutup dan diantara padatnya jalanan menuju pasar. Zian masih larut dalam ketidak nyamananya. Gadis itu tidak mempermasalahkan hubungan keduanya, yang ia tak habis pikir kenapa Dipta tidak mengabarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zian [END]
Novela JuvenilIni tentang Zian Malika Adinata, gadis berusia 19 tahun yang berhasil tetap hidup setelah 8 tahun terakhir dunianya runtuh berantakan. Salah satu alasannya adalah karena kehadiran sosok Dipta yang berhasil membuatnya kembali menemukan setitik cahaya...