"Plakkkk"
Suara nyaring yang dihasilkan dari sebuah sarung yang memang sengaja Dika slepetkan hingga mengenai bokong sang kakak yang tertutup celana boxser warna merah maroon berlogo klub sepak bola.
"Dika anak setann!!!!" pekik Dipta sembari melepas sarung yang ia kalungkan dipundaknya.
"Sakit goblok!!" lanjutnya.
"Wleeee," ejek Dika sembari berlari.
Sang kakak tidak mau kalah. Dengan kekuatan dewa angin, serta restu bunda dan ayah, Dipta mengejar sang adik dengan tangan yang sudah ancang-ancang untuk membalas perbuatan keji nan brutal sang adik.
Jalanan komplek menjadi ramai karena ulah dua anak kesayangan ayahnya itu. Selepas menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim di masjid depan komplek, Dipta memang bergegas untuk pulang karena Zian masih ada di rumah Dipta. Namun, planning pulang cepatnya harus sedikit tertunda akibat ulah dari sang adik. Menyelesaikan misi balas dendam sepertinya lebih penting.
"Bang lu nggak boleh jahat sama adekk tau," elak Dika berusaha menghindar.
"Lu ngomong sama abang sendiri pake lu gue, giliran sama gebetan aja aku kamu. Sok kbbi banget tu mulut," ucap Dipta tak mau kalah.
Dika meringis, "Lahh lu sendiri nggak ngaca, ngomong sama mbak Zian aja harus pake puebi giliran ngomong sama adek sendiri pake bahasa hewan."
"Itu namanya feedback mujidin!!"
"Lu kasar gue juga kasih kasar, lu lembek gue benyek-benyek kaya adonan donat bunda," lanjutnya.
"Ingat kata ayah, jadilah panutan! gimana gue anut kalo punya abang modelan preman Tanah Abang."
"Kaya lu tau aja preman Tanah Abang kek gimana."
"Taulah."
"Gimana?"
"Ya kayak Abang," ucap Dika langsung berlari sekencang-kencangnya sebelum sang kakak berhasil menangkapnya.
"Nggak bakal gue kasih izin pinjem komputer gue buat main yeee," teriak Dipta.
"Bodo amat ... wleee." Bocah yang tengah duduk dibangku SMA itu menjulurkan lidahnya.
Sandal jepit yang mereka kenakan membawa mereka berlari, mengejar satu sama lain. Tidak peduli dengan tetangga yang mengomel karena mereka yang berisik dimalam yang seharusnya digunakan untuk istirahat, tidak peduli dengan omelan yang akan mereka dapatkan setibanya dirumah, Dipta juga tidak peduli dengan bagaimana ekspresi Zian ketika melihat tingkahnya ini.
Udara boleh dingin akibat angin malam yang berhembus diantara pohon-pohon glodokan tiang yang tertanam rapih dipinggir jalan, tapi buliran keringat berhasil membahasi dahi mereka. Dika yang beberapa kali tertangkap dan mendapatkan sebuah jitakan dikepala tak mau kalah, menjambak rambut sang kakak lalu berlari pergi menjauh.
"BUNDAA!!!!" teriak Dika sesampainya diteras rumah.
"Mau ngadu apa lu?" sahut Dipta yang baru juga sampai.
"Bun!! abang mulutnya minta dimixer."
"Fitnah Bun ... Lu bocah mulutnya emang minta disunat lagi yee."
"Aaaa ... sakit Bang," rengek Dika setelah tubuh kekar Dipta berhasil menerjang tubuhnya.
Keduanya kini tengah beradu kekuatan diatas rumput jepang yang memang sengaja bunda tanam dihalaman depan. Dipta yang tak mau mengalah dan Dika yang juga tak ingin kalah. Tapi keduanya akan saling merindukan jika tidak bertemu satu hari saja. Sama seperti dulu, ketika Dipta ikut study tour di Puncak Bogor, Dika akan terus-menerus menanyakan kapan sang kakak pulang, meski kenyataannya setelah Dipta pulang, bocah itu justru mengganggu dan mengajak kakaknya bertengkar seperti yang dilakukan sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zian [END]
Teen FictionIni tentang Zian Malika Adinata, gadis berusia 19 tahun yang berhasil tetap hidup setelah 8 tahun terakhir dunianya runtuh berantakan. Salah satu alasannya adalah karena kehadiran sosok Dipta yang berhasil membuatnya kembali menemukan setitik cahaya...