Setelah hujan mengguyur Kota Jakarta semalaman. Pagi ini, mendung pekat masih menggelayut di langit, aroma tanah yang basah juga daun-daun dihalaman rumah yang meninggalkan tetesan air.
Para bocah berseragam batik kegirangan menaiki sepeda yang akan membawa mereka menuju tempatnya menimba ilmu. Terlihat pula OM Ryan yang akan berangkat kerja menggunakan mobil warna putih kesayangannya. Zian sedikit berdecak ketika wajah om-om beranak dua itu mulai menggoda Zian yang tengah memanaskan motornya diteras rumah.
"Hayooo kemaren habis ngapain sama Dipta," ledek Om Ryan.
"Nggak ngapa-ngapain kok, orang Dipta-nya juga pulang," jawab Zian apa adanya.
"Tante sama Om sudah siap lo punya menantu," tambah Tante Kinasih yang baru datang membawa bekal untuk suaminya.
"Baru juga semester dua."
"Oh ... berarti nanti kalau udah semester tiga atau empat mau ni mah ...."
"Om mending berangkat deh, nanti telat nggak dapet bonus tahunan lagi loh." Satu-satunya cara yang Zian pikirkan adalah dengan mengusir Om nya. Jika tidak, arah pembicaraan mereka akan merambat kemana-mana.
Dengan suasana pagi yang sendu, sejujurnya saja Zian ingin sekali merebahkan tubuhnya diatas kasur menikmati secangkir coklat hangat ditemani dengan playlist favoritnya. Zian tidak tahu kapan terakhir kali dia melakukan kegiatan tidak bermanfaat itu. Hari-harinya selalu saja sibuk.
Menjalankan motor beat pemberian Om Rian dibawah udara dingin pagi ini. Jaket yang ia kenakan rasanya tidak berguna, tapi tidak masalah setidaknya sedikit mengurangi.
Hari ini di Jalan Matraman Raya, Zian membawa sebuah jawaban atas apa yang akhir-akhir ini menyulitkannya. Menghembuskan nafas lega karena akhirnya ia bisa sedikit merasakan ketenangan setelah dua bulan terakhir disetiap pagi gadis itu dibuat kalang kabut, lari-larian dilorong kelas kampus juga jalanan hanya untuk sekedar bisa sampai tepat waktu ditempat kerja.
Ia sengaja datang lebih pagi dari jam biasanya ia berangkat kerja. Tidak mengharapkan pujian hanya karena ia pertama kali datang tepat waktu, karena Zian sudah pastikan bahwa ini juga kali terakhir ia datang kesana.
"Pagi Zi," sapa Mbak Vita yang sedang sibuk membersihkan lantai teras kantor yang basah akibat percikan air hujan kemarin malam.
Zian tersenyum, "Pagi juga mbak."
"Tumben berangkat awal?"
Sudah Zian tebak, siapapun yang mendapati Zian sudah berangkat jam segini juga akan mengatakan hal yang sama. Gadis itu hanya tersenyum menampakkan rentetan giginya yang rapi. Ia tidak ingin menyangkal pertanyaan itu, karena memang tumben sekali ia berangkat pagi.
Zian melangkahkan kakinya, dilobi utama masih sepi. Ia harap juga akan seperti itu sampai dia tiba ruang manager. Namun sepertinya harapannya tidak dikabulkan Tuhan, pasalnya sudah banyak yang berlalu lalang dilorong itu. Terutama mereka, karyawan memang sedari awal tidak menyukai adanya Zian dikantor ini.
Dengan percaya diri, gadis itu melewati beberapa karyawan dengan tatapannya yang lurus kedepan. Telinganya bisa mengdengar sayup-sayup mereka bergosip.
"Dapet hidayah apa tu orang pagi-pagi buta udah berangkat."
"Mau minta bon gaji kali makanya berangkat pagi."
"Besok-besok kita berangkat shubuh aja kali ya biar bisa juga minta bon gaji."
Seperti apa yang Dipta katakan kemarin malam melalui nasehat dari sang ayah. Ia berhak menutup telinga ketika ada omongan yang tidak ingin ia dengar. Zian tersenyum kini ia menyadari bahwa Dipta memang benar dan sepertinya setelah ini gadis itu akan membutuhkan Dipta jauh lebih sering dari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zian [END]
Teen FictionIni tentang Zian Malika Adinata, gadis berusia 19 tahun yang berhasil tetap hidup setelah 8 tahun terakhir dunianya runtuh berantakan. Salah satu alasannya adalah karena kehadiran sosok Dipta yang berhasil membuatnya kembali menemukan setitik cahaya...